STRATEGI PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN
KOMPONEN KEKUATAN NASIONAL DALAM MENGHADAPI PERANG ASIMETRIK ABAD 21 DI
INDONESIA
Sigit
Sasongko
Komponen
kekuatan nasional Indonesia yang akan dibahas dalam tulisan ini terdiri dari
diplomasi, informasi, militer, dan ekonomi.
Keempat unsur ini berkaitan satu sama lain dan saling membutuhkan,
militer yang kuat tentunya akan
menimbulkan efek gentar strategis atau "strategic deterrent effect" (informational) kepada negara-negara di kawasan
sehingga akan dapat
menjadi daya tangkal terhadap ancaman dari luar. Selain itu, militer yang kuat tentunya dapat mendukung upaya diplomasi (diplomatic-political)
agar memperoleh bargaining
position yang memadai dalam setiap penyelesaian suatu konflik dengan
negara lain. Dengan bargaining yang kuat maka secara
otomatis militer akan melindungi momentum kemajuan ekonomi dari gangguan pihak
luar maupun dalam negeri, terutama dengan cara menciptakan stabilitas dalam
negeri serta melindungi aset-aset ekonomi.
Hubungan seperti ini yang pada dasarnya belum optimal diaplikasikan
dalam sistem pertahanan negara Indonesia dalam
menghadapi perang asimetris.
Dalam
tulisan ini akan dibahas mengenai karakteristik perang asimetris abad 21 untuk
Indonesia kemudian strategi pembinaan dan pengembangan komponen kekuatan
nasional Indonesia untuk mengatasi perang asimetrik abad 21. Mengingat
Indonesia mempunyai posisi strategis diantara dua samudera dan dua benua tidak
menutup kemungkinan banyak ancaman yang harus dihadapi. Khususnya ancaman
asimetris, Indonesia menghadapi dua dimensi yang berbeda, di mana Indonesia
berada di posisi yang kuat dalam menghadapi aktor non-negara seperti terorisme
dan separatisme di dalam negeri, namun dilain pihak Indonesia berada di posisi
yang lemah ketika berhadapan dengan negara besar seperti halnya China.
Karakteristik
Perang Asimetris Abad 21 untuk Indonesia
Di era globalisasi sekarang ini, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi membuat baik jarak maupun waktu menjadi
sedemikian dekat. Globalisasi juga telah menciptakan ruang baru dimana negara
tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dalam percaturan ekonomi maupun politik
global. Fenomena ini juga telah menciptakan spectrum ancaman yang sedemikian
unik, suatu ancaman terhadap kehidupan manusia yang semakin luas dan beragam.
Ancaman tersebut bukan hanya berasal dari aktor-aktor negara berupa ancaman
agresi seperti timbulnya perang-perang besar. Namun fenomena yang terjadi
sekarang ini muncul ancaman-ancaman yang berasal dari aktor-aktor non-negara
yang perkembangannya lebih mengancam kedaulatan negara. Penguasaan terhadap
suatu negara dengan cara-cara lama melalui jalan perang secara langsung sudah
mulai ditinggalkan berganti dengan strategi perang secara tidak langsung dengan
menguasai kehidupan secara multidimensi. Tentara dan persenjataan canggih bukan
lagi pemegang monopoli kekerasan terhadap kemanusiaan, tetapi justru dari
perangkat-perangkat sipil yang tidak dibayangkan sebelumnya[1].
Fenomena-fenomena inilah yang kemudian muncul istilah yang lebih dikenal dengan
sebutan Perang Asimetris.
Perang Asimetris lebih sering disebut sebagai
perang generasi keempat yang merupakan sebuah bentuk perang dengan menggunakan
cara berpikir yang tidak lazim dan diluar aturan peperangan yang berlaku karena
berakar dari ketidakmampuannya menghadapi kekuatan musuh yang lebih kuat. Rod
Thornton dalam bukunya Asymmetric Warfare
mengemukakan bahwa Peperangan Asimetris adalah sebuah aksi kekerasan yang
dilakukan oleh si lemah melawan si kuat, dimana si lemah dapat berupa aktor
negara atau aktor non-negara, mencoba untuk menghasilkan pengaruh yang mendalam
disemua level peperangan dengan mengerahkan keunggulan yang dipunyai dan
memanfaatkan kerawanan-kerawanan dari pihak yang lebih kuat[2].
Globalisasi dan kemajuan teknologi telah membuka sebuah era baru dalam
peperangan yang melibatkan multi aktor. Indonesia sebagai negara berdaulat
menghadapi berbagai ancaman baik yang berasal dari luar maupun dari dalam
negeri, sadar atau tidak sadar ancaman dari dalam negeri terus meningkat
seiring dengan munculnya aktor-aktor non-negara yang bertujuan untuk
mempersempit ruang gerak pemerintahan, penyebaran terhadap ajaran-ajaran
radikal, eksistensi kelompok, dan tujuan politik untuk mengganti ideologi
negara dengan sebuah ideologi tertentu.
Munculnya aksi-aksi teror yang terjadi di
Indonesia, menandakan hadirnya aktor non-negara yang menginginkan tujuan
tertentu dan bertentangan dengan negara. Gerakan terorisme di Indonesia hampir
seumur dengan berdirinya republik ini[3],
kemudian menjadi sorotan dunia internasional setelah terjadinya Bom Bali I dan
Bom Bali II. Selain gerakan terorisme, muncul pula berbagai kelompok
separatisme seperti di Aceh oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Papua oleh
Organisasi Papua Merdeka (OPM). Berbagai media digunakan oleh kelompok-kelompok
tersebut dengan memanfaatkan teknologi dan informasi untuk dijadikan isu-isu
yang dapat menggoyang dominasi negara dan penyelenggaraan pemerintahan. Perlawanan
ini dilakukan secara sistemik guna mendapatkan hati dan pikiran rakyat serta
lambat laun dapat menghancurkan negara dari dalam. Disinilah terjadi Asimetris
yang merujuk kepada kata ketidakseimbangan, dimana posisi aktor-aktor negara
tersebut berada di pihak yang lemah berusaha melakukan perlawanan terhadap
aktor negara, yaitu Indonesia sebagai pihak yang lebih kuat. Para aktor
non-negara baik gerakan terorisme maupun separatisme berusaha memanfaatkan
kelemahan dan kerawanan yang dimiliki bangsa Indonesia untuk dapat mewujudkan
tujuan politiknya sehingga dapat memisahkan diri dari Negara Indonesia.
Disamping menghadapi ancaman-ancaman dari
keberadaan aktor-aktor non-negara yang mempunyai keinginan untuk memisahkan
diri, Indonesia sebagai bangsa berdaulat juga menghadapi ancaman dari
aktor-aktor negara yang berada di kawasan Asia Pasifik, walaupun secara
prediksi ke depan bangsa indonesia tidak akan mengalami agresi atau invasi
militer secara besar-besaran dari suatu negara. Namun yang perlu diwaspadai
adalah munculnya pengaruh-pengaruh negara-negara besar yang dapat mempengaruhi
kebijakan dan tata kelola pemeritahan dari tingkat lokal hingga global sehingga
tidak dapat melaksanakan fungsi pemerintahan dan negara secara baik.
Konflik-konflik perbatasan, konflik wilayah mengenai Sumber Daya Alam (SDA)
menjadi trend ancaman yang terjadi antar negara. Berbagai kepentingan muncul
dengan wujud klaim-klaim wilayah yang cenderung memiliki SDA yang diyakini
dapat menjadi investasi negara di masa depan. Contoh nyata adalah konflik Laut
China Selatan yang menyangkut beberapa negara tetangga Indonesia seperti Vietnam,
Malaysia, Brunei dan Filipina menghadapi klaim wilayah yang dilakukan China.
Indonesia yang secara tidak langsung ikut dalam konflik tersebut, tetapi antara
Indonesia dan China masih terdapat tumpang tindih teritorial di sebagian
wilayah perairan timur laut Kepulauan Natuna. Di Perairan tersebut terdapat
tiga blok eksplorasi minyak dan gas bumi milik Indonesia[4]
yang memang menjadi klaim China melalui nine
dash lines policies-nya. Tumpang tindih teritorial ini harus menjadi tempat
khusus bagi Indonesia dengan tetap menjaga kewaspadaan terhadap kedaulatan dan
kepentingan nasional yang harus tetap dibela. Selain menghadapi permasalahan
klaim territorial, Indonesia – China juga menghadapi suatu permasalahan
asimteris dalam menghadapi perdagangan bebas sebagai dampak dari penerapan ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA), dimana
terdapat keasimterisan dalam bidang ekonomi antara Indonesia dan China yang
bila dibiarkan akan menjajah Indonesia secara ekonomi. Berhadapan dengan negara
besar seperti China menempatkan Indonesia sebagai negara yang lebih lemah dari
China sehingga perlu strategi-strategi tertentu sebagai bentuk peperangan
asimetris.
Bersumber dari beberapa dimensi yang berbeda
dimana Indonesia sebagai aktor negara berhadapan dengan aktor non-negara (separatisme
dan terorisme), Indonesia memposisikan diri sebagai pihak yang lebih kuat
seharusnya bisa mengoptimalkan strateginya dengan Positive Asymmetric. Di lain sisi berhadapan dengan negara besar
seperti China, Indonesia harus mampu mengoptimalkan strategi dengan menerapkan Negative Asymmetric sebagai bentuk strategi
dari Peperangan Asimetris. Inilah karakteristik perang Asimetris Indonesia
dalam menghadapi ancaman dari aktor negara dan aktor non-negara dalam menjaga
keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Komponen
Kekuatan Nasional Indonesia Untuk Menghadapi Perang Asimetris
Dalam tulisan ini komponen kekuatan nasional
yang dibahas dalam menghadapi Perang Asimetris yang dilakukan oleh Indonesia
adalah Diplomasi, Informasi, Militer, dan Ekonomi.
Diplomasi
Bertolak dari permasalahan ancaman asimetris terhadap Indonesia,
sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menindaklanjuti permasalahan
tersebut sebagai potensi ancaman bagi keselamatan dan kedaulatan NKRI. Ancaman asimetris
tersebut dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor baik negara maupun non-negara
sebagai titik-titik rawan yang dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan bangsa. Pemerintah RI perlu
berkomitmen bersama untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI dari ancaman
terorisme, separatisme atau disintegrasi yang dilakukan oleh sekelompok
aktor-aktor non-negara. Salah satunya adalah dengan menguatkan peran diplomasi,
karena diplomasi merupakan faktor terpenting dari segenap faktor yang
menyebabkan suatu negara menjadi kuat. Kualitas diplomasi dalam melaksanakan
hubungan luar negeri dalam suatu negara oleh para diplomatnya untuk kekuatan
nasional dalam masa damai, sama artinya dengan siasat dan taktik militer oleh
pemimpin militernya untuk kekuatan nasionalnya dalam masa perang[5].
Diplomasi Indonesia pada abad 21 dihadapkan pada berbagai perubahan dan
pergeseran kekuatan dalam lingkungan strategis global dan regional sebagai
dampak pada aspek hubungan antarnegara[6]. Dengan kualitas diplomasi
yang bagus, pemerintah RI dapat mempunyai suatu pengaruh maksimum atas
masalah-masalah dalam situasi internasional yang langsung menyangkut
kepentingan negara.
Informasi
Informasi
memegang peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan. Di era modern
sekarang informasi sangat mudah untuk diakses melalui media, baik media cetak
maupun elektronik. Kebebasan pers yang digaungkan oleh masyarakat menjadi batu
loncatan bagi para penyaji informasi di Indonesia untuk menggerakan bisnisnya
semenjak pasca reformasi. Namun kebebasan tersebut disamping mempunyai banyak
manfaat positif juga menjadi suatu kerawanan tersendiri bagi Negara RI.
Kerawanan
informasi harus mendapat sorotan yang besar dari pemerintah. Banyak contoh
sudah terjadi akibat kebebasan informasi, karena informasi dapat dijadikan
sebagai kekuatan untuk melancarkan sebagaimana disebut sebagai perang
informasi, seperti yang terjadi di negara-negara Arab. Peristiwa Arab Spring seperti yang terjadi di
Mesir, Libia, dan Suriah, konflik yang terjadi di negara-negara tersebut
berasal dari akses informasi melalui media sosial seperti facebook dan twitter yang
berhasil dimanfaatkan oleh aktor-aktor non-negara yang berkedudukan sebagai
oposisi pemerintah untuk menggalang perlawanan terhadap pemerintah yang syah.
Akibat perang informasi yang sangat efektif dan dapat dengan cepat merebut hati
maupun pikiran rakyat maka dengan waktu yang relative singkat timbul gejolak
perlawanan yang besar terhadap pemerintahan.
Melihat
peristiwa yang terjadi di negara-negara arab tersebut, sudah menjadi kewajiban
pemerintah memperhatikan peran informasi yang disampaikan atau diberitakan oleh
media sebagai sarana pembentukan opini publik dan menjadi strategi asimetrik
bagi para aktor non-negara. Tak luput dari itu semua juga perlu memperhatikan
peranan LSM-LSM yang berada di Indonesia yang memang keberadaannya terkadang
menyudutkan pemerintahan RI khususnya keberadaan aparat TNI dan Polri seperti
yang berada di Papua sehingga apabila dibiarkan akan dapat mengancam kedaulatan
RI. Di era sekarang informasi sangat mudah menyebar dan diakses oleh semua
lapisan masyarakat. Media massapun dijadikan sebagai sarana untuk melancarkan
perang-perang informasi sebagai bentuk dari perang urat syaraf dalam rangka
merebut hati dan pikiran rakyat dengan harapan rakyat dapat memberikan dukungan
kepada aktor-aktor non-negara tersebut untuk memberikan perlawanan terhadap
pemerintah RI.
Militer
Perkembangan
dunia militer saat ini tidak terlepas dari dinamika globalisasi. Globalisasi
menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam perikehidupan manusia yang
pada gilirannya membuat pola-pola konflik kepentingan bergeser sehingga bila
konflik-konflik tersebut tidak dapat dikelola dengan baik akan muncul beberapa
ancaman terhadap keamanan nasional suatu negara[7].
Terkait dengan ancaman separatisme yang ada di Indonesia seperti halnya di Papua,
dikarenakan kelompok separatis di Papua dalam memperjuangkan kemerdekaan telah
menggunakan peperangan asimetris dengan melakukan cara menguatkan jalan
diplomasi melalui ILWP (International Lawyer West Papua) dan IPWP (International
Parlementary West Papua). Kedua organisasi ini berusaha meyakinkan dunia
internasional untuk dapat mendukung perjuangan kemerdekaan di Papua. Perlu
suatu pendekatan khusus dalam menggunakan kekuatan militer sebagai salah satu
elemen kekuatan nasional, karena bila pemerintah RI terprovokasi untuk
menggunakan kekuatan militer secara besar-besaran dalam mengatasi permasalahan
berupa separatisme di Papua maka akan memberikan dampak negatif terhadap cara
pandang dan opini internasional terhadap perjuangan kelompok separatis yang
menginginkan kemerdekaan Papua.
Terkait
dengan permasalahan dalam konflik Laut China Selatan, keberadaan militer
menjadi sangat diperlukan karena memegang peranan sebagai pemberi efek
penangkal (detterent effect) bagi negara-negara
lainnya. Namun kondisi militer Indonesia khususnya TNI masih jauh dari standar,
baik kesejahteraan anggotanya maupun alutsista yang dimilikinya. Dalam hal
konflik Laut China Selatan kita perlu mengetahui kekuatan alutsista khususnya
kekuatan laut masing-masing negara yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Komparasi Kekuatan
Laut di Kawasan Laut China Selatan 2012
China
|
Indonesia
|
Thailand
|
Singapura
|
Malaysia
|
Philipina
|
Vietnam
|
|
Submarines
|
|||||||
SSBN
|
3
|
||||||
Tactical (SSK)
|
68
|
2
|
5
|
2
|
2
|
||
Principal Surface
Combatan (PSC)
|
|||||||
Destroyer
|
13
|
||||||
Frigate
|
65
|
11
|
10
|
6
|
10
|
1
|
2
|
Patrol and
Coastal combatant (PCC)
|
211
|
67
|
83
|
35
|
37
|
63
|
62
|
Mine Warfare
|
73
|
||||||
Mine Counter
Measure
|
88
|
11
|
19
|
4
|
4
|
13
|
|
Mine Layer
|
1
|
||||||
Log & Support
|
205
|
32
|
14
|
2
|
13
|
7
|
25
|
Landing Aircraft
|
151
|
54
|
56
|
34
|
115
|
26
|
30
|
Landing Ships
|
87
|
26
|
8
|
7
|
6
|
||
Amphibious vessel
|
1
|
5
|
|||||
Aircraft Carrier
|
1
|
Sumber
: Military Balance 2012
Berdasarkan
data tersebut Indonesia berada di posisi bawah setelah China, dan memiliki
keseimbangan dengan negara-negara lainnya, namun perlu disadari bahwa keberadaan
alutsista atau kekuatan laut Indonesia masih merupakan jumlah keseluruhan bukan
kekuatan yang sudah terbagi berdasarkan lokasi-lokasi tertentu, sehingga hal
tersebut menjadi penting bahwa kekuatan laut Indonesia belum cukup dalam
menghadapi konflik di Laut China Selatan apabila memang terjadi suatu
pertempuran. Kondisi asimetris kekuatan laut inilah supaya dijadikan menjadi
bahan penting untuk tidak terlena dalam menghadapi ancaman-ancaman dari aktor
negara khususnya dalam konflik Laut China Selatan.
Berdasarkan
tabel 1 diatas kondisi alutsista TNI AL masih berada di bawah rata-rata dari
jumlah ideal. Seperti halnya kapal selam TNI AL hanya memiliki 2 kapal selam
dengan kategori tactical submarine memiliki
jenis patrol submarine (SSK) masih di
bawah rata-rata jumlah negara yang terlibat konflik yaitu 12 kapal selam. Jumlah
kapal perang TNI AL gabungan PSC dan PCC (78 unit) masih dibawah jumlah
rata-rata kapal perang negara-negara di kawasan Laut China Selatan (97 unit). Demikian
juga dengan kapal pendukung TNI AL (amphibious,
logistic, dan support) dengan jumlah 112 unit masih berada di bawah nilai
rata-rata jumlah kekuatan kapal pendukung (128 unit) yang ada di kawasan Laut
China Selatan. Merujuk data perbandingan diatas perlu dirumuskan jumlah
kekuatan laut yang ideal sebagai bagian dari strategi penggunaan militer
khususnya kekuatan TNI AL dalam menghadapi konflik di Laut China Selatan
sebagai ancaman asimetris yang dapat mengganggu kedaulatan NKRI.
Ekonomi
Beragam
kemajuan di bidang pembangunan ekonomi telah dialami Indonesia. Transformasi
ekonomi Indonesia telah membawa
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan bermula berbasis ekonomi yang
berasal dari kegiatan pertanian tradisional lambat laun bergeser menjadi negara
dengan mengandalkan industri manukfatur dan jasa.
Indonesia
juga memainkan peran yang makin besar di perekonomian global. Saat ini
Indonesia menempati urutan ekonomi ke -17 terbesar di dunia[8].
Perekonomian Indonesia saat ini sedang diakui oleh dunia karena keberhasilannya
dalam melewati krisis ekonomi global tahun 2008, dan perbaikan peringkat
hutang. Tantangan Indonesia di bidang ekonomi ke depan sangatlah besar dan
tidak mudah untuk ditangani. Salah satu tantangan ke depan adalah penerapan ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) dimana
terdapat penerapan pembebasan bea masuk dan Meliberalisasikan perdagangan
barang dan jasa melalui pengurangan serta penghapusan tarif. Apakah Indonesia
siap menghadapi tantangan dalam bidang ekonomi ini, dimana terdapat perimbangan
ekonomi dengan China yang masih asimteris? Dan bagaimana strategi ekonomi
Indonesia dalam menghadapi asimetris dalam bidang ekonomi ini dengan China?
Strategi Pembinaan dan Pengembangan
Komponen Kekuatan Nasional di Indonesia
Strategi Diplomasi
Dalam penggunaan kekuatan diplomasi
perlu melihat situasi dan kondisi kawasan baik regional maupun secara global
khususnya di wilayah Asia Pasifik. Menghadapi ancaman berkaitan
dengan Peperangan Asimetris, Indonesia harus menyikapinya dengan dua
pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah dengan memperkuat penataan sistem
politik dalam negeri yang dapat memberikan stabilitas politik dalam negeri yang
dinamis sehingga menimbulkan efek penangkal yang tinggi. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan keluar yang
diarahkan untuk mendinamisasikan strategi dan upaya diplomatik melalui
peningkatan peran instrumen politik luar negeri dalam membangun kerja sama dan
saling percaya dengan negara-negara lain sebagai kondisi untuk mencegah atau mengurangi
potensi konflik antarnegara, yang dimulai dari tataran internal, regional,
supraregional, hingga global[9].
Melihat indikasi keterlibatan
internasional, perlu suatu kerjasama berupa public
diplomacy[10]
bilateral maupun multilateral
diplomacy sebagai suatu strategi dalam soft power yang meliputi negara-negara kawasan Asia Pasifik terkait
dengan dinamika geopolitik dan geostrategi yang diusung oleh masing-masing
negara tersebut. Dengan meningkatkan kerjasama diplomatik secara interrelationship sesuai dengan
kapasitas kepentingan nasional Indonesia dengan pula memantapkan wawasan
nusantara dan ketahanan nasional, diharapkan memperoleh dampak yang positif
dalam mempertahankan kedaulatan RI dari ancaman terorisme, separatisme di Papua
maupun dalam menghadapi negara besar seperti China terkait permasalahan klaim
territorial yang terdapat tumpang tindih.
Kegagalan-kegalan
masa lalu Bangsa Indonesia dalam menghadapi tekanan dunia internasional menjadi
pelajaran tersendiri untuk dijadikan pedoman dalam mengambil langkah di masa
depan. Perlunya suatu hubungan baik antar negara baik di kawasan regional
maupun global dapat ditingkatkan dengan melaksanakan kerjasama diplomatik secara aktif. Peran serta aktif
lembaga-lembaga yang terlibat sebagai pengambil keputusan harus dilaksanakan
secara interrelationship dalam
mengambil langkah-langkah dalam optimalisasi penggunaan kekuatan diplomasi
sebagai bagian dari upaya mempertahankan kedaulatan RI dari ancaman-ancaman
asimetris yang datang dari baik dari aktor negara maupun non-negara.
Strategi Informasi
Perlu
suatu strategi khusus guna mengeliminir penyebaran informasi atau untuk mengounter perang informasi yang
dilancarkan oleh aktor-aktor non-negara dalam rangka menyudutkan pemerintah. Menghadapi
peperangan informasi pemerintah melalui Kementerian
Pertahanan dan Kementerian Komunikasi dan Informasi perlu mengadakan kerjasama
secara interrelationship dan merumuskan
kebijakan nasional untuk mewujudkan keunggulan informasi dalam rangka
pertahanan negara. Kebijakan nasional ini berfungsi sebagai dasar hukum bagi
pelaksanaan Operasi Informasi di seluruh jajaran pertahanan militer dan nirmiliter
melalui beberapa lembaga pemerintahan seperti TNI, Polri, Pemda, BUMN maupun
swasta untuk bersama-sama mencegah terjadinya penyebaran informasi yang dapat
menyudutkan pemerintah khususnya dalam rangka mencari dukungan untuk memisahkan
diri dari NKRI. Melaksanakan pemonitoran terhadap situs-situs di internet yang
mengarah terhadap provokasi dan ancaman separatisme maupun yang berisikan penyebaran
ajaran radikal yang dapat mengarah ke terorisme. Mengaktifkan komunikasi antara
pemerintah dengan rakyat seperti diadakannya program TMMD, posyandu, pengobatan
masal dan sebagainya yang bertujuan untuk meraih hati rakyat guna
mengantisipasi penyebaran paham terorisme dan separatisme yang dapat mengancam
kedaulatan negara RI.
Strategi Militer
Melihat
kondisi yang ada maka penggunaan kekuatan militer sebagai pola security approach dalam menghadapi
permasalahan di Papua berupa ancaman separatisme harus terus dikaji dengan
menimbang berbagai faktor baik internal, regional maupun global. Mengedepankan
kerjasama pertahanan di kawasan merupakan cara berdiplomasi terbaik dalam
bidang militer guna meyakinkan dan menggalang opini dunia internasional untuk menekan
ancaman separatisme di Papua.
Adapun
penggunaan kekuatan militer difokuskan sebagai pendukung dalam mengatasi
ancaman tekanan dari kelompok separatis bersenjata OPM dengan tetap
mengedepankan smart power yaitu
menerapkan operasi intelijen berupa penyelidikan maupun penggalangan sebagai
langkah terbaik yang bersinergis dengan pemberdayaan wilayah, ekonomi lokal dan
komponen pembangunan lainnya. Dalam melaksanakan strategi smart power ini, pemerintah perlu memberikan dukungan terhadap
kebutuhan masyarakat di Papua, seperti yang dikemukakan oleh David Galula bahwa
salah satu cara mengatasi pemberontakan adalah dengan mendukung kebutuhan
penduduk[11].
Pemerintah harus jeli dalam menggunakan kekuatan militernya, yang terpenting
disini adalah bagaimana to win the heart
and mind of people, sehingga bilapun pemerintah menggunakan kekuatan
militernya harus melalui strategi pemberdayaan kewilayahan sesuai dengan
karakter daerah dan penduduk seperti halnya di Papua guna merangkul masyarakat
untuk tetap mempertahankan kedaulatan RI dari ancaman separatisme.
Dalam
menghadapi ancaman asimetris yang merupakan bagian dari konflik di kawasan Laut
China Selatan, maka pemerintah perlu mengoptimalkan keberadaan kekuatan militer
khususnya armada TNI AL dalam rangka perimbangan kekuatan guna menghadapi
ancaman di kawasan Laut China Selatan tersebut, perlu beberapa kajian dari
pemerintah seperti halnya rencana pemerintah menambah armada lautnya. Kekuatan
angkatan laut secara prinsip berbasis pada kekuatan Alutsista bukan pada kekuatan
personel seperti halnya angkatan darat[12].
Mengingat wilayah laut Indonesia sangat luas dan memiliki lokasi strategis yang
dijadikan sebagai lalu lintas kapal-kapal internasional sehingga memiliki
potensi terjadinya konflik yang sangat besar terutama di kawasan Laut China
Selatan, dengan dasar tersebut dapat dijadikan sebuah pertimbangan untuk
membangun TNI AL yang modern dan berwibawa.
Berdasarkan
perbandingan di tabel 1 di atas, maka dalam merumuskan jumlah kekuatan TNI AL
khususnya kapal perang dapat berdasarkan perimbangan kekuatan militer negara-negara
di kawasan Laut China Selatan serta konsepsi gelar kekuatan TNI AL yang ideal. Mengingat
pula bahwa Grand Strategy militeristik
menekankan Postur TNI yang kuat secara internasional[13],
maka nilai rata-rata kawasan Laut China Selatan dapat digunakan sebagai patokan
jumlah kekuatan laut yang harus dimiliki oleh TNI AL. Merujuk perbandingan tabel
diatas maka dapat di rumuskan bahwa kekuatan laut untuk menghadapi ancaman dan
mengantisipasi terjadinya konflik di kawasan Laut China Selatan, maka idealnya
kekuatan TNI AL harus mempunyai jumlah kekuatan laut diatas rata-rata
negara-negara kawasan tersebut. Contohnya adalah TNI AL akan ideal bila
memiliki 10 unit kapal selam kategori tactical
dengan tipe minimal SSN (attack
submarine nuclear powered) dan 4 unit kelas strategic dengan dilengkapi SLBM (submarine Launch Balistic Missile)[14].
Sedangkan untuk membangun Postur TNI Laut yang kuat dan berwibawa, maka
perlu menambah jumlah kapal perang berkategori PSC berjenis destroyer dan cruiser, Aircraft Carrier (CV), Aircraft Carrier Nuclear
Powered (CVN), Helicopter Carrier (CVH)[15]
dan untuk PCC TNI AL yang ideal berupa penambahan kapal corvette dengan kemampuan serang yang
dilengkapi dengan SAM (Surface to Air
Missile), Torpedo, maupun senjata dengan kaliber 57 mm.
Sejumlah
penambahan kekuatan laut tersebut akan digunakan untuk mendukung operasional di
perairan yuridiksi Indonesia dengan prioritas di kawasan sekitar Laut China
Selatan, seperti selat malaka atau yang menjadi wilayah Armada Barat (Armabar)
sekarang ini dengan penambahan kekuatan laut dari yang sudah ada diharapkan
mampu menambah pengamanan dan dapat mencegah terjadinya konflik yang lebih
besar atau setidaknya Indonesia tidak menjadi bangsa yang menjadi korban
apabila terjadi konflik di kawasan tersebut. Selain penempatan alutsista TNI AL
yang berorientasi pada letak strategis diharapkan mampu dimobilisasi atau
bermanuver secara cepat bila terjadi gangguan yang menyangkut keamanan di
territorial Indonesia.
Strategi Ekonomi
Strategi
ekonomi dengan meningkatkan daya saing ekonomi disusun sebagai solusi untuk
menghindari dan mengatasi dampak negatif dari perdagangan atau pasar bebas yang
merupakan konsekuensi diberlakukannya ACFTA. Diharapkan strategi ini dapat menyeimbangan
neraca perdagangan antara Indonesia – China yang masih terdapat keasimetrisan
dalam kegiatan ekspor dan impor. Konsekuensi dari akan diimplementasikannya
komunitas ekonomi ASEAN dan terdapatnya Asean – China Free Trade Area (ACFTA)
mengharuskan Indonesia meningkatkan daya saingnya guna mendapatkan manfaat
nyata dari adanya integrasi ekonomi tersebut[16].
Indonesia
harus siap dalam menghadapi kebijakan penerapan ACFTA tersebut, yaitu dengan
memposisikan terlebih dahulu sebagai basis ketahanan pangan dunia, pusat
pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan dan sumber daya mineral. Hal
tersebut harus dilaksanakan karena Indonesia memang memiliki potensi demografi,
kekayaan sumber daya alam, dan posisi geografis Indonesia, yang bilamana diolah
dengan baik akan memberikan suatu posisi yang menguntungkan secara ekonomi bagi
Indonesia.
Sebagai
penyiapan strategi ekonomi dalam menghadapi penerapan perdagangan bebas
khususnya dengan China membutuhkan perubahan dalam cara pandang dan perilaku
seluruh komponen bangsa. Strategi yang
dapat dijadikan sebagai solusi dalam menghadapi keasimterisan ekonomi dengan
China sebagai dampak dari penerapan ACFTA yang juga merupakan prinsip dasar
keberhasilan pembangunan[17]
adalah sebagai berikut; (1) Perubahan pola pikir (mindset) dimulai dari
Pemerintah dengan birokrasinya; (2) Perubahan membutuhkan semangat kerja keras
dan keinginan untuk membangun kerjasama dalam kompetisi yang sehat; (3)
Produktivitas, inovasi, dan kreatifitas didorong oleh Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) menjadi salah satu pilar perubahan; (4) Peningkatan jiwa
kewirausahaan menjadi faktor utama pendorong perubahan; (5) Dunia usaha
berperan penting dalam pembangunan ekonomi; (6) Kampanye untuk melaksanakan
pembangunan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan yang
berkelanjutan; dan (7) Kampanye untuk perubahan pola pikir untuk memperbaiki
kesejahteraan dilakukan secara luas oleh
Penutup
Merujuk
karakter perang asimetris abad 21, Indonesia menghadapi beberapa permasalahan
yang melibatkan negara sebagai aktor utama menghadapi beberapa aktor baik
negara lain maupun non-negara. Ancaman asimetris yang dihadapi oleh Indonesia
menjadi permasalahan sekaligus tantangan yang harus menjadi perhatian khusus
bagi pemerintah maupun juga pemangku kepentingan lainnya. Pada abad 21 ini
ancaman asimetris yang dihadapi oleh bangsa Indonesia menempatkan posisi
Indonesia yang saling berlawanan yaitu Indonesia dalam posisi asimetris positif
dimana Indonesia menghadapi ancaman terorisme dan separatisme, di sisi lain
Indonesia berada di posisi sebagai asimetris negatif manakala berhadapan dengan
negara besar seperti China dalam permasalahan klaim China di kawasan Laut China
Selatan dan permasalahan ekonomi sebagai dampak penerapan ACFTA.
Melihat
karakter perang asimetris di Indonesia, maka pemerintah perlu mengerahkan
komponen kekuatan nasionalnya dengan strategi-strategi seperti yang telah
dibahas di atas, kemudian merujuk kepada model yang diusung oleh Arreguin Toff,
Indonesia harus dapat menempatkan dirinya untuk menghadapi ancaman asimetris
dari kedua sisi yang berbeda yaitu positif dan negatif asimetris.
Tabel 2. Arreguin Toff Model.
Ivan
Arreguin Toff Model
|
Weak- Actor
Strategic approach
|
||
Direct
|
Indirect
|
||
Strong-actor
Strategic approach
|
Direct
|
Strong
- actor
|
Weak
- actor
|
Indirect
|
Weak
- actor
|
Strong
- actor
|
Berdasarkan
model Arreguin Toff, seperti tabel yang di atas, bila Indonesia menempatkan
posisinya sebagai aktor yang kuat, dalam berhadapan dengan aktor yang lemah
disarankan untuk menggunakan dan menerapkan pendekatan strategis berupa indirect approach manakala aktor yang
lemah seperti halnya dalam kasus terorisme dan separatisme menggunakan indirect approach juga sehingga
berdasarkan model dalam tabel 2 maka Indonesia akan mengalami kemenangan. Pendekatan
direct seperti penggunaan militer,
digunakan manakala aktor lemah menggunakan pendekatan direct juga berupa aksi kekerasan menggunakan kekuatan bersenjata,
yang intinya bahwa kemenangan tersebut dapat tercapai bila pemerintah dapat
merebut hati dan pikiran masyarakat atau rakyat Indonesia itu sendiri.
Di
sisi lain, pada saat Indonesia dalam posisi yang lemah, maka Indonesia harus
menguatkan pendekatan indirect-nya
dengan menguatkan pilar-pilar komponen kekuatan nasional Indonesia seperti
halnya dalam diplomasi, informasi, militer maupun ekonomi dengan memanfaatkan
kerjasama-kerjasama baik bilateral maupun multilateral sehingga mampu
memberikan posisi tawar yang menguntungkan bagi Indonesia. Bilapun Indonesia
akan menggunakan pendekatan secara langsung, maka Indonesia harus
bertransformasi menjadi negara yang kuat dan memiliki komponen kekuatan
nasional yang besar seperti kekuatan diplomasi, informasi, militer, dan ekonomi
yang kuat.
Demikian
strategi-strategi yang ditawarkan dalam menghadapi ancaman asimetris sesuai
dengan karakter perang asimetris untuk Indonesia. Indonesia sangat perlu
memperkokoh komponen kekuatan nasionalnya. Keasimetrisan yang terjadi dari
kedua sisi yang berbeda harus mendapatkan perhatian serius bagi pemerintah,
karena Indonesia harus siap menghadapi segala kemungkinan ancaman asimetris
yang dapat mengganggu kedaulatan dan integritas bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Arreguin-Toft,
Ivan. 2001.How the Weak Win Wars, dalam
Jurnal International Security, Vol.26,
No 1.
Bakrie, Connie R. 2007. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Dephan RI, 2008. Buku
Putih Pertahanan RI 2008. Jakarta: Dephan RI.
Kementrian Koord Bid Ekonomi. 2011. Masterplan P3EI. Jakarta : Kementrian
Koord Bid Ekonomi.
Kiras,
James D. 2007. “Irregular Warfare: Terrorism and Isurgency”, dalam John
Baylishlm, Strategy in the Contemporary World: An Introduction to Strategic
Studies, Second Edition, Oxford University Press.
Morgenthau, Hans J.. 1990. Politik Antar Bangsa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Muradi. 2012. Densus
88 AT Konflik, Teror, dan Politik. Bandung: Dian Cipta.
Octavian, Amarulla. 2012. Militer dan Globalisasi. Jakarta : UI Press.
Prabowo, J.S. 2010. Himpunan Catatan tentang Perang Gerilya Mao, Nasution, Che, Carlos,
& Crabtree.
Routledge. 2012. The
Mililtary Balance 2012. UK: Routledge.
Thornton, Rod. 2007. Asymmetric Warfare. UK: Polity Press.
Winarno, Budi. 2011. Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Caps.
Internet
Sihombing, Denny L. 2010. Kekuatan Diplomasi dan Politik Luar Negeri Indonesia. Diakses dari http://dennylorenta.wordpress.com/2010/05/05/kekuatan-diplomasi-dan-politik-luar-negeri%C2%A0indonesia/
Surat Kabar
Wisnu Dewabrata. 2012. “Indonesia, ASEAN, dan Laut
China Selatan” dalam Kompas, Minggu 14 Oktober 2012
[1] Budi
Winarno.2011. Isu-isu Global Kontemporer.
Yogyakarta: CAPS, Hlm. 167.
[2] Rod
Thornton.2007. Asymmetric Warfare. Cambridge: Polity Press. Hlm. 1.
[3] Muradi. 2012. Densus 88 AT Konflik, Teror, dan Politik. Bandung:
Dian Cipta, hlm. 23.
[4] Wisnu
Dewabrata. 2012. “Indonesia, ASEAN, dan Laut China Selatan” dalam Kompas,
Minggu 14 Oktober 2012. Hal 10.
[5] Hans J.
Morgenthau. 1990. Politik Antar Bangsa. Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia, Hlm 213.
[6] Denny L.
Sihombing. 2010. Kekuatan Diplomasi dan
Politik Luar Negeri Indonesia. Diakses dari http://dennylorenta.wordpress.com/2010/05/05/kekuatan-diplomasi-dan-politik-luar-negeri%C2%A0indonesia/
[7] Amarulla
Octavian. 2012. Militer dan Globalisasi. Jakarta
: UI Press, Hlm 19
[8] Kementrian
Koord Bid Ekonomi. 2011. Masterplan P3EI.
Jakarta : Kementrian Koord Bid Ekonomi. Hlm. 14.
[9] Dephan
RI, 2008. Buku Putih Pertahanan RI 2008. Jakarta:
Dephan RI, hlm. 85.
[10] Diplomasi publik
didefinisikan sebagai upaya mencapai kepentingan nasional suatu negara melalui understanding,
informing, and influencing foreign audiences. Jika proses diplomasi
tradisional dikembangkan melalui mekanisme government to government
relations, maka diplomasi publik lebih ditekankan pada government to
people atau bahkan people to people relations. Diplomasi Publik
bertujuan untuk mencari teman di kalangan masyarakat negara lain, yang dapat
memberikan kontribusi bagi upaya membangun hubungan baik dengan negara lain.
[11] James D.Kiras,
“Irregular Warfare: Terrorism and Isurgency”, dalam John Baylishlm, Strategy
in the Contemporary World: An Introduction to Strategic Studies, Second
Edition, Oxford University Press, 2007, hlm 177.
[12] Connie R.
Bakrie. 2007. Pertahanan Negara dan
Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm 178.
[13] Ibid. Hlm 190.
[14] Ibid. Hlm 182.
[15] Ibid. Hlm 187.
[16] Ibid. hlm 16.
[17] Ibid. hlm 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar