PENANGANAN
ASYMMETRIC WARFARE
DALAM
PERSPEKTIF KEAMANAN NASIONAL AMERIKA SERIKAT
(PASCA
11 SEPTEMBER 2001)
Sigit
Sasongko
Amerika
Serikat (AS) menyadari sebagai negara superpower
yang memiliki banyak musuh dan menginginkan kehancuran negara tersebut, baik dari luar maupun
dari dalam negeri. Menyadari kekuatan yang dimiliki AS, musuh-musuh AS
mengambil perlawanan yang tidak diprediksi sebelumnya oleh AS. Runtuhnya Worid Trade Center (WTC) dan hancurnya
Pentagon pada tanggal 11 September 2011 menggunakan cara-cara yang tidak lazim
yaitu dengan menabrakkan dan menjatuhkan pesawat komersil oleh aktor
non-negara, menandakan adanya sebuah perlawanan dari musuh AS dengan
memanfaatkan kerawanan dan kelemahan AS, musuh AS baik berupa aktor negara
maupun non-negara terus berupaya mengembangkan diri dengan melakukan perlawanan
unconventional menggunakan berbagai
strategi, teknik, taktik, dan metode asymmetric
warfare. Serangan-serangan untuk mengacaukan kemananan nasional AS
dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui aksi-aksi
terorisme dan cyber attack.
Tulisan ini akan
membahas bagaimana AS menyiapkan strategi-strateginya guna menghadapi asymmetric warfare dalam menjaga
keamanan nasionalnya. Ruang lingkup dalam tulisan ini adalah pembahasan
keamanan nasional AS dalam menghadapi ancaman asimetrik berupa terorisme dan
serangan cyber, serta bagaimana
respon AS terhadap ancaman-ancaman tersebut.
Ancaman dan Keamanan
Dalam
konsep keamanan terdapat beberapa dimensi yang perlu diketahui diantaranya
adalah (1) the origin of threats, pada
saat masa Perang Dingin, ancaman-ancaman datang dari pihak luar, kemudian diera
sekarang berubah pandangan mengenai ancaman yang datang dapat berasal dari
domesik dan global; (2) the nature of
threats, menurut pandangan tradisional ancaman bersifat militer, namun
seiring dengan perkembangan jaman telah mengubah ancaman menjadi jauh lebih
rumit dan komprehensif karena persoalan keamanan dapat menyangkut ke dalam
aspek-aspek seperti ekonomi, social budaya, lingkungan hidup, demokratisasi,
dan isu-isu mengenai HAM; (3) changing
responsibility of security, kaum tradisional memandang bahwa organisasi
politik dan negara berkewajiban dalam menyediakan keamanan bagi seluruh
warganya, sedangkan penganut konsep keamanan baru memandang bahwa keamanan akan
bergantung pada seluruh interaksi individu, civil
society, dengan kata lain bahwa keamanan nasional tidak hanya tergantung
pada aktor negara saja akan tetapi juga ditentukan olej kerjasama transnasional
antara aktor non-negara; (4) core values
of security, para penganut tradisional memfokuskan keamanan pada
kemerdekaan nasional, kedaulatan, dan integritas territorial. Namun berbeda
pada penganut non-tradisional yang mengemukakan nilai-nilai baru seperti halnya
kesejahteraan ekonomi, penghormatan pada HAM, perlindungan terhadap lingkungan
hidup dan upaya-upaya memerangi kejahatan lintas batas (transnational crime)[1].
Mengingat semakin meluasnya agenda keamanan,
hal tersebut seiring dengan semakin meluasnya dan beragamnya ancaman-ancaman
yang mungkin terjadi. Salah satu ancaman kontemporer yang sekarang dapat
mempengaruhi dalam penerapan strategi keamanan suatu negara adalah ancaman
asimetrik yang memungkinkan dapat menimbulkan Asymmetric Warfare yang merupakan sebuah konsep dalam perang
generasi ke empat. Dalam
bukunya Rod Thornton menuliskan bahwa peperangan asimetrik adalah “…violent
action undertaken by ‘have-nots’ against the ‘haves’ …”[2],
…sebuah aksi kekerasan yang dilakukan oleh ‘si punya’ melawan ‘si tidak
punya’…, hal ini menjelaskan perang asimetris ini digunakan oleh
pihak-pihak lemah dengan segala kekurangan yang dimiliki guna melawan pihak
kuat dengan memanfaatkan kerawanan-kerawanan yang dimilikinya, dari level
taktik hingga level strategis. Kemudian David Grange mengatakan bahwa
peperangan asimetrik adalah sebuah konflik menyimpang dari batas-batas
kenormalan, atau sebuah pendekatan tidak langsung untuk mempengaruhi sebuah counter-balancing of force[3].
Kemudian Grange menambahkan bahwa peperangan asimetrik adalah pengertian
terbaik mengenai sebuah strategi, taktik atau metode peperangan dan konflik[4].
Fenomena
peperangan asimetrik sendiri pada dasarnya lahir seumur dengan keberadaan
perang itu sendiri. Peperangan ini dapat dilihat dari cara pandang yang
berbeda, baik dari segi kuantitas maupun kualitas dari sebuah kekuatan yang
dimiliki oleh aktor-aktor yang terlibat. Cerita tentang David dan Goliath
menjadi pembelajaran tentang sebuah peperangan asimetrik, perlawanan antara
pihak lemah dengan pihak kuat. David dengan menerapkan taktik dan teknik yang tidak
lazim di saat itu, serta dapat mengeksploitasi dan memanfaatkan kelemahan
Goliath sehingga dapat mengalahkannya. Goliath merupakan sebuah ikon mengenai
sebuah kekuatan yang besar dan tidak tertandingi pada saat itu. Di era modern
sekarang ini, terdapat pergeseran taktik dan tehnik dalam peperangan asimetrik,
hal tersebut dipengaruhi oleh peran globalisasi teknologi dan persenjataan yang
digunakan. Namun tidak ada perubahan yang
mendasar dalam filosofi, manakala pihak lemah dapat memanfaatkan kelemahan dan
kerawanan yang dimiliki sang penguasa yang kemudian dikenal dengan negative asymmetric, atau pihak kuat
dapat mengembangkan kekuatan yang dimilikinya untuk dapat mengalahkan pihak
lemah dengan menggunakan positive
asymmetric.
Globalisasi
dan keamanan merupakan dua permasalahan yang memiliki hubungan yang erat.
Formasi-formasi kekuatan ekonomi, politik, dan keamanan dunia mengalami
pergeseran dan bahkan mengalami sebuah tranformasi. Hal tersebut merupakan
pengaruh sebuah globalisasi. Ersel Aydinli (2005) memberikan catatan ada tiga
hal mendasar dalam melihat persoalan globalisasi dan keamanan yaitu; (1) uncertainty (ketidakpastian), yang
berarti bahwa globalisasi menjadikan suatu perubahan secara terus-menerus dan
menjadikan persoalan keamanan memiliki unsure ketidak pastian, (2) Power (kekuasaan), konfigurasi kekuasaan
yang menjadi latar dari berbagai konflik dan ketegangan akan menjadi ancaman
terhadap keamanan suatu negara menjadi penting untuk diperhatikan dalam rangka
melihat relasi dan jaringan terkait dengan ancaman terhadap keamanan nasional,
(3) konsepsi traditional state-centric dan
multistate-centric yang pada
gilirannya dua konsepsi dalam hubungan internasional tersebut tidak saling
meniadakan ata menghilangkan satu sama lain[5].
Terorisme sebagai Asymmetric Threats bagi Amerika Serikat
Globalisasi dan perkembangan teknologi
informasi telah menyebabkan aktor-aktor non-negara, seperti halnya
kelompok-kelompok teroris untuk terus mengembangkan kemampuannya dalam melawan kekuasaan
pemerintah. Jaringan teroris yang solid telah memberikan sebuah perlawanan
dengan melakukan tindakan-tindakan menggunakan kekerasan, memanfaatkan
kelemahan dan kelengahan yang dimiliki pemerintah, terutama dalam kerjasama
antara instansi pemerintah yang kurang efektif sehingga terdapat suatu celah
bagi keamanan sebuah negara. Jaringan kelompok teroris menggunakan strategi,
teknik, dan taktiknya dalam melawan kekuasaan pemerintah dengan menggunakan
cara-cara diluar batas kelaziman atau metode perang asimetris yang membuat pemerintah
sulit untuk memprediksi tindakan selanjutnya yang direncanakan oleh kelompok
tersebut.
Sejak
keruntuhan dan pecahnya uni soviet, AS menjadi satu-satunya negara adikuasa
yang menandai adanya kekuatan unipolar di dunia ini. Peran AS dalam menangani isu-isu
global, mempresentasikan bahwa AS merupakan kekuatan global yang memerankan
sebuah kekuatan unilateral. Keberadaan AS tersebut sebagai kekuatan besar di
dunia ini membuat AS dijadikan sasaran bagi kelompok terorisme yang mempunyai
keinginan dan mempengaruhi tatanan global dari sudut pandang yang berbeda,
kekuatan terorisme yang menyebar di berbagai tempat di dunia, mempresentasikan
bahwa terorisme dapat mempengaruhi keseimbangan tatanan dan kekuatan dalam
banyak dimensi[6].
Hal tersebut dapat mendorong sebuah penanganan yang bersifat global dengan
tujuan untuk mewujudkan kepentingan bahwa kondisi keamanan global akan
memberikan pengaruh terhadap situasi dalam keamanan nasional.
Runtuhnya gedung World Trade Centre (WTC) di New York tanggal 11 September 2001
akibat serangan teroris kini dilihat banyak pihak sebagai defining moment yang
mengakhiri era Pasca Perang Dingin[7].
Penyerangan ini merupakan pukulan
telak dan meruntuhkan simbol-simbol kedigdayaan AS sebagai negara adidaya,
Menara (world Trade
Center) WTC yang
diyakini sebagai simbol kapitalisme dunia dan Gedung Pentagon sebagai simbol
arogansi militer AS. Tragedi tersebut telah meningkatkan kesadaran
masyarakat internasional mengenai pentingnya sebuah kerjasama internasional
sebagai upaya dalam meningkatkan keamanan nasional. Peristiwa tersebut juga
telah mengubah AS dalam pandangan atau orientasi politik internasionalnya.
Dampak lainnya adalah momen tersebut mengubah tatanan global dalam memandang
arti keamanan nasional AS yang juga berpengaruh terhadap pelaksanaan pada
tataran keamanan internasional.
AS
menyadari seiring dengan perkembangan jaman, perubahan ancaman terhadap negara
semakin kompleks dan membutuhkan penanganan secara komprehensif. Sifat ancaman
juga mengalami perubahan, berbeda dengan pada saat perang dingin ancaman bagi
AS adalah perang-perang besar, seperti perang nuklir maupun ancaman serangan
dari Uni Sovyet, namun pada era sekarang ancaman bagi AS telah mengalami
transformasi sifatnya dapat menyerang semua aspek kehidupan yang tidak hanya
militer saja, tetapi juga ekonomi, sosial budaya.
Peristiwa
9/11 telah membuktikan bahwa ancaman pada era globalisasi sekarang ini dapat
berasal dari mana saja. Kekuatan-kekuatan radikal di dalam dapat pula menjadi
ancaman yang besar bagi kedigdayaan AS. Perangkat-perangkat yang digunakan
sebagai tindakan kekerasan tidak hanya berasal dari militer dengan persenjataan
yang canggih, akan tetapi muncul penggunaan perangkat yang sebelumnya tidak
terpikirkan oleh pihak-pihak pemerintah AS, seperti halnya penggunaan pesawat
terbang dalam melakukan penyerangan terhadap hegemoni AS. Penggunaan perangkat
yang tidak lazim ini ternyata dapat menembus keamanan dan meruntuhkan
kedigdayaan AS sebagai negara superpower.
Cara-cara asimetris ini telah membuat peningkatan status dalam urusan
keamanan nasional, karena ancaman asimetris dapat menyerang siapa saja, kapan
saja, dan di mana saja sehingga pemerintah AS terus berupaya meningkatkan
kerjasama secara komprehensif dengan melakukan perubahan kebijakan masalah keamanan
nasional.
Cyber
Threats – sebuah Ancaman bagi AS
Globalisasi
mempengaruhi perubahan dan perkembangan teknologi dan informasi secara cepat.
Memang tidak bisa diingkari, bahwa teknologi merupakan alat perubahan di tengah
masyarakat luas. Ketergantungan masyarakat akan teknologi telah meningkat,
ditandai dengan tingkat kebutuhan penggunaan teknologi dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari. Hal ini menandakan bahwa, teknologi juga rentan terhadap
serangan dari pihak tertentu guna menginginkan adanya ketidakstabilan dalam
pemenuhan hajat hidup masyarakat. Ketidakstabilan tersebut dapat menjadi
terkait dengan masalah keamanan apabila memang menyangkut keselamatan orang
banyak bahkan orang banyak.
Kehidupan
manusia kini telah diisi dengan perjuangan untuk menguasai, memperebutkan, dan
mengekploitasi infomasi. Penguasaan terhadap informasi menjadikan posisi baik
organisasi, negara meningkat karena kekuatan teknologi telah membuat
jaringan-jaringan stratgeis untuk menguasai informasi secara global.
AS
telah menancapkan akar-akar hegemoninya melalui globalisasi informasi, hal
tersebut membuat AS dijadikan sebagai pusat pardigma peradaban bagi
bangsa-bangsa lain di dunia. AS juga mencoba membangun opini dengan penguasaan
teknologi informasi AS dapat menguasai dunia secara global sehingga
bangsa-bangsa lain di dunia mengakui bahwa penguasaan tersebut merupakan suatu
kebutuhan yang tidak terelakkan[8].
Namun di sisi lain, kemajuan teknologi dan penguasaan informasi yang dimiliki
AS menimbulkan suatu celah kerawanan yang menjadi kelemahan yang logis bagi
sebuah keamanan nasionalnya. Penggunaan teknologi juga menawarkan konsekwensi
logis bagi sebuah kerawanan, karena pilihan penggunaan teknologi tersebut juga
pilihan yang penuh dengan kerawanan dan kelemahan, seperti halnya ranjau yang
siap membunuh terhadap sistem teknologi yang digunakan.
Ancaman
serius bagi sistem teknologi AS dewasa ini adalah serangan cyber terhadap sistem
mereka. Cyber War didefinisikan
sebagai aksi penetrasi suatu negara terhadap jaringan komputer negara lain
dengan tujuan menyebabkan gangguan hingga kerusakan (Richard A. Clark. 2010).
Aksi penetrasi yang dilakukan berupa national
security breaches (pelanggaran keamanan negara), spionase, dan sabotase. AS
sangat konsen dengan ancaman cyber ini,
hal tersebut dikarenakan ancaman cyber dapat
menyerang ke sektor perekonomian, social budaya, politik maupun kekuatan yang
menjadi center of gravity di bidang
pertahanan (Reksoprojo, 2011), sehingga sasaran-sasaran dari serangan cyber adalah jaringan-jaringan yang
vital bagi sebuah sistem penyelenggara kebutuhan bermasyarakat.
Departemen
pertahanan AS telah membagi ancaman cyber
terhadap sistem teknologi informasi menjadi dua yaitu; (1) Unintentional cyber threats, sebuah
ancaman cyber yang tidak berbahaya
yang disebabkan karena kerusakan peralatan atau pada saat melakukan upgrade software tidak sempurna sehingga
merusak sistem teknologi informasinya, (2) Intentional,
ancaman cyber disebabkan oleh
aktor-aktor jahat yang bertujuan untuk menyerang IT System baik yang menjadi target maupun bukan target langsung,
seperti; Script kiddie, Recreational
Hacker, Cyber Activist (Hacktivists), Organized Crime, Terrorist Organizations,
Nation-State Actors, dan Insider
Threats[9].
AS
mengalami beberapa ancaman berupa serangan cyber,
baik yang di lakukan oleh perseorangan, kelompok maupun negara. Pada tahun
1994, AS dikejutkan oleh serangan di dunia maya, pelakunya adalah seorang
remaja umur 16 tahun di Inggris dengan sasaran 100 sistem pertahanan di AS.
Kemudian pada kurun waktu 2001 hingga 2002, sebuah serangan cyber oleh aksi individual Briton,
menyebabkan komputer militer AS diretas dan tidak dapat dioperasikan[10].
Serangan-serangan ini membuka tentang sebuah paradigma sistem pertahanan bagi
AS dalam mengantisipasi keamanan cyber
karena bila hal tersebut menyerang dan berdampak pada core value security, maka langsung tidak langsung telah menjadi
ancaman besar bagi keamanan nasional AS. Kejahatan cyber juga menyerang sektor ekonomi,
sesuai dengan catatan FBI dalam kurun waktu 2011, sekitar 485.3 juta US Dollar
hilang akibat kejahatan tersebut.
Ancaman
Cyber bagi AS yang dilakukan oleh
negara berasal dari China. China yang menyadari bahwa melakukan perlawanan
terhadap AS secara kekuatan militer konvensional adalah hal memerlukan suatu
usaha yang besar. Menyadari kelemahan tersebut China berupaya mengembangkan
pendekatan asimetrik dengan mengembangkan pelatihan dan teknologi cyber warfare. Target-target potensial
AS meliputi sistem komputer di lembaga-lembaga keuangan, sistem perusahaan
penyedia kebutuhan hidup (listrik, air, komunikasi), sistem control lalu lintas
dan media massa. FBI National Infrastructure Protection Centre (NIPC) pada tanggal
26 April 2001 pernah merilis bahwa terjadi serangan hacker (peretas) China
dengan melakukan defacement halaman
web milk AS melalui internet dan hacker-hacker China tersebut terus
meningkatkan aktivitasnya dengan menyerang sistem komputer AS.
Perusakan-perusakan situs web dalam skala besar dilakukan oleh hacker-hacker
dari kedua belah pihak negara, seperti China
Eagle Alliance dan Poizon Box,
dan keduanya mengklaim telah melakukan defacement
dan Denial of Service Attack (Dos)[11]
sebanyak ribuan kali. Pada tahun 2007, pemerintah Amerika Serikat mengalami
"suatu spionase Pearl Harbor" di mana "kekuatan asing yang tidak
diketahui masuk ke semua badan teknologi tinggi, semua lembaga militer,
dan me-download informasi/data sampai dengan terabyte." Dari pengalaman
serangan-serangan melalui dunia maya tersebut maka AS mulai menyiapkan diri
terhadap segala kemungkinan skenario buruk yang akan terjadi akibat dari
serangan cyber.
Respon AS terhadap Asymmetric Warfare
Merujuk
kepada spectrum ancaman berupa asymmetric
threats yang semakin meningkat. Pemerintah AS terus melakukan pembenahan
baik dari doktrin, strategi, taktik, teknik dan metode untuk dapat mengounter
ancaman-ancaman asimetrik dari musuh baik aktor negara maupun aktor-aktor
non-negara. Berbagai peristiwa yang mengusik keamanan nasional AS telah membuat
AS meresponnya secara serius, mengingat ancaman asimterik tersebut berkembang
juga seiring dengan globalisasi dan perkebangan teknologi dan informasi.
Tragedi 9/11 telah menyadarkan AS, bahwa musuh terbesar mereka dapat tidak
berwujud kekuatan besar, namun berupa kekuatan-kekuatan kecil yang mampu meruntuhkan
simbol-simbol hegemoni politik dan ekonomi AS, serta dapat merubah orientasi
politik internasional AS.
Respon AS dalam Memerangi Terorisme
Global
Tragedi
serangan terhadap menara kembar WTC pada 11 September 2001 menyebabkan
runtuhnya anggapan sistem pertahanan dan keamanan nasional AS yang kuat.
Serangan dan sekaligus tamparan bagi pemerintah AS dalam memberikan rasa aman
terhadap warga negaranya. Peristiwa yang merengut ribuan nyawa menimbulkan rasa
simpati bangsa-bangsa di dunia terhadap AS yang tertimpa musibah dengan
jatuhnya korban jiwa. Merespon peristiwa yang menjadi defining moment tersebut pemerintah AS memberlakukan kebijakan AS
terkait dengan perang terhadap terorisme yang digulirkan oleh George W. Bush.
Pernyataan George W. Bush yang lebih dikenal dengan sebagai “Doktrin Bush” dengan
memerangi terorisme (Global War on
Terrorism). Kebijakan perang melawan terorisme dari pemerintah Amerika
Serikat di bawah Presiden, George W. Bush, secara umum tergambar dalam sejumlah
dokumen seperti The National Security
Strategt of the United States of America (2002), National Security Strategt to
Combat Weapons of Mass Destruction (2002), dan National Strategy for Combating Tenorism (2003). Selain ketiga
dokumen strategi itu, ada pula sejumlah “Executive
Order" dari Presiden, dan pidato-pidato Presiden George W. Bush yang
kemudian dijadikan dasar pengambilan kebijakan dalam perang melawan terorisme.
Terkait
dengan respon terhadap terorisme, AS mengalami perubahan secara signifikan
dalam menerapkan kebijakan dalam bidang keamanan, pertahanan, dan pandangan
politik luar negeri AS. Parameter AS dalam menilai sebuah negara juga berubah,
terjadi pergeseran konsentrasi dari isu permasalahan Hak Asasi Manusia dan
demokrasi menjadi perang melawan terorisme. Dalam rangka mengantisipasi dan
respon terhadap baik ancaman maupun serangan terorisme, AS mengadopsi sebuah
doktrin baru, yaitu preemption. Melalui
doktrin ini, AS bisa secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk
mengantisipasi tindakan sepihak terhadap apa yang dipersepsikan AS sebagai
ancaman dimana saja, khususnya melalui tindakan militer secara unilateral.
Doktrin preemption tersebut membuat
gelisah bagi banyak negara, dan dapat mengubah tatanan, nilai, dan norma-norma
hubungan antarnegara secara fundamental (Rizal Sukma, 2003).
Pasca
peristiwa 9/11 berbagai kerjasama internasional mulai digagas oleh AS, sebagai
bagian dari global war on terrorism.
AS berpendapat bahwa ini adalah momen yang tepat untuk membentuk kerjasama
internasional dalam rangka memerangi terorisme. Kerjasama internasional
tersebut dimaksudkan untuk menciptakan keamanan secara global, karena menurut
kebijakan strategis AS bahwa keamanan global akan sangat mempengaruhi terhadap
keamanan nasional AS.
Kerjasama
antar institusi di AS semakin ditingkatkan, salah satunya dengan memaksimalkan transformasi
militer AS yang memfokuskan pada upaya pertahanan dan pencegahan dari serangan
terorisme yang mempunyai konsep bahwa kategori musuh bisa menjadi lebih luas,
bisa perorangan, kelompok, maupun negara yang melindungi ataupun dengan
bekerjasama dengan jaringan terorisme global. Pasca 9/11, pengembangan
kemampuan dan pelatihan untuk menghadapi ancaman terorisme terus dilakukan
termasuk didalamnya adalah teknologi transformasi militer dengan mengembangkan
dari apa yang digunakan dalam proses RMA, (revolution
Milltary Affair) seperti Capabilities,
Control, Communication, Computing and Intelligenge, surveillance and
Reconnaissance processing (C4ISR).
Transformasi
militer AS diidentifikasi ada dua komponen, di antaranya; (1) mencari kombinasi
yang tepat dari kapabilitas militer dalam rangka merespon baik perang
konvensional maupun non konvensional, (2) mempersiapkan personel atau prajurit
militer yang memiliki ketrampilan dan kualitas moral yang fleksibel dalam
rangka menghadapi dua jenis peperangan[12],
termasuk di dalam nya adalah asymmetric
warfare. Militer AS melalui Arthur Cebrowski[13]
juga menekankan bahwa pada dasarnya penciptaan teknologi militer untuk
keperluan perang adalah sebagai kebutuhan dari upaya manusia dalam menegakkan
prinsip moral yan mereka junjung tinggi. Perubahan dari doktrin militer pasca
9/11 lebih bisa dikatakan sebagai pengembangan dari doktrin RMA, di antaranya
adalah standoff precision force, Unmanned
Combat Vehicle, Expeditionary and Highly Mobile Forces, Littoral Warfare dan
mengembangkan jointness (operasi
gabungan semua angkatan perang AS).
Pelatihan
dan pendidikan terus dikembangkan, seperti mengembangkan beberapa lembaga
kajian strategis, contohnya di College of
International Security Affairs (CISA) di National Defense University (NDU) yang mempunyai tujuan untuk
mengkaji isu-isu menyangkut keamanan internasional dalam menghadapi Irregular Warfare/Asymmetric Warfare,
counter terrorism dan lain-lain.Tranformasi di tubuh militer juga mendorong
semakin berkembangnya organisasi pasukan khusus untuk menghadapi terorisme,
operasi anti pemberontakan, serta tugas-tugas rekonstruksi dan stabilisasi
kawasan.
Dalam
menghadapi terorisme sebagai ancaman asimetrik, pemerintah AS juga mengembangkan
teknologi yang digunakan dalam badan intelijen AS. Selain itu, kerjasama antar
lembaga inteligen AS seperti, CIA, FBI, DEA dan lembaga-lembaga lainnya dibawah
koordinasi homeland security terus
ditingkatkan guna dapat mendeteksi dan mengatasi serangan dan ancaman terorisme
di AS. Human Intelligen (Humint)
terus dikembangkan dengan mendapat dukungan peralatan modern menandakan
keseriusan AS dalam memerangi permasalahan terorisme. Sistem keamanan
penerbangan baik domestik maupun internasional ditingkatkan, karena penerbangan
merupakan salah satu transportasi strategis yang dapat digunakan sebagai
sasaran maupun media teroris dalam melakukan aksinya.
AS
sebagai negara adidaya tunggal saat ini sangat yakin bahwa dengan pendekatan
militer merupakan pendekatan terbaik dalam memenuhi dan melindungi
kepentingan-kepentingan keamanannya[14].
Pentagon memerankan peran yang dominan dalam menjalankan kebijakan luar negeri,
didorong dengan peningkatan anggaran pertahanan secara signifikan semenjak
kejadian 9/11, dan juga peningkatan bantuan militer kepada pemerintah di
negara-negara yang diharapkan AS dapat menjadi mitra dalam perang melawan
terorisme. AS memiliki pandangan bahwa lebih penting menghancurkan
kelompok-kelompok yang menjadi organisasi terorisme dari pada mencari dan
menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya terorisme sendiri[15].
Respon AS dalam Menghadapi Cyber Threats
Sistem internet merupakan suatu investasi yang menarik
dan diperlukan diberbagai elemen kehidupan, namun secara strategis sangat
rentan terhadap serangan dari luar, serangan tersebut dapat berasal dari
aktor-aktor negara lain maupun aktor non-negara. Adapun taktik dan strategi yang digunakan dapat berupa
spionase, propaganda, menghentikan operasional internet, memodifikasi data, dan
memanipulasi infrastruktur, serta akan terus berkembang, semua ini akan sangat
merugikan dan melemahkan sendi-sendi kehidupan negara[16]
dan dapat mengganggu keamanan nasional AS.
AS
sebagai negara yang memiliki kemampuan financial dan penguasaan teknologi
tinggi, dalam menghadapi ancaman dan serangan cyber yang dapat membahayakan sistem operasional komputer di
berbagai elemen kehidupan, pemerintah AS telah mempersiapkan diri untuk
menghadapi cyber warfare.. Persiapan
yang dilakukan AS meliputi pembangunan infrastruktur salah satunya adalah
membangun sistem komputer dengan kemampuan sangat tinggi, media broadband (fiber optic, satelit). Hasil
riset para peneliti AS telah menghasilkan komputer-komputer berteknologi tinggi
dan menduduki tiga besar dunia, ini menunjukkan bahwa AS secara serius terus
mengembangkan infrastruktur sistem komputernya untuk menghadapi ancaman dan
serangan cyber yang ditujukan kepada
mereka. Jaguar - Cray
XT5-HE Opteron Six Core 2.6 GHz, Cray Inc. super
computer berkemampuan sangat tinggi milik AS, merupakan infrastruktur
yang dapat digunakan untuk melakukan manuver spionase, propaganda, menghentikan
operasional internet, memodifikasi data, dan memanipulasi infrastruktur, secara
menyakinkan jauh meninggalkan kemampuan negara-negara lain, terlebih bagi
negara yang tidak memiliki komputer super[17].
Pemerintah
AS melalui Departemen Pertahanannya menyiapkan beberapa strategi sebagai tindak
lanjut dari President’s cyber guidance.
Strategi tersebut meliputi; (1) mengenali dan mengadaptasi perkembangan
kebutuhan militer untuk menciptakan jaringan yang aman dan dapat diandalkan,
(2) membangun dan meningkatkan aliansi militer guna menghadapi ancaman di
bidang cyber, (3) memperluas kerjasama
keamanan cyber dengan sekutu dan
partner dalam keamanan bersama, dan (4) merespon setiap tindakan kejahatan
dalam cyberspace. Departemen
Pertahanan AS juga mereponnya dengan membentuk US Cyber Command yang terdiri
dari orang-orang terampil dan ahli dalam seni cyber warfare, gabungan dari pegawai pemerintah, militer, penegak
hukum, intelijen, sektor swasta dan ahli hacker dengan memiliki keahlian
seperti keamanan informasi, hacking, spionase, dan komputer forensic.
Kesimpulan
Dibandingkan
dengan isu-isu demokrasi, HAM memang menjadi konsentrasi AS dalam tatanan
global, namun semenjak pasca peristiwa 9/11, AS lebih berkonsentrasi kepada
perang melawan teror sebagai strategi untuk memerangi kejahatan teroris dalam
skala global. Hal tersebut menjadi pilihan strategis AS yang diambil karena
beranggapan dengan menata keamanan secara global dapat berpengaruh terhadap
keamanan nasional AS.
Melihat kompleksitas lingkungan
strategis, sifat dan bentuk ancaman, perubahan sifat perang, kemajuan
teknologi, dan faktor geografis, strategi pertahanan AS memerlukan perubahan
doktrin untuk melawan dan menghadapi asymmetric
warfare yang bisa mengancam keamanan nasional. Beberapa kebijakan strategis telah
dibuat AS dalam menghadapi ancaman-ancaman asymmetric
yang dapat mengganggu keamanan nasional AS. Kerjasama internasional untuk
menciptakan keamanan global terus dilakukan oleh AS sebagai suatu mekanisme
sekuritisasi terhadap masalah-masalah terorisme. AS juga meningkatkan
peran-peran seperti akademisi, militer, penegak hukum, ahli IT, dan juga
aktor-aktor non-negara seperti halnya LSM, media massa untuk terlibat dalam
upaya-upaya pencegahan ancaman asimetrik terhadap keamanan nasional AS.
Daftar Pustaka
Arreguin-Toft, Ivan. 2001.How the Weak Win Wars, dalam Jurnal International Security, Vol.26, No 1.
Budiardjo, Miriam. 1983.
Konsep kekuasaan:Tinjauan Kepustakaan,
dalam Miriam Budiardjo (Ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta:
Sinar Harapan.
Djelantik,
Sukawarsini. 2010. Terorisme Tinjauan
Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan keamanan Nasional. Jakarta:
Buku Obor
Gerth, H.H dan C. Wright Mills. 1974. From Max
Weber: Essay in Sociology, London dan Boston: Routledge & Kegan Paul
Ltd.
Hermawan,
Yulius P. 2007. Tranformasi dalam Studi
Hubungan Internasional. Bandung: Graha Ilmu.
Hough, Peter. (2008). Understanding Global Security. New York: Routledge.
Octavian Amarula. (2012). Militer dan Globalisasi. Jakarta: UI Press.
Sukma, Rizal. 2003. Keamanan Internasional Pasca-11 September 2001: Terorisme, Hegemoni AS
dan Implikasi Regional.
Thornton, Rod. 2007. Asymmetric Warfare. UK: Polity Press.
Winarno, Budi. 2011. Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Caps.
[1] Anak Agung
B.P. 2007. Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan Realisme dan Neo Realisme
dalam Hubungan Internasional Kontemporer dalam buku Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha
Ilmu. Hal 40-43.
[2] Rod
Thornton (2007), Asymmetric Warfare, UK:
Polity Press, Hal. 1.
[3] Ibid. hal. 19.
[4] Ibid. hal. 21.
[5] Amarrula
Octavian. 2012. Militer dan Globalisasi Jakarta:
UI Press. Hlm 20.
[6] Budi
Winarno (2011), Isu-Isu Global
Kontemporer, Yogyakarta: Caps, Hal.179.
[7] Rizal
Sukma (2003), Keamanan Internasional
Pasca-11 September 2001: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional. http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Keamanan%20Intl%20-%20rizal%20sukma.pdf
[8] Abdul Wahid
dan Mohammad Labib, 2010. Kejahatan
Mayantara/Cyber Crime. Bandung: Refika Aditama. Hal. 20.
[9] Paparan dari Army Cyber Command/2nd US Army pada
saat visit study tanggal 5 November 2012.
[10] Rod Thornton, Op.cit. Hal. 60.
[11] DoS mempunyai
tujuan untuk memacetkan sistem dengan mengganggu akses dari pengguna yang sah
(legitimasi) taktik yang digunakan biasanya dengan membanjiri situs web dengan data-data yang tidak penting.
[12] Amarrula
Octavian. 2012. Op.cit. Hal. 109.
[13] Kepala
Transformasi Angkatan Bersenjata AS.
[14] Rizal
Sukma (2003), Loc.cit. hal 6.
[15] Ibid.
[16] Noor Pramadi.
2010. Mandala Perang Baru “Cyber Warfare”
Sudah Dimulai !!!. diakses dari ww.tandef.com.
[17] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar