Jumat, 05 April 2013

HUMAN SECURITY


HUMAN SECURITY
DALAM DIMENSI KEAMANAN NON-TRADISIONAL

ninefivealpha


Pada akhir dekade 1990-an mulai muncul isu keamanan non-tradisional. Isu tersebut digulirkan oleh beberapa pakar yang tergabung dalam kelompok dengan sebutan “The Copenhagen School“ yang terdiri atas Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde. Dalam konteks keamanan non-tradisional terjadi pergeseran obyek, yang semula hanya tertuju pada keamanan negara mulai menyangkut keamanan terhadap manusia kemudian dikenal dengan sebutan human security, konsep ini muncul ketika terjadi peningkatan ancaman terhadap eksistensi manusia seperti adanya terorisme, kemiskinan dan sebagainya.
Tulisan ini mencoba untuk mendiskusikan sebuah konsep keamanan, yaitu bagaimana human security dalam dimensi keamanan non-tradisional. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman mengenai konsep human security. Dalam pembahasan ini mencakup ruang lingkup keamanan non-tradisional melalui lima dimensi yaitu dimensi origin of threats, nature of threats, The responses, The responsibilty for providing security dan terakhir ditinjau dari dimensi core values.

ANALISIS PERANG



ANALISIS INVASI AS KE IRAK DAN SERANGAN AS KE KOSOVO
DITINJAU DARI JUSTWAR DAN UNJUSTWAR

Ninefivealpha

Perang telah menjadi sifat dasar manusia untuk berkuasa dan menanamkan pengaruhnya. Perang juga diartikan sebagai sebuah aksi fisik dan non fisik antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan[1]. Transformasi bentuk perang terus terjadi seiring dengan perubahan zaman. Dimulai dengan penggunaan senjata yang sederhana dan sekarang menggunakan persenjataan yang memiliki teknologi tinggi dan modern. Namun ada yang tidak berubah dari sebuah peperangan, yaitu timbulnya korban jiwa baik dari pihak yang bertikai maupun dari pihak penduduk sipil. Munculnya doktrin atau aturan mengenai sebuah perang, hukum perang yang kesemuanya berisikan aturan-aturan yang berlaku dalam perang untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa. Dalam hukum internasional, ada dua cara dalam memandang perang—alasan berperang dan cara berperang. Secara teori, mungkin saja melanggar semua aturan ketika bertempur dalam sebuah perang yang dibenarkan (just war) atau berperang dalam sebuah perang yang tidak dibenarkan (unjust war) dengan tetap memegang teguh hukum konflik bersenjata.
Tulisan ini akan membahas bagaimana sebuah pelaksanaan perang dihadapkan dengan aturan-aturan perang sehingga perang tersebut dinyatakan sebagai perang yang sah maupun tidak sah (jus and unjust war) dengan mengambil study kasus Invasi AS ke Irak tahu 2003 dan Penyerangan AS ke Kosovo tahun 1999. Ruang lingkup dalam tulisan ini adalah pembahasan perang dalam prespektif penyelenggaraan perang melalui kriteria just ad bellum dan just in bello.

Kamis, 04 April 2013

PEMBERDAYAAN WILAYAH


PEMBERDAYAAN WILAYAH
DALAM PENYELENGGARAAN PERTAHANAN NEGARA DI PAPUA

ninefivealpha

Berbagai macam isu menyangkut stabilitas keamanan nasional timbul di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satunya adalah konflik di Papua, dimana sebuah gerakan separatis telah berkecamuk selama beberapa dekade. Dilihat dari sejarahnya, Papua merupakan daerah konflik semenjak bergabung ke NKRI. Hasil penelitian LIPI antara tahun 2004-2009, menyebutkan ada empat akar permasalahan di Papua, yaitu: status politik integrasi Papua ke Indonesia, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pembangunan yang gagal, dan marjinalisasi. Permasalahan-permasalahan ini dapat menjadi ancaman serius bila dijadikan sebagai isu utama oleh kelompok separatis Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Disinilah perlunya suatu bentuk rumusan sistem pertahanan negara (Sishanneg)[1] yang dapat diimplementasikan untuk menghadapi ancaman disintegrasi Papua dari NKRI.

Tulisan ini akan membahas perumusan Sishanneg, yaitu bagaimana pemberdayaan wilayah dalam penyelenggaraan pertahanan negara (hanneg) dapat diimplementasikan secara komprehensif di Papua. Tujuan penulisan ini adalah memberikan langkah-langkah guna meningkatkan pemberdayaan wilayah dalam penyelenggaraan hanneg. Ruang lingkup tulisan ini akan mencakup tiga pokok bahasan, yaitu (1) bagaimana meningkatkan pemberdayaan wilayah dalam penyelenggaraan hanneg secara komprehensif sesuai dengan komitmen NKRI; (2) bagaimana pemberdayaan wilayah hanneg yang diimplementasikan secara interrelationship; dan (3) bagaimana memberdayakan wilayah hanneg dalam menghadapi situasi global terkait dengan pandangan masyarakat internasional terhadap permasalahan di Papua.