ANALISIS
INVASI AS KE IRAK DAN SERANGAN AS KE KOSOVO
DITINJAU
DARI JUSTWAR DAN UNJUSTWAR
Ninefivealpha
Perang
telah menjadi sifat dasar manusia untuk berkuasa dan menanamkan pengaruhnya.
Perang juga diartikan sebagai sebuah aksi fisik dan non fisik antara dua atau
lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan[1].
Transformasi bentuk perang terus terjadi seiring dengan perubahan zaman.
Dimulai dengan penggunaan senjata yang sederhana dan sekarang menggunakan
persenjataan yang memiliki teknologi tinggi dan modern. Namun ada yang tidak
berubah dari sebuah peperangan, yaitu timbulnya korban jiwa baik dari pihak
yang bertikai maupun dari pihak penduduk sipil. Munculnya doktrin atau aturan
mengenai sebuah perang, hukum perang yang kesemuanya berisikan aturan-aturan
yang berlaku dalam perang untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa. Dalam hukum
internasional, ada dua cara dalam memandang perang—alasan berperang dan cara
berperang. Secara teori, mungkin saja melanggar semua aturan ketika bertempur
dalam sebuah perang yang dibenarkan (just war) atau berperang dalam
sebuah perang yang tidak dibenarkan (unjust war) dengan tetap memegang
teguh hukum konflik bersenjata.
Tulisan ini akan
membahas bagaimana sebuah pelaksanaan perang dihadapkan dengan aturan-aturan
perang sehingga perang tersebut dinyatakan sebagai perang yang sah maupun tidak
sah (jus and unjust war) dengan
mengambil study kasus Invasi AS ke Irak tahu 2003 dan Penyerangan AS ke Kosovo
tahun 1999. Ruang lingkup dalam tulisan ini adalah pembahasan perang dalam
prespektif penyelenggaraan perang melalui kriteria just ad bellum dan just in
bello.
Perang Irak 2003 – Sebuah Invasi Amerika
Serikat ke Irak
Setelah
sekian lama dari berakhirnya Perang Teluk tahun 1990, dunia internasional
kembali dikejutkan oleh invasi Sekutu yang terdiri dari negara-negara NATO di
bawah pimpinan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 dengan kode “Operation Iraqi Freedom” atau yang
biasa disebut dengan Operasi Pembebasan Irak. Invasi sekutu ke Irak tersebut
dimulai tanggal 19 Maret 2003 dengan tujuan resmi yang ditetapkan oleh
pemerintahan Bush yaitu untuk melucuti senjata pemusnah massal Irak, mengakhiri
dukungan Saddam Husein kepada terorisme, dan memerdekaan rakyat Irak dari
kekuasaan otoriter Saddam[2].
Pada kenyataannya setelah tim PBB melakukan pemeriksaan, baik PBB maupun
pasukan koalisi tidak menemukan jenis dan bentuk senjata pemusnah massal dalam
bentuk apapun di Irak. Namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap keinginan
AS untuk tetap menginvasi Irak. Kemudian muncul berbagai alasan-alasan yang
mendorong invasi AS ke Irak diantaranya adalah (1) Alasan ekonomi terutama Irak
memiliki cadangan minyak dunia yang besar; dan (2) Irak terkait dengan jaringan
terorisme seperti Al Qaeda.
Alasan
AS melakukan invasi ke Irak menjadi semakin tidak menunjukkan alasan yang
tepat, hal tersebut menjadikan beberapa ahli berpendapat bahwa Perang Irak
tahun 2003 terjadi hanya didasarkan atas dugaan dan asumsi mengenai kemungkinan
adanya ancaman terhadap keamanan internasional dan kepentingan keamanan AS. Keputusan
sepihak AS untuk menyerang Irak tanpa otorisasi dari Dewan Keamanan PBB juga
memperlihatkan kecenderungan arogansi dalam kebijakan luar negeri AS. Bahkan,
pemerintah AS cenderung melihat PBB sebagai sebuah institusi yang tidak terlalu
bermanfaat dan menjadi penghambat yang menjengkelkan[3].
Semenjak
invasi AS ke Irak pada tahun 2003, lebih dari satu juta rakyat Irak tewas dan
menjadi korban atas serangan-serangan yang dilakukan oleh AS dan sekutunya. Centre of Constitutional Rights (CCR)[4]
melakukan pengamatan terhadap pengeboman dan serangan yang dilakukan AS secara
bertubi-tubi tidak memperdulikan dan membedakan antara sasaran sipil atau
militer, CCR pun menilai bahwa hal
tersebut merupakan suatu kejahatan perang. Bukti nyata yang di temui adanya
pelanggaran adalah ketika tank-tank AS melakukan penyerangan terhadap Palestine
Hotel yang merupakan tempat menginap wartawan internasional yang bertugas untuk
meliput jalannya perang Irak. Data lain menyebutkan bahwa adanya pengeboman
yang berasal dari pasukan koalisi yang salah sasaran dan mengenai sebuah pasar
di Baghdad serta menewaskan banyak penduduk sipil[5].
Serangan AS ke Kosovo
Perang
Kosovo ditandai dengan serangan militer yang dilakukan oleh NATO dibawah
pimpinan AS atas Federal Republic of
Yugoslavia (FRY) atau yang biasa disebut dengan nama Yugoslavia pada
tanggal 24 Maret hingga 10 Juni 1999. Dalam perang ini NATO melakukan
penyerangan terhadap penduduk dan militer Yugoslavia, berdasarkan pada Sekretaris
Pertahanan AS Cohen mengatakan bahwa dalam mencapai tujuan dan maksudnya, NATO
dalam kampanye 78 hari di Kosovo melaksanakan 37.225 sortie penerbangan untuk
melakukan serangan udara NATO untuk melakukan serangan ke Pasukan Serbia dan memaksanya
keluar dari Kosovo. Kemudian AS menerapkan resolusi DK PBB nomor 1244 tahun
1999 yang menempatkan Kosovo di bawah mandat PBB[6].
Dalam Konflik di
Kosovo ini antara AS dan FRY disinyalir sama-sama melanggar beberapa aturan
perang seperti yang tertuang dalam Konvensi Jenewa tahun 1949. Hal tersebut
terlihat dari beberapa korban penduduk sipil yang notabene merupakan objek yang
harus dilindungi dalam sebuah peperangan akan tetapi justru menjadi sasaran
dalam beberapa serangan yang dilakukan oleh AS dan merupakan korban ethnic cleansing campaign FRY.
Analisis
Melihat
dua case studies dari invasi AS ke
Irak dan serangan AS ke Kosovo kita analisis dari sudut pandang hukum yang
menentukan alasan-alasan yang sah bagi sebuah negara untuk berperang atau jus ad bellum dan memfokuskan pada
kriteria tertentu yang membuat sebuah perang menjadi dibenarkan.
Jus
ad Bellum –
Invasi AS ke Irak
Dalam
kasus invasi AS ke Irak pada tahun 2003, pemerintahan Bush mempunyai
alasan-alasan (just cause) untuk
melakukan serangannya ke Irak diantaranya adalah menghentikan poliferasi dan
menghancurkan senjata pemusnah massal di Irak. Namun alasan ini dipercaya oleh
dunia internasional hanya sebagai kedok saja, hal ini diperkuat dari hasil
pemeriksaan tim PBB di Irak yang tidak menemukan bukti tentang poliferasi
senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan oleh AS. Walaupun tidak
ditemukan bukti, hal tersebut tidak mengurangi niat AS untuk melakukan tindakan
sepihak menyerang Irak. Disinilah adanya suatu yang bertentangan dengan jus ad bellum atau alasan AS dalam
melakukan serangan ke Irak tidak memenuhi persyaratan untuk dinyatakan sebagai
perang yang sah (just war).
Seandainya
memang terdapat poliferasi senjata pemusnah massal dilakukan oleh Irak, pihak
AS pun tidak boleh serta merta memiliki otoritas untuk melakukan serangan
terhadap Irak yang oleh AS ditafsirkan sebagai konsekuensi serius secara
sepihak. Serangan AS terhadap Irak sebagai upaya Last Resort juga tidak diterima karena masih ada cara lain yang
dapat diterapkan karena informasi mengenai senjata pemusnah massal di Irak
belum terbukti. Secara aturan sesuai dengan pasal 41 Piagam PBB bahwa
konsekuensi serius merupakan suatu tahapan berikutnya yang ditafsirkan oleh PBB
bahwa dalam hal ini Dewan Keamanan akan melakukan tindakan di luar kekuatan bersenjata
agar keputusan PBB dapat dilaksanakan sebagai keputusan dari konsekuensi serius
sebagai contoh pemutusan seluruh atau sebagian hubungan ekonomi apabila tidak
mencukupi dan harus menggunakan kekuatan bersenjata itupun baru dapat
melaksanakan tahapan blokade darat, laut atau udara. Jadi dapat disimpulkan
bahwa serangan AS terhadap Irak yang kemudian dapat dikatakan sebagai invasi
militer belum memenuhi persyaratan sebagai mana yang dimaksud dalam jus ad bellum karena serangan atau aksi
militer yang dilakukan AS tidak dapat ditafsirkan sebagai wujud konsekuensi
serius sebagaimana yang diamanatkan oleh PBB. Oleh karena itu tindakan AS dalam
melakukan invasi ke Irak dapat dinyatakan sebagai tindakan illegal.
Kriteria
proportionality yang diterapkan pihak
AS dalam invasinya ke Irak tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Dalam konflik
bersenjata, prinsip ini digunakan untuk menentukan keabsahan tujuan-tujuan
strategis menggunakan kekuatan bersenjata untuk membela diri menurut hukum
penggunaan kekuatan bersenjata (jus ad bellum)[7]. Prinsip
proporsionalitas juga berperan kapanpun terjadi kerusakan imbasan yang tidak
diinginkan (collateral damage), yaitu korban sipil atau kerusakan pada
sasaran non-militer.
Dalam kriteria proper authority juga dinyatakan bahwa
tindakan AS ke Irak tidak mendapat persetujuan resmi dari PBB, padahal pemegang
mandat yang sah adalah Dewan Keamanan PBB sehingga tindakan AS dalam invasi ke
Irak dapat dinyatakan sebagai tindakan illegal atau tidak sah secara jus ad bellum. Merujuk pada probability of success, AS sendiri tidak
dapat menentukan apakah dengan menemukan dan memusnahkan poliferasi senjata
pemusnah massal merupakan keberhasilan, kemudian pada kenyataannya memang tidak
dapat ditemukan senjata yang dimaksud. Justru yang terjadi AS mempunyai tujuan
yang lain yaitu penguasaan hegemoni ekonomi melalui sumber-sumber minyak di
Irak. Merujuk data yang ada maka harapan yang masuk akal bahwa perang Irak akan
berhasil menjadi kabur dan tidak tercapai.
Jus
ad Bellum – Serangan
AS ke Kosovo
Dalam
kasus serangan yang dilakukan NATO di bawah pimpinan AS di Kosovo dalam rangka melakukan
penyerangan terhadap Federal Republic of
Yugoslavia (FRY) yang menduduki kota Kosovo yang notabene memiliki 90%
komunitas orang Albania yang beragama muslim. AS dipercaya mempunyai sebuah just cause dan memiliki kriteria
tersendiri sebagai alasan yang digunakan sebagaimana yang dikriteriakan dalam jus ad bellum. Alasan tersebut yang
dikemukakan adalah mempunyai motivasi yang murni tanpa mementingkan diri
sendiri dengan mengatasnamakan melakukan tindakan penyelamatan terhadap
penduduk Kosovo dari tindakan yang brutal yang dilakukan oleh pihak FRY.
Merujuk
kepada proper authority tindakan yang
diambil NATO dalam penyerangan ke Kosovo masih menyimpan keraguan. Hal tersebut
dihubungan dengan kewenangan politik untuk penggunaan kekuatan melalui sebagai
pemegang mandate secara sah adalah Dewan Keamanan PBB, bukan NATO maupun AS,
dimana dalam kasus ini DK PBB tidak memberikan mandat meskipun secara implicit.
Oleh karena itu serangan yang dilakukan oleh NATO, dalam hal ini AS dapat
dinyatakan sebagai serangan yang tidak sah yang dilakukan oleh suatu negara
sebagai alasan dalam berperang.
Apakah
serangan yang dilakukan oleh NATO-AS ke Kosovo merupakan sebuah last resort?. Sebelumnya usaha-usaha
pencegahan dengan tujuan untuk terjadinya suatu perang dengan menggunakan
kekuatan bersenjata telah di laksanakan, seperti halnya berbagai perundingan
dan gencatan senjata telah dicoba oleh pihak FRY dengan KLA (Kosovo Liberation Army). Oleh
karenanya, sebetulnya kasus Serangan NATO-AS yang terjadi di Kosovo seharusnya
masih dapat dicegah, karena masih dapat dilakukan cara-cara negoisasi lanjutan
antara FRY dan KLA untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di Kosovo. Dilihat
dari cara pandang proportionality (proporsionalitas),
serangan NATO-AS ke Kosovo dinilai keluar dari batas proporsionalitas bahkan
menambah situasi yang lebih buruk dari apa yang diharapkan.
Jus
in Bello – Invasi
AS ke Irak 2003
Ketika
peperangan dimulai, serangkaian hukum diberlakukan dengan tujuan untuk mengatur
bagaimana perang dilakukan. Semenjak invasi AS di tahun 2003, lebih dari satu
juta rakyat Irak terbunuh[8].
Para korban yang meninggal banyak yang berasal dari penduduk sipil, hal ini
terjadi seperti pada kasus pemboman yang terjadi di sebuah pasar di Irak atau
sebagai akibat dari serangan pesawat-pesawat pembom AS dalam operasi serangan
udara yang menimbulkan korban jiwa di kalangan penduduk sipil. Dari data
tersebut menunjukkan bahwa invasi AS ke Irak telah menyebabkan jutaan rakyat
Irak menjadi korban dan hal itu bertentangan dengan hukum Humaniter
Internasional serta tidak memenuhi dalam kriteria non-combatant immunity.
Tindakan
yang dilakukan AS juga melanggar Konvensi Jenewa tahun 1949, dimana AS tidak
memberikan perlindungan bagi penduduk sipil karena banyak korban sipil
berjatuhan manakala terjadi serangan udara yang di lakukan oleh AS. Seharusnya
AS dapat membedakan antara penduduk sipil yang notabene tidak kombatan dengan
para kombatan. Penyiksaan dan perlakuan kejam juga dilakukan oleh
tentara-tentara AS terhadap para tawanan perang Irak, tentu daja hal tersebut
melanggar Konvensi Jenewa tahun 1949 dan declaration
of Human Right atau pernyataan dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia.
Serangan
AS di beberapa tempat di Irak bila dikaitkan dengan prinsip proporsionality, maka kerusakan imbasan (collateral damage) yaitu korban sipil
dan sasaran non-militer, seperti hal nya pasar, perumahan penduduk, maka sangat
bertentangan dengan proporsionalitas karena serangan tersebut dinyatakan tidak sah
secara hukum. Berbeda apabila sasaran tersebut adalah sasaran militer yang
dinyatakan sah secara hukum.
Jus
in Bello – Serangan
AS ke Kosovo
Dalam
kasus serangan AS ke Kosovo selama 78 hari waktu kampanyenya, NATO- AS telah melakukan pengeboman melalui
serangan – serangan udara secara besar-besaran di Kosovo. Korban dari pihak
penduduk sipilpun berjatuhan. Perlindungan yang seharusnya di berikan terhadap
penduduk sipil tidak dapat diberikan sehingga kejadian tersebut bertentangan
dengan prinsip-prinsip dan kriteria jus
in bello khususnya hukum yang mengatur tentang perlindungan orang-orang
yang menjadi korban perang yang tertuang dalam Konvensi Jenewa tahun 1949.
Penggunaan
Bom cluster yang diusung oleh pesawat A-10 milik AS bertentangan dengan
kriteria prohibited weaponary selam
pelaksanaan perang. Bom yang dimaksud dalam serangan AS di Kosovo menggunakan cluster bomb berjenis BL. 755 atau US
CBU87B, dimana bom jenis ini dilarang karena dapat menimbulkan kesengsaraan
bagi korban perang. Serangan udara AS juga bertentangan dengan kriteria prohibited target, karena target atau
sasaran AS masih terdapat sasaran sipil di luar dari target militer seperti
halnya dengan sasaran yang mengenai rumah sakit, beberapa kantor kedutaan besar
seperti Swiss dan Swedia yang notabene dilindungi dalam hukum perang.
Merujuk
kepada kriteria proportionality dalam
jus in bello serangan AS tersebut
keluar dari kriteria, hal tersebut dapat dilihat dari timbulnya collateral damage yang menimbulkan
korban-korban sipil dan bangunan infrastruktur non-militer. Perlu digarisbawahi
di sini dengan kejadian tersebuut maka NATO-AS tidak dapat memberikan
perlindungan terhadap penduduk sipil.
Beranjak
dari analisis kasus invasi AS ke Irak dan serangan AS ke Kosovo berdasarkan
prinsip jus ad bellum dan jus in bello, maka dapat digambarkan
dalam tabel di bawah ini apakah AS dalam penggunaan kekuatan bersenjata telah
memenuhi kriteria-kriteria sebagai perang yang sah atau tidak.
Tabel
Kriteria Pelaksanaan Serangan AS ke Irak dan Kosovo
IRAK
|
KOSOVO
|
||
Jus
ad Bellum
|
Just Cause/ittention
|
Tidak
|
Memenuhi
|
Just Authority
|
Tidak
|
Tidak
|
|
Last Resort
|
Tidak
|
Tidak
|
|
Proportionality
|
Tidak
|
Tidak
|
|
Probability of Success
|
Tidak
|
Tidak
|
|
Jus
in Bello
|
Just Authority
|
Tidak
|
Tidak
|
Non-combatant immunity
|
Tidak
|
Tidak
|
|
Proportionality
|
Tidak
|
Tidak
|
|
Prohibit Target
|
Tidak
|
Tidak
|
|
Prohibited Weaponary
|
Tidak
|
Tidak
|
Kesimpulan
Melihat
jejak rekam AS dalam invasi ke Irak dan serangan ke Kosovo, ditinjau dari just war maupun unjustwar, maka tindakan AS dapat dinyatakan sebagai tindakan yang
secara tidak sah dalam pelaksanaan perang. Seperti yang tertera dalam tabel di
atas dari sekian kriteria mayoritas tindakan AS tidak memenuhi persyaratan
sesuai dengan hukum-hukum perang baik sesuai Konvensi Jenewa tahun 1949 maupun
hukum Hague.
Dari
kedua kasus dapat diambil beberapa intisari bahwa tindakan AS menunjukkan
negara tersebut mempunyai pengaruh yang besar dalam menjalankan politik luar
negerinya. Terlepas dari tidak adanya restu secara resmi dari PBB dan
mendahulukan tindakan dengan menggunakan kekuatan bersenjata sebagai last resort, yang sesungguhnya masih ada
cara lain dapat ditempuh dalam mengatasi permasalahan baik di Irak dan Kosovo
yang bisa menghindari korban penduduk sipil yang lebih banyak.
Demikian
pembahasan dalam tulisan ini guna memberikan gambaran tentang invasi AS ke Irak
dan serangan AS ke Kosovo dilihat dari penyelenggaraan sesuai dengan hukum perang
yang adil (just war) maupun tidak
benar (unjust war) sebagai bagian
dari implementasi hukum-hukum perang yang berlaku sekarang ini. Melalui
pembahasan ini dapat diambil intisari bahwa partisipasi PBB sebagai badan dunia
yang memiliki autoritas besar dalam menangani permasalahan dan pertikaian
maupun konflik yang melibatkan negara-negara di dunia harus lebih aktif kembali
serta dapat menunjukkan kenetralan tanpa ada intervensi dari negara-negara
besar seperti halnya AS. Kemudian adanya peran aktif PBB dalam menyoroti
permasalahan penerapan hukum humaniter internasional dalam rangka melindungi
rakyat yang menjadi korban dalam pertikaian bersenjata seperti halnya di Irak
dan Kosovo.
Daftar Pustaka
Cahyo, Agus N. 2012. Perang-Perang Paling Fenomenal. Yogyakarta: Buku Biru.
Departemen Kehakiman RI.
1999. Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun
1949. Jakarta: Departemen Kehakiman RI.
Goldstein, Cora Sol. 2012. Just War Theory and Democratization by Force.
Military Review. Edisi
September-Oktober 2012.
Gutman, Roy dan David Rieff. 2004. Crimes of War: What the Public Should Know. Jakarta:
PJTV.
Jusanda, Hendra. 2008. Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi
Amerika Serikat ke Irak Ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional dalam
skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Moller, Bjorn. 2000. Kosovo and The Just War Tradition. Dalam artikel untuk Commision on Internal Conflict.
Sukma, Rizal. 2003. Keamanan Internasional Pasca-11 September 2001: Terorisme, Hegemoni AS
dan Implikasi Regional.
Internet
Agisari.
2012. Principle of Propotionality. Diunduh
dari http://agisardhifhub.wordpress.com/2010/05/06/prinsip-roporsionalitas-principle-of-proportionality/
[1] Agus N. Cahyo.
2012. Perang-Perang Paling Fenomenal.
Jogjakarta: Buku Biru. Hlm 15.
[2]. Ibid. Hlm 208.
[3] Rizal
Sukma (2003), Keamanan Internasional
Pasca-11 September 2001: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional. http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Keamanan%20Intl%20-%20rizal%20sukma.pdf
[4] CCR adalah gabungan
sejumlah LSM Dan tokoh masyarakat di AS.
[5] Hendra
Jusanda. 2008. Perlindungan Terhadap
Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak Ditinjau
dari Hukum Humaniter Internasional dalam skripsi Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan.
[6]
Sebuah Tulisan tentang Konflik di Kosovo diunduh dari http://informasi-budidaya.blogspot.com/2009/10/sebuah-tulisan-tentang-konflik-kosovo-2.html.
[7]
Agisari. 2012. Principle of
Propotionality. Diunduh dari http://agisardhifhub.wordpress.com
/2010/05/06/ prinsip-proporsionalitas-principle-of-proportionality/
[8] Berdasarkan
riset yang dilakukan oleh Opinion
Research Business (ORB), sebuah lembaga suvey Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar