Kamis, 30 Mei 2013

Cyberwarfare (2)



KEKUATAN CYBERWARFARE NEGARA

Sigit

 
Berkembangnya kemampuan cyberattack menyebabkan ketertarikan atau kepentingan yang besar untuk membangun sebuah sistem cyberdetterence yang kuat. Bagi negara-negara yang sudah memiliki kemampuan dan berbasis kepada sistem komputer lebih meningkatkan dan memberikan perhatian khusus kepada kemampuan cyberdeterrence daripada meningkatkan untuk merespon serangan-serangan yang konvensional[i]. Hal tersebut dikarenakan mereka menyadari akan resiko penggunaan cyber sebagai sebuah sistem yang mengendalikan, mengelola, dan memproses segala urusan bidang kehidupan. Bagi mereka kerawanan adalah hal yang sangat riskan karena menyangkut kehidupan negara karena kelalaian di dunia cyber akan dapat merusak seperti halnya transaksi ekonomi, tidak teraturnya sistem transportasi udara, tidak beroperasinya sistem perbankan dan memberikan pengaruh bagi pasokan tenaga listrik dan sebagainya.

Cyberwarfare juga menjadikan Amerika Serikat (AS) sebagai negara besar menaruh perhatian lebih dalam meningkatkan pertahanan cyberspace-nya dari serangan dan ancaman yang datang. Departemen pertahanan AS telah membagi ancaman cyber terhadap sistem teknologi informasi menjadi dua yaitu; (1) Unintentional cyber threats, sebuah ancaman cyber yang tidak berbahaya yang disebabkan karena kerusakan peralatan atau pada saat melakukan upgrade software tidak sempurna sehingga merusak sistem teknologi informasinya, (2) Intentional, ancaman cyber disebabkan oleh aktor-aktor jahat yang bertujuan untuk menyerang IT System baik yang menjadi target maupun bukan target langsung, seperti; Script kiddie, Recreational Hacker, Cyber Activist (Hacktivists), Organized Crime, Terrorist Organizations, Nation-State Actors, dan Insider Threats[ii].

Bagaimana mengukur kekuatan cyberwarfare bagi suatu negara? Apakah cukup dengan mengukur kemampuan untuk menyerang (baca: cyberattack) negara lain?, ternyata tidak cukup dengan hanya kemampuan menyerang saja. Menurut Richard A. Clarke (2010) dalam mengukur kemampuan cyberwarafare suatu negara secara realistic dapat dilakukan dengan mempertimbangkan pengukuran dengan tiga faktor, yaitu; (1) offense; (2) defense; dan (3) dependence. Offense merupakan ukuran kemampuan suatu negara dalam melakukan penyerangan guna melemahkan jaringan-jaringan sistem komputer lawan atau merusak cyberdeffense dari suatu negara lawan; defense yang dimaksud adalah pengukuran dari kemampuan suatu negara guna beraksi dalam suatu serangan cyber, dimana aksinya tersebut dapat memberikan pertahanan (baca: melakukan blok) dan mengurangi serangan-serangan dari cyber lawan. Sedangkan dependence adalah suatu tingkat ketergantungan terhadap jaringan dan sistem yang dapat dengan mudah diserang oleh cyber.

Dengan menggunakan tiga faktor (offense, defense, dependence) Clarke mencoba untuk memberikan ilustrasinya tentang bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi. Ilustrasi dapat dilihat di tabel 1, dimana khusus untuk dependence semakin sedikit jaringan di negara tersebut maka akan di beri bobot nilai yang tinggi sedangkan untuk offense dan defense semakin tinggi nilainya berarti negara tersebut memiliki kemampuan dalam kedua faktor tersebut.

Tabel 1. Kekuatan Cyberwarfare 5 Negara

Nation
Cyber
Offense
Cyber Dependence
Cyber
Defense
Total
US
8
2
1
11
Russia
7
5
4
16
China
5
4
6
15
Iran
4
5
3
12
North Korea
2
9
7
18
(Sumber Richard A. Clarke. 2010. Cyber War The Next Threat To National Security and What To Do About It. NY: Harper Collin Publisher)

Dari tabel di atas dapat diketahui seberapa besar kekuatan negara dalam menghadapi cyberwarfare. Hasil pengukuran di atas menunjukkan bahwa China mempunyai nilai defense yang tinggi, karena mempunyai perencanaan dan kemampuan untuk memutuskan hubungan jaringan ke seluruh negerinya dengan melalui cyberspace. Hal tersebut bertolak belakang dengan AS yang tidak mempunyai baik merencanakan maupun kemampuan untuk memutuskan koneksi jaringan karena koneksi jaringan yang ada di AS rata-rata di operasikan dan dimiliki oleh perseorangan (baca: swasta). Bila kita melihat Korea Utara, maka negara ini memiliki nilai yang tinggi untuk defense dan dependence, hal ini dikarenakan Korea Utara dapat memutuskan koneksinya yang terbatas ke cyberspace lebih mudah dan efektif dibanding dengan China dengan alasan bahwa Korea Utara mempunyai ketergantungan terhadap sistem yang kecil dan apabila ada serangan cyber terhadap negara tersebut tidak akan menimbulkan kerusakan yang berarti.

AS sendiri dalam tabel di atas memiliki kesenjangan nilai yang besar dalam offense dan defense sehingga dapat disimpulkan bahwa negara besar tersebut dapat melakukan serangan-serangan yang mematikan dan merusakan terhadap negara lawannya melalui cyberattack, namun AS juga memiliki kerentanan dan kerawanan yang sangat besar terhadap serangan cyber lawan-lawannya. Hal tersebut dikarenakan kemampuan cyberdefense yang dimiliki AS sangat kecil dan memiliki ketergantungan terhadap sistem jaringan yang besar. Oleh karenanya, pemerintah AS memiliki perhatian yang sangat besar terhadap keamanan cyber  negaranya untuk dapat survive dari serangan-serangan cyber lawan-lawannya, baik yang dilakukan oleh perseorangan, aktor non-negara maupun adanya sabotase yang berasal dari kalangan dalam.

Bagaimana dengan kekuatan cyberwarfare Indonesia? Anda bisa ikut menghitungnya dengan cara yang Robert A. Clarke lakukan.

Tentunya hampir di seluruh dunia dan semua negara menginginkan kemampuan cyberwarfare yang kuat, yang memiliki kemampuan untuk menyerang dan kemampuan untuk defense sendiri dari serangan-serangan cyber. Bila merujuk pada pengukuran yang dilakukan oleh Robert A. Clarke yang mempertimbangkan tiga elemen; (1) offense; (2) defense; dan (3) dependence, maka sangat diharapkan Indonesia memiliki kemampuan cyberwarfare  minimal sebanding dengan negara-negara maju di dunia, dan hal tersebut harus menjadi komitmen bagi para stakeholder guna menghadapi ancaman cyber dimasa mendatang. Dari tiga elemen yang menjadi tolak ukur untuk kekuatan cyberwarfare sebuah negara, diharapkan Indonesia memiliki keseimbangan dalam tiga elemen tersebut, artinya bahwa dari segi kemampuan Indonesia mampu memberikan serangan-serangan yang mematikan dan merusakan terhadap negara lawannya melalui cyberattack. Kemudian dari sisi defensive, Indonesia harus mampu mengontrol dan mengendalikan terhadap kerentanan dan kerawanan yang dimiliki dalam sebuah sistem jaringan komputer atau internetnya, sehingga mampu menimalisir kerusakan yang terjadi bila terdapat serangan cyber.



[i] Martin C. Libicki,2009. Cyberdeterrence and Cyberwar. US: RAND Corporation. Hal.27.


[ii] Paparan dari Army Cyber Command/2nd US Army dalam rangka visit study  tanggal 5 November 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar