Rabu, 09 Januari 2013

PENANGANAN ASYMMETRIC WARFARE - AS


PENANGANAN ASYMMETRIC WARFARE
DALAM PERSPEKTIF KEAMANAN NASIONAL AMERIKA SERIKAT
(PASCA 11 SEPTEMBER 2001)

Sigit Sasongko

Amerika Serikat (AS) menyadari sebagai negara superpower yang memiliki banyak musuh dan menginginkan kehancuran negara tersebut, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Menyadari kekuatan yang dimiliki AS, musuh-musuh AS mengambil perlawanan yang tidak diprediksi sebelumnya oleh AS. Runtuhnya Worid Trade Center (WTC) dan hancurnya Pentagon pada tanggal 11 September 2011 menggunakan cara-cara yang tidak lazim yaitu dengan menabrakkan dan menjatuhkan pesawat komersil oleh aktor non-negara, menandakan adanya sebuah perlawanan dari musuh AS dengan memanfaatkan kerawanan dan kelemahan AS, musuh AS baik berupa aktor negara maupun non-negara terus berupaya mengembangkan diri dengan melakukan perlawanan unconventional menggunakan berbagai strategi, teknik, taktik, dan metode asymmetric warfare. Serangan-serangan untuk mengacaukan kemananan nasional AS dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui aksi-aksi terorisme dan cyber attack.
Tulisan ini akan membahas bagaimana AS menyiapkan strategi-strateginya guna menghadapi asymmetric warfare dalam menjaga keamanan nasionalnya. Ruang lingkup dalam tulisan ini adalah pembahasan keamanan nasional AS dalam menghadapi ancaman asimetrik berupa terorisme dan serangan cyber, serta bagaimana respon AS terhadap ancaman-ancaman tersebut.
Ancaman dan Keamanan
Dalam konsep keamanan terdapat beberapa dimensi yang perlu diketahui diantaranya adalah (1) the origin of threats, pada saat masa Perang Dingin, ancaman-ancaman datang dari pihak luar, kemudian diera sekarang berubah pandangan mengenai ancaman yang datang dapat berasal dari domesik dan global; (2) the nature of threats, menurut pandangan tradisional ancaman bersifat militer, namun seiring dengan perkembangan jaman telah mengubah ancaman menjadi jauh lebih rumit dan komprehensif karena persoalan keamanan dapat menyangkut ke dalam aspek-aspek seperti ekonomi, social budaya, lingkungan hidup, demokratisasi, dan isu-isu mengenai HAM; (3) changing responsibility of security, kaum tradisional memandang bahwa organisasi politik dan negara berkewajiban dalam menyediakan keamanan bagi seluruh warganya, sedangkan penganut konsep keamanan baru memandang bahwa keamanan akan bergantung pada seluruh interaksi individu, civil society, dengan kata lain bahwa keamanan nasional tidak hanya tergantung pada aktor negara saja akan tetapi juga ditentukan olej kerjasama transnasional antara aktor non-negara; (4) core values of security, para penganut tradisional memfokuskan keamanan pada kemerdekaan nasional, kedaulatan, dan integritas territorial. Namun berbeda pada penganut non-tradisional yang mengemukakan nilai-nilai baru seperti halnya kesejahteraan ekonomi, penghormatan pada HAM, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan upaya-upaya memerangi kejahatan lintas batas (transnational crime)[1].
Mengingat semakin meluasnya agenda keamanan, hal tersebut seiring dengan semakin meluasnya dan beragamnya ancaman-ancaman yang mungkin terjadi. Salah satu ancaman kontemporer yang sekarang dapat mempengaruhi dalam penerapan strategi keamanan suatu negara adalah ancaman asimetrik yang memungkinkan dapat menimbulkan Asymmetric Warfare yang merupakan sebuah konsep dalam perang generasi ke empat. Dalam bukunya Rod Thornton menuliskan bahwa peperangan asimetrik adalah “…violent action undertaken by ‘have-nots’ against the ‘haves’ …”[2], …sebuah aksi kekerasan yang dilakukan oleh ‘si punya’ melawan ‘si tidak punya’…, hal ini menjelaskan perang asimetris ini digunakan oleh pihak-pihak lemah dengan segala kekurangan yang dimiliki guna melawan pihak kuat dengan memanfaatkan kerawanan-kerawanan yang dimilikinya, dari level taktik hingga level strategis. Kemudian David Grange mengatakan bahwa peperangan asimetrik adalah sebuah konflik menyimpang dari batas-batas kenormalan, atau sebuah pendekatan tidak langsung untuk mempengaruhi sebuah counter-balancing of force[3]. Kemudian Grange menambahkan bahwa peperangan asimetrik adalah pengertian terbaik mengenai sebuah strategi, taktik atau metode peperangan dan konflik[4].
Fenomena peperangan asimetrik sendiri pada dasarnya lahir seumur dengan keberadaan perang itu sendiri. Peperangan ini dapat dilihat dari cara pandang yang berbeda, baik dari segi kuantitas maupun kualitas dari sebuah kekuatan yang dimiliki oleh aktor-aktor yang terlibat. Cerita tentang David dan Goliath menjadi pembelajaran tentang sebuah peperangan asimetrik, perlawanan antara pihak lemah dengan pihak kuat. David dengan menerapkan taktik dan teknik yang tidak lazim di saat itu, serta dapat mengeksploitasi dan memanfaatkan kelemahan Goliath sehingga dapat mengalahkannya. Goliath merupakan sebuah ikon mengenai sebuah kekuatan yang besar dan tidak tertandingi pada saat itu. Di era modern sekarang ini, terdapat pergeseran taktik dan tehnik dalam peperangan asimetrik, hal tersebut dipengaruhi oleh peran globalisasi teknologi dan persenjataan yang digunakan.  Namun tidak ada perubahan yang mendasar dalam filosofi, manakala pihak lemah dapat memanfaatkan kelemahan dan kerawanan yang dimiliki sang penguasa yang kemudian dikenal dengan negative asymmetric, atau pihak kuat dapat mengembangkan kekuatan yang dimilikinya untuk dapat mengalahkan pihak lemah dengan menggunakan positive asymmetric.
Globalisasi dan keamanan merupakan dua permasalahan yang memiliki hubungan yang erat. Formasi-formasi kekuatan ekonomi, politik, dan keamanan dunia mengalami pergeseran dan bahkan mengalami sebuah tranformasi. Hal tersebut merupakan pengaruh sebuah globalisasi. Ersel Aydinli (2005) memberikan catatan ada tiga hal mendasar dalam melihat persoalan globalisasi dan keamanan yaitu; (1) uncertainty (ketidakpastian), yang berarti bahwa globalisasi menjadikan suatu perubahan secara terus-menerus dan menjadikan persoalan keamanan memiliki unsure ketidak pastian, (2) Power (kekuasaan), konfigurasi kekuasaan yang menjadi latar dari berbagai konflik dan ketegangan akan menjadi ancaman terhadap keamanan suatu negara menjadi penting untuk diperhatikan dalam rangka melihat relasi dan jaringan terkait dengan ancaman terhadap keamanan nasional, (3) konsepsi traditional state-centric dan multistate-centric yang pada gilirannya dua konsepsi dalam hubungan internasional tersebut tidak saling meniadakan ata menghilangkan satu sama lain[5].
Terorisme sebagai Asymmetric Threats bagi Amerika Serikat
Globalisasi dan perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan aktor-aktor non-negara, seperti halnya kelompok-kelompok teroris untuk terus mengembangkan kemampuannya dalam melawan kekuasaan pemerintah. Jaringan teroris yang solid telah memberikan sebuah perlawanan dengan melakukan tindakan-tindakan menggunakan kekerasan, memanfaatkan kelemahan dan kelengahan yang dimiliki pemerintah, terutama dalam kerjasama antara instansi pemerintah yang kurang efektif sehingga terdapat suatu celah bagi keamanan sebuah negara. Jaringan kelompok teroris menggunakan strategi, teknik, dan taktiknya dalam melawan kekuasaan pemerintah dengan menggunakan cara-cara diluar batas kelaziman atau metode perang asimetris yang membuat pemerintah sulit untuk memprediksi tindakan selanjutnya yang direncanakan oleh kelompok tersebut.
Sejak keruntuhan dan pecahnya uni soviet, AS menjadi satu-satunya negara adikuasa yang menandai adanya kekuatan unipolar di dunia ini. Peran AS dalam menangani isu-isu global, mempresentasikan bahwa AS merupakan kekuatan global yang memerankan sebuah kekuatan unilateral. Keberadaan AS tersebut sebagai kekuatan besar di dunia ini membuat AS dijadikan sasaran bagi kelompok terorisme yang mempunyai keinginan dan mempengaruhi tatanan global dari sudut pandang yang berbeda, kekuatan terorisme yang menyebar di berbagai tempat di dunia, mempresentasikan bahwa terorisme dapat mempengaruhi keseimbangan tatanan dan kekuatan dalam banyak dimensi[6]. Hal tersebut dapat mendorong sebuah penanganan yang bersifat global dengan tujuan untuk mewujudkan kepentingan bahwa kondisi keamanan global akan memberikan pengaruh terhadap situasi dalam keamanan nasional.
Runtuhnya gedung World Trade Centre (WTC) di New York tanggal 11 September 2001 akibat serangan teroris kini dilihat banyak pihak sebagai defining moment yang mengakhiri era Pasca Perang Dingin[7]. Penyerangan ini merupakan pukulan telak dan meruntuhkan simbol-simbol kedigdayaan AS sebagai negara adidaya, Menara (world Trade Center) WTC yang diyakini sebagai simbol kapitalisme dunia dan Gedung Pentagon sebagai simbol arogansi militer AS. Tragedi tersebut telah meningkatkan kesadaran masyarakat internasional mengenai pentingnya sebuah kerjasama internasional sebagai upaya dalam meningkatkan keamanan nasional. Peristiwa tersebut juga telah mengubah AS dalam pandangan atau orientasi politik internasionalnya. Dampak lainnya adalah momen tersebut mengubah tatanan global dalam memandang arti keamanan nasional AS yang juga berpengaruh terhadap pelaksanaan pada tataran keamanan internasional.
AS menyadari seiring dengan perkembangan jaman, perubahan ancaman terhadap negara semakin kompleks dan membutuhkan penanganan secara komprehensif. Sifat ancaman juga mengalami perubahan, berbeda dengan pada saat perang dingin ancaman bagi AS adalah perang-perang besar, seperti perang nuklir maupun ancaman serangan dari Uni Sovyet, namun pada era sekarang ancaman bagi AS telah mengalami transformasi sifatnya dapat menyerang semua aspek kehidupan yang tidak hanya militer saja, tetapi juga ekonomi, sosial budaya.
Peristiwa 9/11 telah membuktikan bahwa ancaman pada era globalisasi sekarang ini dapat berasal dari mana saja. Kekuatan-kekuatan radikal di dalam dapat pula menjadi ancaman yang besar bagi kedigdayaan AS. Perangkat-perangkat yang digunakan sebagai tindakan kekerasan tidak hanya berasal dari militer dengan persenjataan yang canggih, akan tetapi muncul penggunaan perangkat yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh pihak-pihak pemerintah AS, seperti halnya penggunaan pesawat terbang dalam melakukan penyerangan terhadap hegemoni AS. Penggunaan perangkat yang tidak lazim ini ternyata dapat menembus keamanan dan meruntuhkan kedigdayaan AS sebagai negara superpower. Cara-cara asimetris ini telah membuat peningkatan status dalam urusan keamanan nasional, karena ancaman asimetris dapat menyerang siapa saja, kapan saja, dan di mana saja sehingga pemerintah AS terus berupaya meningkatkan kerjasama secara komprehensif dengan melakukan perubahan kebijakan masalah keamanan nasional.
Cyber Threats – sebuah Ancaman bagi AS
Globalisasi mempengaruhi perubahan dan perkembangan teknologi dan informasi secara cepat. Memang tidak bisa diingkari, bahwa teknologi merupakan alat perubahan di tengah masyarakat luas. Ketergantungan masyarakat akan teknologi telah meningkat, ditandai dengan tingkat kebutuhan penggunaan teknologi dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hal ini menandakan bahwa, teknologi juga rentan terhadap serangan dari pihak tertentu guna menginginkan adanya ketidakstabilan dalam pemenuhan hajat hidup masyarakat. Ketidakstabilan tersebut dapat menjadi terkait dengan masalah keamanan apabila memang menyangkut keselamatan orang banyak bahkan orang banyak.
Kehidupan manusia kini telah diisi dengan perjuangan untuk menguasai, memperebutkan, dan mengekploitasi infomasi. Penguasaan terhadap informasi menjadikan posisi baik organisasi, negara meningkat karena kekuatan teknologi telah membuat jaringan-jaringan stratgeis untuk menguasai informasi secara global.
AS telah menancapkan akar-akar hegemoninya melalui globalisasi informasi, hal tersebut membuat AS dijadikan sebagai pusat pardigma peradaban bagi bangsa-bangsa lain di dunia. AS juga mencoba membangun opini dengan penguasaan teknologi informasi AS dapat menguasai dunia secara global sehingga bangsa-bangsa lain di dunia mengakui bahwa penguasaan tersebut merupakan suatu kebutuhan yang tidak terelakkan[8]. Namun di sisi lain, kemajuan teknologi dan penguasaan informasi yang dimiliki AS menimbulkan suatu celah kerawanan yang menjadi kelemahan yang logis bagi sebuah keamanan nasionalnya. Penggunaan teknologi juga menawarkan konsekwensi logis bagi sebuah kerawanan, karena pilihan penggunaan teknologi tersebut juga pilihan yang penuh dengan kerawanan dan kelemahan, seperti halnya ranjau yang siap membunuh terhadap sistem teknologi yang digunakan.
Ancaman serius bagi sistem teknologi AS dewasa ini adalah serangan cyber  terhadap sistem mereka. Cyber War didefinisikan sebagai aksi penetrasi suatu negara terhadap jaringan komputer negara lain dengan tujuan menyebabkan gangguan hingga kerusakan (Richard A. Clark. 2010). Aksi penetrasi yang dilakukan berupa national security breaches (pelanggaran keamanan negara), spionase, dan sabotase. AS sangat konsen dengan ancaman cyber ini, hal tersebut dikarenakan ancaman cyber dapat menyerang ke sektor perekonomian, social budaya, politik maupun kekuatan yang menjadi center of gravity di bidang pertahanan (Reksoprojo, 2011), sehingga sasaran-sasaran dari serangan cyber adalah jaringan-jaringan yang vital bagi sebuah sistem penyelenggara kebutuhan bermasyarakat.
Departemen pertahanan AS telah membagi ancaman cyber terhadap sistem teknologi informasi menjadi dua yaitu; (1) Unintentional cyber threats, sebuah ancaman cyber yang tidak berbahaya yang disebabkan karena kerusakan peralatan atau pada saat melakukan upgrade software tidak sempurna sehingga merusak sistem teknologi informasinya, (2) Intentional, ancaman cyber disebabkan oleh aktor-aktor jahat yang bertujuan untuk menyerang IT System baik yang menjadi target maupun bukan target langsung, seperti; Script kiddie, Recreational Hacker, Cyber Activist (Hacktivists), Organized Crime, Terrorist Organizations, Nation-State Actors, dan Insider Threats[9].
AS mengalami beberapa ancaman berupa serangan cyber, baik yang di lakukan oleh perseorangan, kelompok maupun negara. Pada tahun 1994, AS dikejutkan oleh serangan di dunia maya, pelakunya adalah seorang remaja umur 16 tahun di Inggris dengan sasaran 100 sistem pertahanan di AS. Kemudian pada kurun waktu 2001 hingga 2002, sebuah serangan cyber oleh aksi individual Briton, menyebabkan komputer militer AS diretas dan tidak dapat dioperasikan[10]. Serangan-serangan ini membuka tentang sebuah paradigma sistem pertahanan bagi AS dalam mengantisipasi keamanan cyber karena bila hal tersebut menyerang dan berdampak pada core value security, maka langsung tidak langsung telah menjadi ancaman besar bagi keamanan nasional AS. Kejahatan cyber juga menyerang sektor ekonomi, sesuai dengan catatan FBI dalam kurun waktu 2011, sekitar 485.3 juta US Dollar hilang akibat kejahatan tersebut.
Ancaman Cyber bagi AS yang dilakukan oleh negara berasal dari China. China yang menyadari bahwa melakukan perlawanan terhadap AS secara kekuatan militer konvensional adalah hal memerlukan suatu usaha yang besar. Menyadari kelemahan tersebut China berupaya mengembangkan pendekatan asimetrik dengan mengembangkan pelatihan dan teknologi cyber warfare. Target-target potensial AS meliputi sistem komputer di lembaga-lembaga keuangan, sistem perusahaan penyedia kebutuhan hidup (listrik, air, komunikasi), sistem control lalu lintas dan media massa.  FBI National Infrastructure Protection Centre (NIPC) pada tanggal 26 April 2001 pernah merilis bahwa terjadi serangan hacker (peretas) China dengan melakukan defacement halaman web milk AS melalui internet dan hacker-hacker China tersebut terus meningkatkan aktivitasnya dengan menyerang sistem komputer AS. Perusakan-perusakan situs web dalam skala besar dilakukan oleh hacker-hacker dari kedua belah pihak negara, seperti China Eagle Alliance dan Poizon Box, dan keduanya mengklaim telah melakukan defacement dan Denial of Service Attack (Dos)[11] sebanyak ribuan kali. Pada tahun 2007, pemerintah Amerika Serikat mengalami "suatu spionase Pearl Harbor" di mana "kekuatan asing yang tidak diketahui  masuk ke semua badan teknologi tinggi, semua lembaga militer, dan me-download informasi/data sampai dengan terabyte." Dari pengalaman serangan-serangan melalui dunia maya tersebut maka AS mulai menyiapkan diri terhadap segala kemungkinan skenario buruk yang akan terjadi akibat dari serangan cyber.
Respon AS terhadap Asymmetric Warfare
Merujuk kepada spectrum ancaman berupa asymmetric threats yang semakin meningkat. Pemerintah AS terus melakukan pembenahan baik dari doktrin, strategi, taktik, teknik dan metode untuk dapat mengounter ancaman-ancaman asimetrik dari musuh baik aktor negara maupun aktor-aktor non-negara. Berbagai peristiwa yang mengusik keamanan nasional AS telah membuat AS meresponnya secara serius, mengingat ancaman asimterik tersebut berkembang juga seiring dengan globalisasi dan perkebangan teknologi dan informasi. Tragedi 9/11 telah menyadarkan AS, bahwa musuh terbesar mereka dapat tidak berwujud kekuatan besar, namun berupa kekuatan-kekuatan kecil yang mampu meruntuhkan simbol-simbol hegemoni politik dan ekonomi AS, serta dapat merubah orientasi politik internasional AS.
Respon AS dalam Memerangi Terorisme Global
Tragedi serangan terhadap menara kembar WTC pada 11 September 2001 menyebabkan runtuhnya anggapan sistem pertahanan dan keamanan nasional AS yang kuat. Serangan dan sekaligus tamparan bagi pemerintah AS dalam memberikan rasa aman terhadap warga negaranya. Peristiwa yang merengut ribuan nyawa menimbulkan rasa simpati bangsa-bangsa di dunia terhadap AS yang tertimpa musibah dengan jatuhnya korban jiwa. Merespon peristiwa yang menjadi defining moment tersebut pemerintah AS memberlakukan kebijakan AS terkait dengan perang terhadap terorisme yang digulirkan oleh George W. Bush. Pernyataan George W. Bush yang lebih dikenal dengan sebagai “Doktrin Bush” dengan memerangi terorisme (Global War on Terrorism). Kebijakan perang melawan terorisme dari pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden, George W. Bush, secara umum tergambar dalam sejumlah dokumen seperti The National Security Strategt of the United States of America (2002), National Security Strategt to Combat Weapons of Mass Destruction (2002), dan National Strategy for Combating Tenorism (2003). Selain ketiga dokumen strategi itu, ada pula sejumlah “Executive Order" dari Presiden, dan pidato-pidato Presiden George W. Bush yang kemudian dijadikan dasar pengambilan kebijakan dalam perang melawan terorisme.
Terkait dengan respon terhadap terorisme, AS mengalami perubahan secara signifikan dalam menerapkan kebijakan dalam bidang keamanan, pertahanan, dan pandangan politik luar negeri AS. Parameter AS dalam menilai sebuah negara juga berubah, terjadi pergeseran konsentrasi dari isu permasalahan Hak Asasi Manusia dan demokrasi menjadi perang melawan terorisme. Dalam rangka mengantisipasi dan respon terhadap baik ancaman maupun serangan terorisme, AS mengadopsi sebuah doktrin baru, yaitu preemption. Melalui doktrin ini, AS bisa secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengantisipasi tindakan sepihak terhadap apa yang dipersepsikan AS sebagai ancaman dimana saja, khususnya melalui tindakan militer secara unilateral. Doktrin preemption tersebut membuat gelisah bagi banyak negara, dan dapat mengubah tatanan, nilai, dan norma-norma hubungan antarnegara secara fundamental (Rizal Sukma, 2003).
Pasca peristiwa 9/11 berbagai kerjasama internasional mulai digagas oleh AS, sebagai bagian dari global war on terrorism. AS berpendapat bahwa ini adalah momen yang tepat untuk membentuk kerjasama internasional dalam rangka memerangi terorisme. Kerjasama internasional tersebut dimaksudkan untuk menciptakan keamanan secara global, karena menurut kebijakan strategis AS bahwa keamanan global akan sangat mempengaruhi terhadap keamanan nasional AS.
Kerjasama antar institusi di AS semakin ditingkatkan, salah satunya dengan memaksimalkan transformasi militer AS yang memfokuskan pada upaya pertahanan dan pencegahan dari serangan terorisme yang mempunyai konsep bahwa kategori musuh bisa menjadi lebih luas, bisa perorangan, kelompok, maupun negara yang melindungi ataupun dengan bekerjasama dengan jaringan terorisme global. Pasca 9/11, pengembangan kemampuan dan pelatihan untuk menghadapi ancaman terorisme terus dilakukan termasuk didalamnya adalah teknologi transformasi militer dengan mengembangkan dari apa yang digunakan dalam proses RMA, (revolution Milltary Affair) seperti Capabilities, Control, Communication, Computing and Intelligenge, surveillance and Reconnaissance processing (C4ISR).
Transformasi militer AS diidentifikasi ada dua komponen, di antaranya; (1) mencari kombinasi yang tepat dari kapabilitas militer dalam rangka merespon baik perang konvensional maupun non konvensional, (2) mempersiapkan personel atau prajurit militer yang memiliki ketrampilan dan kualitas moral yang fleksibel dalam rangka menghadapi dua jenis peperangan[12], termasuk di dalam nya adalah asymmetric warfare. Militer AS melalui Arthur Cebrowski[13] juga menekankan bahwa pada dasarnya penciptaan teknologi militer untuk keperluan perang adalah sebagai kebutuhan dari upaya manusia dalam menegakkan prinsip moral yan mereka junjung tinggi. Perubahan dari doktrin militer pasca 9/11 lebih bisa dikatakan sebagai pengembangan dari doktrin RMA, di antaranya adalah standoff precision force, Unmanned Combat Vehicle, Expeditionary and Highly Mobile Forces, Littoral Warfare dan mengembangkan jointness (operasi gabungan semua angkatan perang AS).
Pelatihan dan pendidikan terus dikembangkan, seperti mengembangkan beberapa lembaga kajian strategis, contohnya di College of International Security Affairs (CISA) di National Defense University (NDU) yang mempunyai tujuan untuk mengkaji isu-isu menyangkut keamanan internasional dalam menghadapi Irregular Warfare/Asymmetric Warfare, counter terrorism dan lain-lain.Tranformasi di tubuh militer juga mendorong semakin berkembangnya organisasi pasukan khusus untuk menghadapi terorisme, operasi anti pemberontakan, serta tugas-tugas rekonstruksi dan stabilisasi kawasan.
Dalam menghadapi terorisme sebagai ancaman asimetrik, pemerintah AS juga mengembangkan teknologi yang digunakan dalam badan intelijen AS. Selain itu, kerjasama antar lembaga inteligen AS seperti, CIA, FBI, DEA dan lembaga-lembaga lainnya dibawah koordinasi homeland security terus ditingkatkan guna dapat mendeteksi dan mengatasi serangan dan ancaman terorisme di AS. Human Intelligen (Humint) terus dikembangkan dengan mendapat dukungan peralatan modern menandakan keseriusan AS dalam memerangi permasalahan terorisme. Sistem keamanan penerbangan baik domestik maupun internasional ditingkatkan, karena penerbangan merupakan salah satu transportasi strategis yang dapat digunakan sebagai sasaran maupun media teroris dalam melakukan aksinya.
AS sebagai negara adidaya tunggal saat ini sangat yakin bahwa dengan pendekatan militer merupakan pendekatan terbaik dalam memenuhi dan melindungi kepentingan-kepentingan keamanannya[14]. Pentagon memerankan peran yang dominan dalam menjalankan kebijakan luar negeri, didorong dengan peningkatan anggaran pertahanan secara signifikan semenjak kejadian 9/11, dan juga peningkatan bantuan militer kepada pemerintah di negara-negara yang diharapkan AS dapat menjadi mitra dalam perang melawan terorisme. AS memiliki pandangan bahwa lebih penting menghancurkan kelompok-kelompok yang menjadi organisasi terorisme dari pada mencari dan menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya terorisme sendiri[15].
Respon AS dalam Menghadapi Cyber Threats
Sistem internet merupakan suatu investasi yang menarik dan diperlukan diberbagai elemen kehidupan, namun secara strategis sangat rentan terhadap serangan dari luar, serangan tersebut dapat berasal dari aktor-aktor negara lain maupun aktor non-negara. Adapun taktik dan strategi yang digunakan dapat berupa spionase, propaganda, menghentikan operasional internet, memodifikasi data, dan memanipulasi infrastruktur, serta akan terus berkembang, semua ini akan sangat merugikan dan melemahkan sendi-sendi kehidupan negara[16] dan dapat mengganggu keamanan nasional AS.
AS sebagai negara yang memiliki kemampuan financial dan penguasaan teknologi tinggi, dalam menghadapi ancaman dan serangan cyber yang dapat membahayakan sistem operasional komputer di berbagai elemen kehidupan, pemerintah AS telah mempersiapkan diri untuk menghadapi cyber warfare.. Persiapan yang dilakukan AS meliputi pembangunan infrastruktur salah satunya adalah membangun sistem komputer dengan kemampuan sangat tinggi, media broadband (fiber optic, satelit). Hasil riset para peneliti AS telah menghasilkan komputer-komputer berteknologi tinggi dan menduduki tiga besar dunia, ini menunjukkan bahwa AS secara serius terus mengembangkan infrastruktur sistem komputernya untuk menghadapi ancaman dan serangan cyber yang ditujukan kepada mereka. Jaguar - Cray XT5-HE Opteron Six Core 2.6 GHz, Cray Inc. super computer berkemampuan sangat  tinggi milik AS, merupakan infrastruktur yang dapat digunakan untuk melakukan manuver spionase, propaganda, menghentikan operasional internet, memodifikasi data, dan memanipulasi infrastruktur, secara menyakinkan jauh meninggalkan kemampuan negara-negara lain, terlebih bagi negara yang tidak memiliki komputer super[17].  
Pemerintah AS melalui Departemen Pertahanannya menyiapkan beberapa strategi sebagai tindak lanjut dari President’s cyber guidance. Strategi tersebut meliputi; (1) mengenali dan mengadaptasi perkembangan kebutuhan militer untuk menciptakan jaringan yang aman dan dapat diandalkan, (2) membangun dan meningkatkan aliansi militer guna menghadapi ancaman di bidang cyber, (3) memperluas kerjasama keamanan cyber dengan sekutu dan partner dalam keamanan bersama, dan (4) merespon setiap tindakan kejahatan dalam cyberspace. Departemen Pertahanan AS juga mereponnya dengan membentuk US Cyber Command yang terdiri dari orang-orang terampil dan ahli dalam seni cyber warfare, gabungan dari pegawai pemerintah, militer, penegak hukum, intelijen, sektor swasta dan ahli hacker dengan memiliki keahlian seperti keamanan informasi, hacking, spionase, dan komputer forensic.
Kesimpulan
Dibandingkan dengan isu-isu demokrasi, HAM memang menjadi konsentrasi AS dalam tatanan global, namun semenjak pasca peristiwa 9/11, AS lebih berkonsentrasi kepada perang melawan teror sebagai strategi untuk memerangi kejahatan teroris dalam skala global. Hal tersebut menjadi pilihan strategis AS yang diambil karena beranggapan dengan menata keamanan secara global dapat berpengaruh terhadap keamanan nasional AS.
Melihat kompleksitas lingkungan strategis, sifat dan bentuk ancaman, perubahan sifat perang, kemajuan teknologi, dan faktor geografis, strategi pertahanan AS memerlukan perubahan doktrin untuk melawan dan menghadapi asymmetric warfare yang bisa mengancam keamanan nasional. Beberapa kebijakan strategis telah dibuat AS dalam menghadapi ancaman-ancaman asymmetric yang dapat mengganggu keamanan nasional AS. Kerjasama internasional untuk menciptakan keamanan global terus dilakukan oleh AS sebagai suatu mekanisme sekuritisasi terhadap masalah-masalah terorisme. AS juga meningkatkan peran-peran seperti akademisi, militer, penegak hukum, ahli IT, dan juga aktor-aktor non-negara seperti halnya LSM, media massa untuk terlibat dalam upaya-upaya pencegahan ancaman asimetrik terhadap keamanan nasional AS.

                          

Daftar Pustaka

Arreguin-Toft, Ivan. 2001.How the Weak Win Wars, dalam Jurnal International Security, Vol.26, No 1.

Budiardjo, Miriam. 1983. Konsep kekuasaan:Tinjauan Kepustakaan, dalam Miriam Budiardjo (Ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Djelantik, Sukawarsini. 2010. Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan keamanan Nasional. Jakarta: Buku Obor

Gerth, H.H dan C. Wright Mills. 1974. From Max Weber: Essay in Sociology, London dan Boston: Routledge & Kegan Paul Ltd.

Hermawan, Yulius P. 2007. Tranformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Bandung: Graha Ilmu.

Hough, Peter. (2008). Understanding Global Security. New York: Routledge.

Octavian Amarula. (2012). Militer dan Globalisasi. Jakarta: UI Press.

Sukma, Rizal. 2003. Keamanan Internasional Pasca-11 September 2001: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional.

Thornton, Rod. 2007. Asymmetric Warfare. UK: Polity Press.

Winarno, Budi. 2011. Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Caps.


[1] Anak Agung B.P. 2007. Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan Realisme dan Neo Realisme dalam Hubungan Internasional Kontemporer dalam buku Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 40-43.
[2] Rod Thornton (2007), Asymmetric Warfare, UK: Polity Press, Hal. 1.
[3] Ibid. hal. 19.
[4] Ibid. hal. 21.
[5] Amarrula Octavian. 2012. Militer dan Globalisasi Jakarta: UI Press. Hlm 20.
[6] Budi Winarno (2011), Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Caps, Hal.179.
[7] Rizal Sukma (2003), Keamanan Internasional Pasca-11 September 2001: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional. http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Keamanan%20Intl%20-%20rizal%20sukma.pdf
[8] Abdul Wahid dan Mohammad Labib, 2010. Kejahatan Mayantara/Cyber Crime. Bandung: Refika Aditama. Hal. 20.
[9] Paparan dari Army Cyber Command/2nd US Army pada saat visit study  tanggal 5 November 2012.
[10] Rod Thornton, Op.cit. Hal. 60.
[11] DoS mempunyai tujuan untuk memacetkan sistem dengan mengganggu akses dari pengguna yang sah (legitimasi) taktik yang digunakan biasanya dengan membanjiri situs web dengan data-data yang tidak penting.
[12] Amarrula Octavian. 2012. Op.cit. Hal. 109.
[13] Kepala Transformasi Angkatan Bersenjata AS.
[14] Rizal Sukma (2003), Loc.cit. hal 6.
[15] Ibid.
[16] Noor Pramadi. 2010. Mandala Perang Baru “Cyber Warfare” Sudah Dimulai !!!. diakses dari ww.tandef.com.
[17] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar