MEMAHAMI
KEPEMIMPINAN STRATEGIS, BUDAYA ORGANISASI DAN BUDAYA STRATEGIS KOREA UTARA
Sigit
Sasongko[1]
1. Pendahuluan
Korea
Utara dengan nama resmi Republik Demokratik Rakyat Korea merupakan sebuah
negara yang terletak di Asia Timur, tepatnya di Semenanjung Korea di bagian
utara dan salah satu negara yang menganut negara satu partai di bawah front
penyatuan yang dipimpin oleh Partai Buruh Korea dengan dua partai kecilnya
yaitu Partai Demokratik Sosial Korea dan Partai Chongu Chondois yang memiliki
hak untuk mengajukan calon untuk menempati dan memegang posisi baik di
pemerintahan maupun di Majelis Tertinggi Rakyat. Dalam bidang ekonomi, negara
ini termasuk ke dalam salah satu negara yang menganut kebijakan bahwa negara
merupakan pemilik ekonomi dan direncanakan sepenuhnya oleh pemerintah serta
membatasi pelaksanaan perdagangan internasional melalui kebijakan isolasinya
sehingga menjadi salah satu negara yang paling tertutup didunia,. Korea Utara
sebetulnya pernah membuka keterlibatan pihak asing melalui undang-undang pada
tahun 1984 yang memperbolehkan adanya investasi asing dengan joint venture-nya, tetapi kebijakan
tersebut dinilai gagal karena tidak berhasil mendatangkan dan menarik
investor-investor untuk melakukan investasi di negara ini.
Tulisan
ini akan mendeskripsikan Korea Utara ditinjau dari prespektif budaya strategis.
Tujuan penulisan ini adalah mengetahui bagaimana penerapan kepemimpinan di
Korea Utara ditinjau dari aspek kepemimpinan strategis, budaya organisasi dan
budaya strategis. Ruang lingkup tulisan ini akan mencakup tiga pokok bahasan,
yaitu (1) bagaimana memahami kepemimpinan strategis di Korea Utara; (2)
bagaimana memahami budaya organisasi yang diciptakan oleh Kim Il Sung dan Kim
Jong-il; dan (3) bagaimana memahami
budaya strategis yang tercipta di Korea Utara.
2. Memahami Korea Utara
Di
bawah kepemimpinan Kim Jong-il, sejak tahun 1994, Korea Utara menjadi negara
yang berusaha hidup tanpa bantuan negara lain dengan kata lain bahwa Kim
Jong-il menekankan bahwa Korea Utara harus bergerak dengan prinsip berdikari. Politik
yang dibangun tersebut membuat kehidupan masyarakat Korea Utara pada umumnya
harus menerima kenyataan hidup dengan pertumbuhan ekonomi negara yang rendah.
Keadaan ekonomi negara tersebut membuat rakyat Korea Utara hidup dalam
kemiskinan dan penderitaan, kondisi tersebut diperparah dengan kondisi
sempitnya lahan pertanian serta lapangan pekerjaan yang terbatas. Namun,
ironisnya para pemimpin Korea Utara tersebut hidup dalam kemewahan dan
kecukupan bahkan dapat dengan bebas menikmati barang-barang impor dan mewah.
Tapi keadaan tersebut sepertinya tertutupi dengan gaya kepemimpinan Kim
Jong-il, melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan berupa
propaganda-propaganda oleh pemerintah, bahkan masyarakatnya yakin bahwa
pemimpin mereka adalah pemimpin terbaik yang mampu menyatukan Korea Utara
sehingga masyarakat Korea Utara menghormati dan menyembah pemimpin negaranya.
Gaya
kepemimpinan Kim Jong-il dalam memimpin Korea Utara sama dengan gaya
kepemimpinan mediang ayahnya, Kim Il Sung, dengan menempatkan diri menjadi
seorang pemimpin yang terhormat, memimpin Korea Utara dengan gaya otoriter dan
diktaktornya serta mengedepankan kekuatan militer negara di atas
segala-galanya, membangun persenjataan secara besar-besaran seperti halnya senjata
nuklir, maupun dengan tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan represif
bagi lawan-lawan politiknya dan rakyatnya yang menentang kebijakan politik
pemerintah.
Di
sisi lain, kebijakan pemerintah Korea Utara tersebut harus dibayar mahal dengan
kondisi kesejahteraan rakyatnya yang harus hidup di bawah garis kemiskinan
akibat embargo dunia internasional sebagai konsekuensi dari program senjata
nuklir yang dikembangkan oleh Korea Utara. Kemiskinan di negara ini berdampak
pada kurangnya gizi masyarakat sehingga banyak ditemukan kasus penyakit katarak
yang dapat menyebabkan kebutaan. Angka kebutaan di Korea Utara sangat tinggi
hingga mencapai angka ribuan, hal tersebut didorong rendah dan kurangnya
fasilitas medis yang mendasar sehingga tidak dapat mengatasi kasus kebutaan
secara maksimal.
3. Memahami Kepemimpinan
Strategis Korea
Utara
Menurut U.S Army War College Strategic Leadership Primer
(2004) S. Schambach (Ed.) kepemimpinan strategis adalah proses yang
digunakan oleh seorang pemimpin untuk mempengaruhi visi yang diinginkan dan
jelas dipahami dengan mempengaruhi budaya organisasi, mengalokasikan sumber
daya, mengarahkan melalui kebijakan dan direktif, dan membangun konsesus dalam
lingkungan global yang mudah menghilang, tidak pasti, kompleks, dan ambigu yang
ditandai dengan peluang dan kendala. Dalam kasus kepemimpinan strategis di
Korea Utara, Pemimpin Korea Utara, dalam kepemimpinan Kim Il Sung telah
memikirkan sebuah visi yang harus di wujudkan untuk jangkauan jauh ke depan.
Sebagai negara yang pernah diduduki oleh penjajahan Jepang, berpikir bahwa
untuk membangun Korea Utara memerlukan suatu persatuan yang kuat di kalangan
rakyatnya, dengan terus memberikan propagandanya kepada masyarakat untuk tetap
bersatu karena adanya ancaman yang sewaktu-waktu datang dari Korea Selatan
maupun Jepang. Guna memperoleh persatuan tersebut Kim Il Sung membentuk sebuah
ideologi yang bernama Juche pada
tahun 1972 ketika Korea Utara mengadopsi konstitusi yang baru[2]. Juche diartikan sebagai manusia
menguasai segala sesuatu dan memutuskan segala sesuatu.
Melalui
Juche ini Kim Il Sung membangun Korea
Utara dengan memperkuat pengaruhnya salah satunya dengan menindas semua lawan
politiknya yang menentang kebijakan-kebijakan melalui kamp-kamp konsentrasi
atau pengasingan maupun dengan memberikan hukuman mati. Sepeninggal Kim Il
Sung, kepemimpinan Korea Utara dilanjutkan oleh Kim Jong-il. Visi yang dibangun
adalah menjadikan Korea Utara menjadi negara yang berdikari dan mandiri. Dengan
kebijakan tersebut, negara ini membatasi berhubungan dan berinteraksi dengan
negara lain. Kebijakan isolasi ini juga berlaku bagi masyarakat dengan melarang
penggunaan seperti halnya internet maupun telepon, hal ini merupakan sebuah
cara yang dilakukan oleh pemimpin Korea Utara dalam mengemban visi dan misi
yang kuat untuk dapat mengubah keadaan. Kim Jong-il dalam kepemimpinannya telah
menerapkan visi dan misinya dengan meyakinkan kepada masyarakat Korea Utara
bahwa dia akan menyelamatkan negaranya dari ancaman musuh-musuhnya.
Oleh
Kim Jong-il ideologi juche diaplikasikan
untuk mempengaruhi pencapaian visinya, dan mampu mempengaruhi budaya organisasi
dikalangan institusi dan militernya. Loyalitas dan kepatuhan serta kecintaan
kepada Kim Jong-il oleh masyarakat menjadi sebuah pertanda bahwa mereka telah
berhasil memberikan pengaruh yang besar sehingga dapat mengarahkan melalui
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahannya. Pengaruh yang diberikan adalah kepercayaan
akan persatuan dan kesatuan rakyat untuk kelangsungan hidup Korea Utara melalui
kepemimpinannya.
4. Memahami Budaya Organisasi di Korea
Utara
Gibson
(1997: 372) mendefinisikan
bahwa budaya organisasi sebagai sistem yang menembus
nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang ada disetiap organisasi. Kultur
organisasi dapat mendorong atau menurunkan efektifitas tergantung dari sifat
nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma yang dianut. Kemudian Eliott Jacquest menyebutkan bahwa
perilaku organisasi adalah: “the
customary or traditional ways of thinking and doing things, which are shared to
a greater or lesser extent by all members of the organization and which new
numbers must learn and least partially accept in order to be accept into the sevice
of the firm” artinya budaya organisasi adalah cara berfikir dan melakukan
sesuatu yang mentradisi, yang dianut bersama oleh semua anggota organisasi dan
para anggota baru harus mempelajari atau paling sedikit menerimanya sebagian
agar mereka diterima sebagai bagian dari organisasi.
Merujuk
pengertian di atas, dapat diambil beberapa intisari bahwa di dalam budaya
organisasi terdapat norma-norma perilaku maupun aturan yang harus diikuti oleh
anggotanya. Bila kita analisis budaya organisasi yang ada di Korea Utara, bisa
diambil beberapa poin penting di mana terlihat adanya budaya organisasi yang
kaku. Hal tersebut dapat dilihat pada organisasi militer Korea Utara, anggota
militernya berada dalam hirarki organisasi yang kaku, dan kekakuannya ini
menyebabkan lemahnya inisiatif dan kreatifitasan anggotanya dalam memutuskan
sesuatu terutama di level taktikal, seperti halnya terlihat dalam film Inside North Korea bahwa para penjaga di
DMZ (Demilitarized Zone) tidak berani
memutuskan manakala pihak penjaga DMZ dari AS dan Korea Selatan mengumumkan
pemulangan warga Korea Utara yang meninggal akibat hanyut dari sungai, akan
tetapi militer Korea Utara tidak mengambil inisiatif untuk menanggapinya.
Mereka tetap berpatokan dan hanya patuh terhadap keputusan Pemimpin Korea Utara
Kim Jong-il. Peristiwa ini menggambarkan budaya organisasi yang dibangun dalam
organisasi militer Korea Utara memiliki hirarki organisasi yang sangat kaku.
Pendelegasian yang seharusnya dapat dilakukan oleh level di bawahnya tidak
terjadi sehingga tugas-tugas di level bawah seperti halnya kasus di atas tidak
didelegasikan kepada para pimpinan di lapangan. Hal ini berdampak kepada kurangnya
inisiatif dalam mengambil keputusan pemimpin di lapangan bila didasari dengan
situasi dan kondisi di lingkungan sekitar mereka.
Kebiasaan
budaya yang berkembang saat ini, tradisi dan cara-cara umum yang ada di Korea
Utara merupakan hasil dari budaya sebuah organisasi dan telah dilaksanakan
sebelumnya secara turun temurun. Usaha-usaha pengembangan ini menemukan tingkat
keberhasilan yang signifikan dalam mempengaruhi nilai-nilai, keyakinan, dan
norma yang ada disetiap organisasi saat ini. Para pendiri organisasi mempunyai
peranan yang penting dalam pembentukan budaya awal berorganisasi. Dalam budaya
organisasi di Korea Utara ini, pengaruh Kim Il Sung sangat besar dalam
memberikan ide-ide awal dan mempunyai bias tentang bagaimana ide-ide tersebut
dapat dipenuhi dan dijalankan oleh para pengikutnya. Ajaran-ajaran dan
nilai-nilai yang dikerjakan oleh Kim Il Sung banyak dipelajari oleh masyarakat
Korea Utara untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya termasuk
menganggap bahwa Kim Il sung merupakan dewa penyelamat dan pemersatu bagi
rakyat Korea Utara. Hal ini di pertegas oleh Robbins (1999: 296) yang mengatakan
bahwa budaya organisasi merupakan hasil dari interaksi antara bias dan asumsi
pendirinya serta apa yang telah dipelajari oleh anggota pertama organisasi,
yang dipekerjakan oleh pendirinya. Teori ini sejalan dengan budaya organisasi
yang berkembang di Korea Utara.
Menurut Robbins (1999:294) fungsi budaya didalam sebuah
organisasi adalah sebagai berikut; (1) Budaya mempunyai suatu peran menetapkan
tapal batas; (2) Budaya berarti identitas bagi suatu anggota organisasi; (3) Budaya
mempermudah timbulnya komitmen; dan (4) Budaya meningkatkan kemantapan sistem
sosial[3].
Para pemimpin Korea Utara memahami betul tentang pentingnya budaya dalam
berorganisasi. Dengan menciptakan budaya organisasi yang kuat akan memberikan
tanda atau identitas kekhususan yang hanya dimiliki oleh organisasi tersebut,
sehingga memberikan suatu kebanggaan tersendiri bagi para pengikutnya, dalam
hal ini masyarakat Korea Utara secara luas. kemudian juga dari budaya yang
diciptakan memberikan kemudahan untuk timbulnya sebuah komitmen untuk hidup
bersatu dan bekerja keras dalam mempertahankan negara yang diasumsikan selalu
mengancam negaranya hal ini sudah menjadi penjiwaan yang mendalam bagi rakyat
Korea Utara dari anak kecil hingga orang tua. Kebiasaan orang tua menyanyikan
lagu-lagu kebangsaan di depan anak-anaknya sehingga membentuk rasa bela negara
yang tinggi, demikian juga budaya menyanyikan lagu kebangsaan di organisasi
atau perusahaan yang dapat menambah semangat nasionalisme.
5. Memahami Budaya Strategis Korea Utara
Menurut Jack Snyder[4],
budaya strategis adalah budaya yang diinterpretasikan sebagai suatu sistem
tingkah laku, sikap dan kepercayaan yang melandasi dan membatasi suatu pemikian
dalam mempengaruhi arah pengambilan kebijakan. Artinya bahwa sekelompok
masyarakat, organisasi atau negara dalam pencapaian suatu tujuan harus mampu
beradaptasi dan peka dengan lingkungannya mengingat lingkungan mempunyai
pengaruh yang besar terhadap suatu sistem tingkah laku, sikap dan kepercayaan
sehingga berdampak pada pengambilan kebijakan dan dapat merubah tujuan suatu
organisasi. Budaya strategis dapat digambarkan dalam tiga dimensi; (1) dimensi
politik; (2) dimensi kemampuan dalam militer; dan (3) dimensi institusional[5].
5.1 Budaya Strategis dalam Dimensi Politik
Memahami
budaya strategis Korea Utara merupakan bagian penting untuk mengetahui proses
dari pembangunan karakter bangsa, karena hal ini akan memberikan arah dalam
proses pembentukan budaya nasional Korea Utara. Pada masa kepemimpinan Kim
Jong-il, dengan mewarisi ideologi yang diajarkan Kim Il Sung, Juche dijadikan sebagai ideologi resmi
yang dianut oleh Korea Utara. Dalam proses perkembangannya, ideologi Juche ini diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, dengan demikian budaya masyarakat Korea Utara tidak pernah
berpikiran untuk berpaling dari ajaran ideologi yang dibawakan pemimpin
nasionalnya yang dianggap sebagai seorang pekerja keras demi kemajuan bangsanya
untuk mewujudkan persatuan yang kuat, loyalitas kepada negara serta meyakini
hidup tanpa ketergantungan sebagai sesuatu hal yang memiliki kedudukan
terhormat. Juche merupakan perwujudan
budaya strategis yang memiliki dimensi politik, dimana juche mampu membawa isu-isu tentang bagaimana politik negara memandang
ancaman dan digunakan sebagai sarana untuk memerangi ancaman baik yang timbul
dari dalam maupun datang dari luar negara.
5.2 Budaya Strategis Dalam Dimensi Kemampuan
Militer
Untuk
mendapatkan dan memahami pemikiran-pemikiran strategis di Korea Utara dapat dilihat
dari pemikiran yang memprioritaskan kekuatan dan kemampuan militernya. Hal
tersebut memiliki keterkaitan dengan sejarah berdirinya negara Korea Utara.
Bagaimana sebuah negara yang berdiri dari hasil perjuangan keras guna mengusir
dan menghapuskan penjajahan di bumi Korea Utara. Dengan kekuatan militer yang
besar, Korea Utara berusaha meyakinkan kepada dunia bahwa militer negara
tersebut layak diperhitungkan serta memberikan cerminan sebagai negara besar.
Kekuatan ini di representasikan dengan penyiapan senjata nuklir yang mampu
membuat resah negara-negara lain di dunia, terutama Korea Selatan dan AS. Artinya
bahwa kemampuan militer yang dimiliki Korea Utara mempunyai relevansi bahwa
militer suatu negara dapat mencerminkan status negara.
Dengan
propaganda pemerintahannya, pemimpin Korea Utara mampu memberikan pemahaman
kepada masyarakatnya dengan mengkontruksi budaya melalui pemikiran strategis
sebagai hasil dari karakter yang dibangun oleh seorang pemimpin dengan karakter
yang kuat sehingga membentuk suatu budaya strategis yang dapat menyatukan
berbagai macam latar belakang budaya masyarakat Korea Utara itu sendiri. Bentuk
kepatuhan, kecintaan dan penghormatan terhadap Kim Il Sung dan Kim Jong-il oleh
rakyat Korea Utara menjadi sesuatu hal yang menarik bagi pengembangan budaya
strategis di negara tersebut. Budaya yang dikembangkan tersebut mampu
memberikan pemahaman yang sama tentang adanya ancaman yang datang sehingga
pengaruh politik yang dikembangkan melalui kebijakan-kebijakan pemimpinnya
dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh rakyatnya, seperti halnya dukungan terhadap
pembangunan kekuatan militernya secara besar-besaran.
5.3 Budaya Strategis Dalam Dimensi
Kelembagaan
Dimensi
kelembagaan adalah tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alat-alat
kebijakan luar negeri suatu negara dengan dunia internasional yang memiliki
implikasi keamanan[6].
Merujuk pada kepemimpinan Kim Il Sung dan Kim Jong-il, kebijakan yang
diterapkan adalah kebijakan untuk dapat hidup tanpa bergantung dengan negara
lain. Hidup mandiri dan berdikari menjadikan Korea Utara menjadi negara yang
sangat tertutup dan terisolasi dari dunia internasional. Budaya strategis yang
diciptakan baik melalui militer maupun masyarakatnya adalah dengan memberikan
nilai-nilai kecintaan dan kepatuhan kepada pemimpinnya dengan korelasi
kecintaan terhadap tanah air dan negaranya. Lembaga dalam konteks ini adalah
negara, yang direpresentasikan oleh para pemimpin Koerea Utara menempatkan
nilai-nilai budaya strategis tersebut dalam pelaksanaannya. Penanaman kecintaan
rakyat Korea Utara terhadap tanah air berdampak kepada rasa memiliki terhadap
negara, kondisi ini memberikan kontribusi positif terhadap terciptanya keamanan
dan ketertiban di Korea Utara.
Budaya
strategis dalam dimensi kelembagaan diaplikasikan melalui kebijakan berdikari
dan hidup mandiri terisolasi dengan dunia internasional. Menjadi sesuatu hal
kontras ketika masyarakat Korea Utara mengalami penderitaan dan kemisikinan
akibat kebijakan isolasi dari dunia luar. Namun, kecintaan kepada pemimpin
mereka sangat besar hal tersebut menjadi menarik ketika masyarakat Korea Utara
dilatih sejak lahir untuk mencintai baik Kim Il Sung maupun Kim Jong-il yang
menurut mereka sebagai seorang pemimpin terhormat yang selalu dipuja dan
dielu-elukan. Pemujaan dan penghormatan tersebut seolah menghilangkan
penderitaan yang dialami. Budaya untuk membenci Amerika Serikat (AS) juga di
tanamkan sejak dini sehingga tumbuh sikap anti AS dan timbulnya militansi yang
tinggi guna memeranginya. Dengan cara-cara inilah, tumbuh budaya strategis di
tengah-tengah masyarakat Korea Utara yang memunculkan sikap, tingkah laku dan
kepercayaan yang besar terhadap Kim Il Sung dan Kim Jong-il tentang kemampuan
kepemimpinannya di Korea Utara yang tidak mungkin dipertanyakan oleh semua
masyarakat Korea Utara. Kebijakan politik yang diambil oleh Kim Jong-il saat
itu memberikan kontribusi dan pengaruh yang besar terhadap pembentukan budaya
strategis sehingga masyarakat Korea Utara memiliki sifat kecenderungan lebih militan
dibanding dengan negara lain yang memiliki sifat lebih terbuka. Dengan sifat tersebut
masyarakat Korea Utara lebih dapat untuk mempertahankan rezim kekuasaan para
pemimpinnya.
Penutup
Belajar dari kepemimpinan strategis
yang dikembangkan dan diaplikasikan di Korea Utara, dapat diambil beberapa intisari sebagai berikut; (1) Para pemimpin
Korea Utara membangun sebuah kepercayaan dan ideologi juche untuk dapat meraih visi yang diinginkan; (2) Ideologi dan
proganda-propaganda yang diterapkan dapat mempengaruhi budaya organisasi berkaitan
erat dengan pembentukan budaya strategis sehingga timbul kebanggaan terhadap
identitas yang dimiliki dan komitmen besar dalam pengabdian terhadap pemimpin
negaranya; (3) Pemimpin Korea Utara sangat yakin bahwa kepemimpinan yang
dilaksanakan melalui kebijakan-kebijakannya mampu mempersatukan rakyat yang
secara historis mempunyai sejarah penjajahan dan penindasan; dan (4) Kebijakan berdikari yang
mengisolasikan diri dari dunia luar dipandang sebagai cara agar rakyatnya dapat
bekerja keras dalam menjalankan hidupnya serta meningkatkan kepercayaan yang tinggi
terhadap pemimpin negaranya.
Dalam pandangan penulis,
kepemimpinan baik Kim Il Sung dan Kim Jong-il tersebut banyak memberikan dampak
merugikan bagi rakyat dan negaranya sehingga menurut penulis Korea Utara tidak
termasuk kedalam kategori Welfare State. Dari
konsep sebuah Welfare State yang
merupakan konsep
dimana pemerintahan suatu negara memainkan peran penting dalam memberikan perlindungan dan promosi ekonomi
dan sosial untuk kesejahteraan warganya. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip
persamaan kesempatan, pemerataan kekayaan, dan tanggung jawab publik bagi mereka yang tidak mampu untuk memanfaatkan diri dari ketentuan minimal untuk kehidupan yang baik. Istilah umum dapat mencakup
berbagai bentuk organisasi
ekonomi dan sosial[7]. Kondisi
Korea Utara selama rezim diktator dibawah kepemimpinan Kim Il Sung dan Kim Jong-il tidak
dapat memainkan apa yang menjadi nilai-nilai kemanusiaan dimana negara tidak
mampu memberikan perlindungan dan rasa aman, kemerosotan bidang ekonomi dan
sosial dan juga buruknya tingkat kesejahteraan rakyat Korea Utara. Hal tersebut
didorong oleh kondisi seperti halnya; (1) Sistem pemerintahan diktator yang
diterapkan di Korea Utara (meskipun nama resmi negara tersebut adalah Republik
Demokratik Rakyat Korea) membuat kehidupan rakyat Korea Utara menjadi terbatas
dan tidak memiliki akses ke dunia luar sehingga seperti jauh dari peradaban
dibandingkan dengan negara-negara maju lain di dunia ini; (2) Prioritas
pembangunan yang diutamakan kepada sektor militer secara besar-besaran berdampak
kepada rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat di Korea Utara; (3) Terbatasnya
hak kebebasan membuat banyak masyarakat Korea Utara berusaha keluar dari
negaranya demi kehidupan yang lebih layak; dan (4) Rasa takut berkepanjangan
bagi masyarakat yang tidak dapat mematuhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintahan Korea Utara.
Mempelajari kepemimpinan strategis
para pemimpin Korea Utara, penulis berpendapat bahwa penerapan model
kepemimpinan di negara tersebut kurang tepat di masa sekarang ini, dimana hidup
bernegara sebagai bagian dari kehidupan global. Penulis juga menyarankan perlu
adanya reformasi politik dan model kepemimpinan di Korea Utara guna menjamin
terwujudnya nilai-nilai inti kemanusiaan. Kebebasan yang terukur, perlindungan,
promosi ekonomi dan
sosial untuk kesejahteraan warganya adalah
nilai-nilai inti yang harus dibangun dalam sebuah budaya strategis yang
dihasilkan melalui pemikiran-pemikiran strategis. Merujuk kepada keuntungan dan
kerugian dari penerapan kepemimpinan strategis di Korea Utara, dapat diambil
makna untuk diterapkan sehingga dalam memimpin suatu organisasi maupun negara mampu
memberikan nilai-nilai inti seperti halnya kesejahteraan, HAM, kebebasan hidup
bagi rakyat dan negaranya. Penerapan gaya kepemimpinan mempengaruhi seorang
pemimpin dalam berpikir strategis yang kemudian menghasilkan suatu budaya
strategis. Dari budaya strategis yang dibangun inilah karakter seorang pemimpin
dalam menciptakan kepemimpinan strategis dapat dillihat.
Seorang pemimpin harus visioner
artinya bahwa pemimpin tersebut mempunyai sebuah visi dan mampu menggerakan
anggotanya untuk meraih visi tersebut secara bersama-sama. Visi yang dirumuskan
juga merupakan visi yang efektif yang artinya bahwa ada keterkaitan antara
kondisi yang ada sekarang ini dengan kondisi akan datang, yang semata-mata
untuk kesejahteraan masyaralat dan bangsanya. Dalam upaya meraihnya perlu suatu
gaya dan budaya yang bila diterapkan sedapat mungkin tidak mengorbankan
sebagian besar rakyatnya. Seorang pemimpin dalam menerapkan kepemimpinannya juga
harus dapat memberikan contoh, memberikan inspirasi dan berkomitmen bahwa
kesejahteraan anggota/rakyat adalah bagian dari keberhasilan dalam sebuah
kepemimpinan. Kemampuan berpikir strategis yang meliputi kemampuan mengelola ends, means dan ways adalah suatu modal
utama bagi keefektifitasan bagi pemimpin dalam melaksanakan kepemimpinan
strategis.
Daftar Pustaka
Gause, Ken E. 2011. North Korea Under Kim Chong-il. California: Praeger.
Kim, Sung Chull. 2006. North Korea Under Kim Jong Il. NY: State University of NY.
Lim, Jae-Cheon. Kim
Jong Il’s Leadership of North Korea. NY: Routledge.
Prabowo. J.S. 2009. Kepemimpinan Strategis Dalam Organisasi Militer. Jakarta: PPSN.
Shambaugh, Rebecca.
2010. Leadership Secret of Hillary
Clinton. NY: Mc Graw Hill.
Wootton, Simon and
Terry Horne. 2010. Strategic Thinking A
Nine Step Approach to Strategy and Leadership for Managers and Marketers. UK:
Koganpage.
Referensi
Lain
http://global.britannica.com/EBchecked/topic/639266/welfare-state
http://id.shvoong.com/humanities/theory-criticism/2342037-budaya-strategis/
National Geographic. 2007. Inside North Korea.
[1] Adalah mahasiswa
Universitas Pertahanan Prodi Asymmetric
Warfare.
[2] Lihat "Constitution
of North Korea (1972)". 1972. Retrieved 2009-05-07.
[3] LIhat
Pengertian Budaya Organisasi Menurut Para Ahli; Definisi dan Contohnya, diakses dari http://www.sarjanaku.com/2012/07/pengertian-budaya-organisasi-definisi.html
[4] Diambil dari
situs
http://id.shvoong.com/humanities/theory-criticism/2342037-budaya-strategis/
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Welfare state, Britannica Online Encyclopedia diakses
dari situs http://global.britannica.com/EBchecked/topic/639266/welfare-state
Tidak ada komentar:
Posting Komentar