Rabu, 09 Januari 2013

PERANG ASIMETRIK ABAD 21 DI INDONESIA


STRATEGI PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KOMPONEN KEKUATAN NASIONAL DALAM MENGHADAPI PERANG ASIMETRIK ABAD 21 DI INDONESIA

Sigit Sasongko

Komponen kekuatan nasional Indonesia yang akan dibahas dalam tulisan ini terdiri dari diplomasi, informasi, militer, dan ekonomi. Keempat unsur ini berkaitan satu sama lain dan saling membutuhkan, militer yang kuat tentunya akan menimbulkan efek gentar strategis  atau "strategic deterrent effect" (informational) kepada negara-negara di kawasan sehingga akan dapat menjadi daya tangkal terhadap ancaman dari luar. Selain itu, militer yang kuat tentunya dapat mendukung upaya diplomasi (diplomatic-political) agar memperoleh bargaining position yang memadai dalam setiap penyelesaian suatu konflik dengan negara lain. Dengan bargaining yang kuat maka secara otomatis militer akan melindungi momentum kemajuan ekonomi dari gangguan pihak luar maupun dalam negeri, terutama dengan cara menciptakan stabilitas dalam negeri serta melindungi aset-aset ekonomi.  Hubungan seperti ini yang pada dasarnya belum optimal diaplikasikan dalam sistem pertahanan negara Indonesia dalam menghadapi perang asimetris
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai karakteristik perang asimetris abad 21 untuk Indonesia kemudian strategi pembinaan dan pengembangan komponen kekuatan nasional Indonesia untuk mengatasi perang asimetrik abad 21. Mengingat Indonesia mempunyai posisi strategis diantara dua samudera dan dua benua tidak menutup kemungkinan banyak ancaman yang harus dihadapi. Khususnya ancaman asimetris, Indonesia menghadapi dua dimensi yang berbeda, di mana Indonesia berada di posisi yang kuat dalam menghadapi aktor non-negara seperti terorisme dan separatisme di dalam negeri, namun dilain pihak Indonesia berada di posisi yang lemah ketika berhadapan dengan negara besar seperti halnya China.

Karakteristik Perang Asimetris Abad 21 untuk Indonesia
Di era globalisasi sekarang ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat baik jarak maupun waktu menjadi sedemikian dekat. Globalisasi juga telah menciptakan ruang baru dimana negara tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dalam percaturan ekonomi maupun politik global. Fenomena ini juga telah menciptakan spectrum ancaman yang sedemikian unik, suatu ancaman terhadap kehidupan manusia yang semakin luas dan beragam. Ancaman tersebut bukan hanya berasal dari aktor-aktor negara berupa ancaman agresi seperti timbulnya perang-perang besar. Namun fenomena yang terjadi sekarang ini muncul ancaman-ancaman yang berasal dari aktor-aktor non-negara yang perkembangannya lebih mengancam kedaulatan negara. Penguasaan terhadap suatu negara dengan cara-cara lama melalui jalan perang secara langsung sudah mulai ditinggalkan berganti dengan strategi perang secara tidak langsung dengan menguasai kehidupan secara multidimensi. Tentara dan persenjataan canggih bukan lagi pemegang monopoli kekerasan terhadap kemanusiaan, tetapi justru dari perangkat-perangkat sipil yang tidak dibayangkan sebelumnya[1]. Fenomena-fenomena inilah yang kemudian muncul istilah yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Asimetris.
Perang Asimetris lebih sering disebut sebagai perang generasi keempat yang merupakan sebuah bentuk perang dengan menggunakan cara berpikir yang tidak lazim dan diluar aturan peperangan yang berlaku karena berakar dari ketidakmampuannya menghadapi kekuatan musuh yang lebih kuat. Rod Thornton dalam bukunya Asymmetric Warfare mengemukakan bahwa Peperangan Asimetris adalah sebuah aksi kekerasan yang dilakukan oleh si lemah melawan si kuat, dimana si lemah dapat berupa aktor negara atau aktor non-negara, mencoba untuk menghasilkan pengaruh yang mendalam disemua level peperangan dengan mengerahkan keunggulan yang dipunyai dan memanfaatkan kerawanan-kerawanan dari pihak yang lebih kuat[2]. Globalisasi dan kemajuan teknologi telah membuka sebuah era baru dalam peperangan yang melibatkan multi aktor. Indonesia sebagai negara berdaulat menghadapi berbagai ancaman baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri, sadar atau tidak sadar ancaman dari dalam negeri terus meningkat seiring dengan munculnya aktor-aktor non-negara yang bertujuan untuk mempersempit ruang gerak pemerintahan, penyebaran terhadap ajaran-ajaran radikal, eksistensi kelompok, dan tujuan politik untuk mengganti ideologi negara dengan sebuah ideologi tertentu.
Munculnya aksi-aksi teror yang terjadi di Indonesia, menandakan hadirnya aktor non-negara yang menginginkan tujuan tertentu dan bertentangan dengan negara. Gerakan terorisme di Indonesia hampir seumur dengan berdirinya republik ini[3], kemudian menjadi sorotan dunia internasional setelah terjadinya Bom Bali I dan Bom Bali II. Selain gerakan terorisme, muncul pula berbagai kelompok separatisme seperti di Aceh oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Papua oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Berbagai media digunakan oleh kelompok-kelompok tersebut dengan memanfaatkan teknologi dan informasi untuk dijadikan isu-isu yang dapat menggoyang dominasi negara dan penyelenggaraan pemerintahan. Perlawanan ini dilakukan secara sistemik guna mendapatkan hati dan pikiran rakyat serta lambat laun dapat menghancurkan negara dari dalam. Disinilah terjadi Asimetris yang merujuk kepada kata ketidakseimbangan, dimana posisi aktor-aktor negara tersebut berada di pihak yang lemah berusaha melakukan perlawanan terhadap aktor negara, yaitu Indonesia sebagai pihak yang lebih kuat. Para aktor non-negara baik gerakan terorisme maupun separatisme berusaha memanfaatkan kelemahan dan kerawanan yang dimiliki bangsa Indonesia untuk dapat mewujudkan tujuan politiknya sehingga dapat memisahkan diri dari Negara Indonesia.
Disamping menghadapi ancaman-ancaman dari keberadaan aktor-aktor non-negara yang mempunyai keinginan untuk memisahkan diri, Indonesia sebagai bangsa berdaulat juga menghadapi ancaman dari aktor-aktor negara yang berada di kawasan Asia Pasifik, walaupun secara prediksi ke depan bangsa indonesia tidak akan mengalami agresi atau invasi militer secara besar-besaran dari suatu negara. Namun yang perlu diwaspadai adalah munculnya pengaruh-pengaruh negara-negara besar yang dapat mempengaruhi kebijakan dan tata kelola pemeritahan dari tingkat lokal hingga global sehingga tidak dapat melaksanakan fungsi pemerintahan dan negara secara baik. Konflik-konflik perbatasan, konflik wilayah mengenai Sumber Daya Alam (SDA) menjadi trend ancaman yang terjadi antar negara. Berbagai kepentingan muncul dengan wujud klaim-klaim wilayah yang cenderung memiliki SDA yang diyakini dapat menjadi investasi negara di masa depan. Contoh nyata adalah konflik Laut China Selatan yang menyangkut beberapa negara tetangga Indonesia seperti Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina menghadapi klaim wilayah yang dilakukan China. Indonesia yang secara tidak langsung ikut dalam konflik tersebut, tetapi antara Indonesia dan China masih terdapat tumpang tindih teritorial di sebagian wilayah perairan timur laut Kepulauan Natuna. Di Perairan tersebut terdapat tiga blok eksplorasi minyak dan gas bumi milik Indonesia[4] yang memang menjadi klaim China melalui nine dash lines policies-nya. Tumpang tindih teritorial ini harus menjadi tempat khusus bagi Indonesia dengan tetap menjaga kewaspadaan terhadap kedaulatan dan kepentingan nasional yang harus tetap dibela. Selain menghadapi permasalahan klaim territorial, Indonesia – China juga menghadapi suatu permasalahan asimteris dalam menghadapi perdagangan bebas sebagai dampak dari penerapan ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA), dimana terdapat keasimterisan dalam bidang ekonomi antara Indonesia dan China yang bila dibiarkan akan menjajah Indonesia secara ekonomi. Berhadapan dengan negara besar seperti China menempatkan Indonesia sebagai negara yang lebih lemah dari China sehingga perlu strategi-strategi tertentu sebagai bentuk peperangan asimetris.
Bersumber dari beberapa dimensi yang berbeda dimana Indonesia sebagai aktor negara berhadapan dengan aktor non-negara (separatisme dan terorisme), Indonesia memposisikan diri sebagai pihak yang lebih kuat seharusnya bisa mengoptimalkan strateginya dengan Positive Asymmetric. Di lain sisi berhadapan dengan negara besar seperti China, Indonesia harus mampu mengoptimalkan strategi dengan menerapkan Negative Asymmetric sebagai bentuk strategi dari Peperangan Asimetris. Inilah karakteristik perang Asimetris Indonesia dalam menghadapi ancaman dari aktor negara dan aktor non-negara dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Komponen Kekuatan Nasional Indonesia Untuk Menghadapi Perang Asimetris
Dalam tulisan ini komponen kekuatan nasional yang dibahas dalam menghadapi Perang Asimetris yang dilakukan oleh Indonesia adalah Diplomasi, Informasi, Militer, dan Ekonomi.
Diplomasi
Bertolak dari permasalahan ancaman asimetris terhadap Indonesia, sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut sebagai potensi ancaman bagi keselamatan dan kedaulatan NKRI. Ancaman asimetris tersebut dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor baik negara maupun non-negara sebagai titik-titik rawan yang dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Pemerintah RI perlu berkomitmen bersama untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI dari ancaman terorisme, separatisme atau disintegrasi yang dilakukan oleh sekelompok aktor-aktor non-negara. Salah satunya adalah dengan menguatkan peran diplomasi, karena diplomasi merupakan faktor terpenting dari segenap faktor yang menyebabkan suatu negara menjadi kuat. Kualitas diplomasi dalam melaksanakan hubungan luar negeri dalam suatu negara oleh para diplomatnya untuk kekuatan nasional dalam masa damai, sama artinya dengan siasat dan taktik militer oleh pemimpin militernya untuk kekuatan nasionalnya dalam masa perang[5]. Diplomasi Indonesia pada abad 21 dihadapkan pada berbagai perubahan dan pergeseran kekuatan dalam lingkungan strategis global dan regional sebagai dampak pada aspek hubungan antarnegara[6]. Dengan kualitas diplomasi yang bagus, pemerintah RI dapat mempunyai suatu pengaruh maksimum atas masalah-masalah dalam situasi internasional yang langsung menyangkut kepentingan negara.
Informasi
Informasi memegang peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan. Di era modern sekarang informasi sangat mudah untuk diakses melalui media, baik media cetak maupun elektronik. Kebebasan pers yang digaungkan oleh masyarakat menjadi batu loncatan bagi para penyaji informasi di Indonesia untuk menggerakan bisnisnya semenjak pasca reformasi. Namun kebebasan tersebut disamping mempunyai banyak manfaat positif juga menjadi suatu kerawanan tersendiri bagi Negara RI.
Kerawanan informasi harus mendapat sorotan yang besar dari pemerintah. Banyak contoh sudah terjadi akibat kebebasan informasi, karena informasi dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk melancarkan sebagaimana disebut sebagai perang informasi, seperti yang terjadi di negara-negara Arab. Peristiwa Arab Spring seperti yang terjadi di Mesir, Libia, dan Suriah, konflik yang terjadi di negara-negara tersebut berasal dari akses informasi melalui media sosial seperti facebook dan twitter yang berhasil dimanfaatkan oleh aktor-aktor non-negara yang berkedudukan sebagai oposisi pemerintah untuk menggalang perlawanan terhadap pemerintah yang syah. Akibat perang informasi yang sangat efektif dan dapat dengan cepat merebut hati maupun pikiran rakyat maka dengan waktu yang relative singkat timbul gejolak perlawanan yang besar terhadap pemerintahan.
Melihat peristiwa yang terjadi di negara-negara arab tersebut, sudah menjadi kewajiban pemerintah memperhatikan peran informasi yang disampaikan atau diberitakan oleh media sebagai sarana pembentukan opini publik dan menjadi strategi asimetrik bagi para aktor non-negara. Tak luput dari itu semua juga perlu memperhatikan peranan LSM-LSM yang berada di Indonesia yang memang keberadaannya terkadang menyudutkan pemerintahan RI khususnya keberadaan aparat TNI dan Polri seperti yang berada di Papua sehingga apabila dibiarkan akan dapat mengancam kedaulatan RI. Di era sekarang informasi sangat mudah menyebar dan diakses oleh semua lapisan masyarakat. Media massapun dijadikan sebagai sarana untuk melancarkan perang-perang informasi sebagai bentuk dari perang urat syaraf dalam rangka merebut hati dan pikiran rakyat dengan harapan rakyat dapat memberikan dukungan kepada aktor-aktor non-negara tersebut untuk memberikan perlawanan terhadap pemerintah RI.
Militer
Perkembangan dunia militer saat ini tidak terlepas dari dinamika globalisasi. Globalisasi menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam perikehidupan manusia yang pada gilirannya membuat pola-pola konflik kepentingan bergeser sehingga bila konflik-konflik tersebut tidak dapat dikelola dengan baik akan muncul beberapa ancaman terhadap keamanan nasional suatu negara[7]. Terkait dengan ancaman separatisme yang ada di Indonesia seperti halnya di Papua, dikarenakan kelompok separatis di Papua dalam memperjuangkan kemerdekaan telah menggunakan peperangan asimetris dengan melakukan cara menguatkan jalan diplomasi melalui ILWP (International Lawyer West Papua) dan IPWP (International Parlementary West Papua). Kedua organisasi ini berusaha meyakinkan dunia internasional untuk dapat mendukung perjuangan kemerdekaan di Papua. Perlu suatu pendekatan khusus dalam menggunakan kekuatan militer sebagai salah satu elemen kekuatan nasional, karena bila pemerintah RI terprovokasi untuk menggunakan kekuatan militer secara besar-besaran dalam mengatasi permasalahan berupa separatisme di Papua maka akan memberikan dampak negatif terhadap cara pandang dan opini internasional terhadap perjuangan kelompok separatis yang menginginkan kemerdekaan Papua.
Terkait dengan permasalahan dalam konflik Laut China Selatan, keberadaan militer menjadi sangat diperlukan karena memegang peranan sebagai pemberi efek penangkal (detterent effect) bagi negara-negara lainnya. Namun kondisi militer Indonesia khususnya TNI masih jauh dari standar, baik kesejahteraan anggotanya maupun alutsista yang dimilikinya. Dalam hal konflik Laut China Selatan kita perlu mengetahui kekuatan alutsista khususnya kekuatan laut masing-masing negara yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Komparasi Kekuatan Laut di Kawasan Laut China Selatan 2012

China
Indonesia
Thailand
Singapura
Malaysia
Philipina
Vietnam
Submarines
SSBN
3






Tactical (SSK)
68
2

5
2

2
Principal Surface Combatan (PSC)
Destroyer
13






Frigate
65
11
10
6
10
1
2
Patrol and Coastal combatant (PCC)
211
67
83
35
37
63
62
Mine Warfare
73






Mine Counter
Measure
88
11
19
4
4

13
Mine Layer
1






Log & Support
205
32
14
2
13
7
25
Landing Aircraft
151
54
56
34
115
26
30
Landing Ships
87
26
8


7
6
Amphibious vessel
1
5





Aircraft Carrier


1




Sumber : Military Balance 2012
Berdasarkan data tersebut Indonesia berada di posisi bawah setelah China, dan memiliki keseimbangan dengan negara-negara lainnya, namun perlu disadari bahwa keberadaan alutsista atau kekuatan laut Indonesia masih merupakan jumlah keseluruhan bukan kekuatan yang sudah terbagi berdasarkan lokasi-lokasi tertentu, sehingga hal tersebut menjadi penting bahwa kekuatan laut Indonesia belum cukup dalam menghadapi konflik di Laut China Selatan apabila memang terjadi suatu pertempuran. Kondisi asimetris kekuatan laut inilah supaya dijadikan menjadi bahan penting untuk tidak terlena dalam menghadapi ancaman-ancaman dari aktor negara khususnya dalam konflik Laut China Selatan.
Berdasarkan tabel 1 diatas kondisi alutsista TNI AL masih berada di bawah rata-rata dari jumlah ideal. Seperti halnya kapal selam TNI AL hanya memiliki 2 kapal selam dengan kategori tactical submarine memiliki jenis patrol submarine (SSK) masih di bawah rata-rata jumlah negara yang terlibat konflik yaitu 12 kapal selam. Jumlah kapal perang TNI AL gabungan PSC dan PCC (78 unit) masih dibawah jumlah rata-rata kapal perang negara-negara di kawasan Laut China Selatan (97 unit). Demikian juga dengan kapal pendukung TNI AL (amphibious, logistic, dan support) dengan jumlah 112 unit masih berada di bawah nilai rata-rata jumlah kekuatan kapal pendukung (128 unit) yang ada di kawasan Laut China Selatan. Merujuk data perbandingan diatas perlu dirumuskan jumlah kekuatan laut yang ideal sebagai bagian dari strategi penggunaan militer khususnya kekuatan TNI AL dalam menghadapi konflik di Laut China Selatan sebagai ancaman asimetris yang dapat mengganggu kedaulatan NKRI.
Ekonomi
Beragam kemajuan di bidang pembangunan ekonomi telah dialami Indonesia. Transformasi ekonomi Indonesia  telah membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan bermula berbasis ekonomi yang berasal dari kegiatan pertanian tradisional lambat laun bergeser menjadi negara dengan mengandalkan industri manukfatur dan jasa.
Indonesia juga memainkan peran yang makin besar di perekonomian global. Saat ini Indonesia menempati urutan ekonomi ke -17 terbesar di dunia[8]. Perekonomian Indonesia saat ini sedang diakui oleh dunia karena keberhasilannya dalam melewati krisis ekonomi global tahun 2008, dan perbaikan peringkat hutang. Tantangan Indonesia di bidang ekonomi ke depan sangatlah besar dan tidak mudah untuk ditangani. Salah satu tantangan ke depan adalah penerapan ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) dimana terdapat penerapan pembebasan bea masuk dan Meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan serta penghapusan tarif. Apakah Indonesia siap menghadapi tantangan dalam bidang ekonomi ini, dimana terdapat perimbangan ekonomi dengan China yang masih asimteris? Dan bagaimana strategi ekonomi Indonesia dalam menghadapi asimetris dalam bidang ekonomi ini dengan China?
Strategi Pembinaan dan Pengembangan Komponen Kekuatan Nasional di Indonesia
Strategi Diplomasi
Dalam penggunaan kekuatan diplomasi perlu melihat situasi dan kondisi kawasan baik regional maupun secara global khususnya di wilayah Asia Pasifik. Menghadapi ancaman berkaitan dengan Peperangan Asimetris, Indonesia harus menyikapinya dengan dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah dengan memperkuat penataan sistem politik dalam negeri yang dapat memberikan stabilitas politik dalam negeri yang dinamis sehingga menimbulkan efek penangkal yang tinggi. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan keluar yang diarahkan untuk mendinamisasikan strategi dan upaya diplomatik melalui peningkatan peran instrumen politik luar negeri dalam membangun kerja sama dan saling percaya dengan negara-negara lain sebagai kondisi untuk mencegah atau mengurangi potensi konflik antarnegara, yang dimulai dari tataran internal, regional, supraregional, hingga global[9].
Melihat indikasi keterlibatan internasional, perlu suatu kerjasama berupa public diplomacy[10] bilateral maupun multilateral diplomacy sebagai suatu strategi dalam soft power yang meliputi negara-negara kawasan Asia Pasifik terkait dengan dinamika geopolitik dan geostrategi yang diusung oleh masing-masing negara tersebut. Dengan meningkatkan kerjasama diplomatik secara interrelationship sesuai dengan kapasitas kepentingan nasional Indonesia dengan pula memantapkan wawasan nusantara dan ketahanan nasional, diharapkan memperoleh dampak yang positif dalam mempertahankan kedaulatan RI dari ancaman terorisme, separatisme di Papua maupun dalam menghadapi negara besar seperti China terkait permasalahan klaim territorial yang terdapat tumpang tindih.
Kegagalan-kegalan masa lalu Bangsa Indonesia dalam menghadapi tekanan dunia internasional menjadi pelajaran tersendiri untuk dijadikan pedoman dalam mengambil langkah di masa depan. Perlunya suatu hubungan baik antar negara baik di kawasan regional maupun global dapat ditingkatkan dengan melaksanakan kerjasama diplomatik secara aktif. Peran serta aktif lembaga-lembaga yang terlibat sebagai pengambil keputusan harus dilaksanakan secara interrelationship dalam mengambil langkah-langkah dalam optimalisasi penggunaan kekuatan diplomasi sebagai bagian dari upaya mempertahankan kedaulatan RI dari ancaman-ancaman asimetris yang datang dari baik dari aktor negara maupun non-negara.

Strategi Informasi
Perlu suatu strategi khusus guna mengeliminir penyebaran informasi atau untuk mengounter perang informasi yang dilancarkan oleh aktor-aktor non-negara dalam rangka menyudutkan pemerintah. Menghadapi peperangan informasi pemerintah melalui Kementerian Pertahanan dan Kementerian Komunikasi dan Informasi perlu mengadakan kerjasama secara interrelationship dan merumuskan kebijakan nasional untuk mewujudkan keunggulan informasi dalam rangka pertahanan negara. Kebijakan nasional ini berfungsi sebagai dasar hukum bagi pelaksanaan Operasi Informasi di seluruh jajaran pertahanan militer dan nirmiliter melalui beberapa lembaga pemerintahan seperti TNI, Polri, Pemda, BUMN maupun swasta untuk bersama-sama mencegah terjadinya penyebaran informasi yang dapat menyudutkan pemerintah khususnya dalam rangka mencari dukungan untuk memisahkan diri dari NKRI. Melaksanakan pemonitoran terhadap situs-situs di internet yang mengarah terhadap provokasi dan ancaman separatisme maupun yang berisikan penyebaran ajaran radikal yang dapat mengarah ke terorisme. Mengaktifkan komunikasi antara pemerintah dengan rakyat seperti diadakannya program TMMD, posyandu, pengobatan masal dan sebagainya yang bertujuan untuk meraih hati rakyat guna mengantisipasi penyebaran paham terorisme dan separatisme yang dapat mengancam kedaulatan negara RI.
Strategi Militer
Melihat kondisi yang ada maka penggunaan kekuatan militer sebagai pola security approach dalam menghadapi permasalahan di Papua berupa ancaman separatisme harus terus dikaji dengan menimbang berbagai faktor baik internal, regional maupun global. Mengedepankan kerjasama pertahanan di kawasan merupakan cara berdiplomasi terbaik dalam bidang militer guna meyakinkan dan menggalang opini dunia internasional untuk menekan ancaman separatisme di Papua.
Adapun penggunaan kekuatan militer difokuskan sebagai pendukung dalam mengatasi ancaman tekanan dari kelompok separatis bersenjata OPM dengan tetap mengedepankan smart power yaitu menerapkan operasi intelijen berupa penyelidikan maupun penggalangan sebagai langkah terbaik yang bersinergis dengan pemberdayaan wilayah, ekonomi lokal dan komponen pembangunan lainnya. Dalam melaksanakan strategi smart power ini, pemerintah perlu memberikan dukungan terhadap kebutuhan masyarakat di Papua, seperti yang dikemukakan oleh David Galula bahwa salah satu cara mengatasi pemberontakan adalah dengan mendukung kebutuhan penduduk[11]. Pemerintah harus jeli dalam menggunakan kekuatan militernya, yang terpenting disini adalah bagaimana to win the heart and mind of people, sehingga bilapun pemerintah menggunakan kekuatan militernya harus melalui strategi pemberdayaan kewilayahan sesuai dengan karakter daerah dan penduduk seperti halnya di Papua guna merangkul masyarakat untuk tetap mempertahankan kedaulatan RI dari ancaman separatisme.
Dalam menghadapi ancaman asimetris yang merupakan bagian dari konflik di kawasan Laut China Selatan, maka pemerintah perlu mengoptimalkan keberadaan kekuatan militer khususnya armada TNI AL dalam rangka perimbangan kekuatan guna menghadapi ancaman di kawasan Laut China Selatan tersebut, perlu beberapa kajian dari pemerintah seperti halnya rencana pemerintah menambah armada lautnya. Kekuatan angkatan laut secara prinsip berbasis pada kekuatan Alutsista bukan pada kekuatan personel seperti halnya angkatan darat[12]. Mengingat wilayah laut Indonesia sangat luas dan memiliki lokasi strategis yang dijadikan sebagai lalu lintas kapal-kapal internasional sehingga memiliki potensi terjadinya konflik yang sangat besar terutama di kawasan Laut China Selatan, dengan dasar tersebut dapat dijadikan sebuah pertimbangan untuk membangun TNI AL yang modern dan berwibawa.
Berdasarkan perbandingan di tabel 1 di atas, maka dalam merumuskan jumlah kekuatan TNI AL khususnya kapal perang dapat berdasarkan perimbangan kekuatan militer negara-negara di kawasan Laut China Selatan serta konsepsi gelar kekuatan TNI AL yang ideal. Mengingat pula bahwa Grand Strategy militeristik menekankan Postur TNI yang kuat secara internasional[13], maka nilai rata-rata kawasan Laut China Selatan dapat digunakan sebagai patokan jumlah kekuatan laut yang harus dimiliki oleh TNI AL. Merujuk perbandingan tabel diatas maka dapat di rumuskan bahwa kekuatan laut untuk menghadapi ancaman dan mengantisipasi terjadinya konflik di kawasan Laut China Selatan, maka idealnya kekuatan TNI AL harus mempunyai jumlah kekuatan laut diatas rata-rata negara-negara kawasan tersebut. Contohnya adalah TNI AL akan ideal bila memiliki 10 unit kapal selam kategori tactical dengan tipe minimal SSN (attack submarine nuclear powered) dan 4 unit kelas strategic dengan dilengkapi SLBM (submarine Launch Balistic Missile)[14]. Sedangkan untuk membangun Postur TNI Laut yang kuat dan berwibawa, maka perlu menambah jumlah kapal perang berkategori  PSC berjenis destroyer dan cruiser, Aircraft Carrier (CV), Aircraft Carrier Nuclear Powered (CVN), Helicopter Carrier (CVH)[15] dan untuk PCC TNI AL yang ideal berupa penambahan kapal corvette dengan kemampuan serang yang dilengkapi dengan SAM (Surface to Air Missile), Torpedo, maupun senjata dengan kaliber 57 mm.
Sejumlah penambahan kekuatan laut tersebut akan digunakan untuk mendukung operasional di perairan yuridiksi Indonesia dengan prioritas di kawasan sekitar Laut China Selatan, seperti selat malaka atau yang menjadi wilayah Armada Barat (Armabar) sekarang ini dengan penambahan kekuatan laut dari yang sudah ada diharapkan mampu menambah pengamanan dan dapat mencegah terjadinya konflik yang lebih besar atau setidaknya Indonesia tidak menjadi bangsa yang menjadi korban apabila terjadi konflik di kawasan tersebut. Selain penempatan alutsista TNI AL yang berorientasi pada letak strategis diharapkan mampu dimobilisasi atau bermanuver secara cepat bila terjadi gangguan yang menyangkut keamanan di territorial Indonesia.
Strategi Ekonomi
Strategi ekonomi dengan meningkatkan daya saing ekonomi disusun sebagai solusi untuk menghindari dan mengatasi dampak negatif dari perdagangan atau pasar bebas yang merupakan konsekuensi diberlakukannya ACFTA. Diharapkan strategi ini dapat menyeimbangan neraca perdagangan antara Indonesia – China yang masih terdapat keasimetrisan dalam kegiatan ekspor dan impor. Konsekuensi dari akan diimplementasikannya komunitas ekonomi ASEAN dan terdapatnya Asean – China Free Trade Area (ACFTA) mengharuskan Indonesia meningkatkan daya saingnya guna mendapatkan manfaat nyata dari adanya integrasi ekonomi tersebut[16].
Indonesia harus siap dalam menghadapi kebijakan penerapan ACFTA tersebut, yaitu dengan memposisikan terlebih dahulu sebagai basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan dan sumber daya mineral. Hal tersebut harus dilaksanakan karena Indonesia memang memiliki potensi demografi, kekayaan sumber daya alam, dan posisi geografis Indonesia, yang bilamana diolah dengan baik akan memberikan suatu posisi yang menguntungkan secara ekonomi bagi Indonesia.
Sebagai penyiapan strategi ekonomi dalam menghadapi penerapan perdagangan bebas khususnya dengan China membutuhkan perubahan dalam cara pandang dan perilaku seluruh komponen bangsa.  Strategi yang dapat dijadikan sebagai solusi dalam menghadapi keasimterisan ekonomi dengan China sebagai dampak dari penerapan ACFTA yang juga merupakan prinsip dasar keberhasilan pembangunan[17] adalah sebagai berikut; (1) Perubahan pola pikir (mindset) dimulai dari Pemerintah dengan birokrasinya; (2) Perubahan membutuhkan semangat kerja keras dan keinginan untuk membangun kerjasama dalam kompetisi yang sehat; (3) Produktivitas, inovasi, dan kreatifitas didorong oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menjadi salah satu pilar perubahan; (4) Peningkatan jiwa kewirausahaan menjadi faktor utama pendorong perubahan; (5) Dunia usaha berperan penting dalam pembangunan ekonomi; (6) Kampanye untuk melaksanakan pembangunan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan; dan (7) Kampanye untuk perubahan pola pikir untuk memperbaiki kesejahteraan dilakukan secara luas oleh
Penutup
Merujuk karakter perang asimetris abad 21, Indonesia menghadapi beberapa permasalahan yang melibatkan negara sebagai aktor utama menghadapi beberapa aktor baik negara lain maupun non-negara. Ancaman asimetris yang dihadapi oleh Indonesia menjadi permasalahan sekaligus tantangan yang harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah maupun juga pemangku kepentingan lainnya. Pada abad 21 ini ancaman asimetris yang dihadapi oleh bangsa Indonesia menempatkan posisi Indonesia yang saling berlawanan yaitu Indonesia dalam posisi asimetris positif dimana Indonesia menghadapi ancaman terorisme dan separatisme, di sisi lain Indonesia berada di posisi sebagai asimetris negatif manakala berhadapan dengan negara besar seperti China dalam permasalahan klaim China di kawasan Laut China Selatan dan permasalahan ekonomi sebagai dampak penerapan ACFTA.
Melihat karakter perang asimetris di Indonesia, maka pemerintah perlu mengerahkan komponen kekuatan nasionalnya dengan strategi-strategi seperti yang telah dibahas di atas, kemudian merujuk kepada model yang diusung oleh Arreguin Toff, Indonesia harus dapat menempatkan dirinya untuk menghadapi ancaman asimetris dari kedua sisi yang berbeda yaitu positif dan negatif asimetris.

Tabel 2. Arreguin Toff Model.
Ivan Arreguin Toff Model

Weak- Actor
Strategic approach

Direct
Indirect
Strong-actor
Strategic approach
Direct
Strong - actor
Weak - actor
Indirect
Weak - actor
Strong - actor

Berdasarkan model Arreguin Toff, seperti tabel yang di atas, bila Indonesia menempatkan posisinya sebagai aktor yang kuat, dalam berhadapan dengan aktor yang lemah disarankan untuk menggunakan dan menerapkan pendekatan strategis berupa indirect approach manakala aktor yang lemah seperti halnya dalam kasus terorisme dan separatisme menggunakan indirect approach juga sehingga berdasarkan model dalam tabel 2 maka Indonesia akan mengalami kemenangan. Pendekatan direct seperti penggunaan militer, digunakan manakala aktor lemah menggunakan pendekatan direct juga berupa aksi kekerasan menggunakan kekuatan bersenjata, yang intinya bahwa kemenangan tersebut dapat tercapai bila pemerintah dapat merebut hati dan pikiran masyarakat atau rakyat Indonesia itu sendiri.
Di sisi lain, pada saat Indonesia dalam posisi yang lemah, maka Indonesia harus menguatkan pendekatan indirect-nya dengan menguatkan pilar-pilar komponen kekuatan nasional Indonesia seperti halnya dalam diplomasi, informasi, militer maupun ekonomi dengan memanfaatkan kerjasama-kerjasama baik bilateral maupun multilateral sehingga mampu memberikan posisi tawar yang menguntungkan bagi Indonesia. Bilapun Indonesia akan menggunakan pendekatan secara langsung, maka Indonesia harus bertransformasi menjadi negara yang kuat dan memiliki komponen kekuatan nasional yang besar seperti kekuatan diplomasi, informasi, militer, dan ekonomi yang kuat.
Demikian strategi-strategi yang ditawarkan dalam menghadapi ancaman asimetris sesuai dengan karakter perang asimetris untuk Indonesia. Indonesia sangat perlu memperkokoh komponen kekuatan nasionalnya. Keasimetrisan yang terjadi dari kedua sisi yang berbeda harus mendapatkan perhatian serius bagi pemerintah, karena Indonesia harus siap menghadapi segala kemungkinan ancaman asimetris yang dapat mengganggu kedaulatan dan integritas bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka
Arreguin-Toft, Ivan. 2001.How the Weak Win Wars, dalam Jurnal International Security, Vol.26, No 1.

Bakrie, Connie R. 2007. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dephan RI, 2008. Buku Putih Pertahanan RI 2008. Jakarta: Dephan RI.

Kementrian Koord Bid Ekonomi. 2011. Masterplan P3EI. Jakarta : Kementrian Koord Bid Ekonomi.

Kiras, James D. 2007. “Irregular Warfare: Terrorism and Isurgency”, dalam John Baylishlm, Strategy in the Contemporary World: An Introduction to Strategic Studies, Second Edition, Oxford University Press.

Morgenthau, Hans J.. 1990. Politik Antar Bangsa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Muradi. 2012. Densus 88 AT Konflik, Teror, dan Politik. Bandung: Dian Cipta.

Octavian, Amarulla. 2012. Militer dan Globalisasi. Jakarta : UI Press.

Prabowo, J.S. 2010. Himpunan Catatan tentang Perang Gerilya Mao, Nasution, Che, Carlos, & Crabtree.

Routledge. 2012. The Mililtary Balance 2012. UK: Routledge.

Thornton, Rod. 2007. Asymmetric Warfare. UK: Polity Press.

Winarno, Budi. 2011. Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Caps.

Internet

Sihombing, Denny L. 2010. Kekuatan Diplomasi dan Politik Luar Negeri Indonesia. Diakses dari http://dennylorenta.wordpress.com/2010/05/05/kekuatan-diplomasi-dan-politik-luar-negeri%C2%A0indonesia/

Surat Kabar

Wisnu Dewabrata. 2012. “Indonesia, ASEAN, dan Laut China Selatan” dalam Kompas, Minggu 14 Oktober 2012


[1] Budi Winarno.2011. Isu-isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS, Hlm. 167.
[2] Rod Thornton.2007. Asymmetric Warfare.  Cambridge: Polity Press. Hlm. 1.
[3] Muradi. 2012. Densus 88 AT Konflik, Teror, dan Politik. Bandung: Dian Cipta, hlm. 23.
[4] Wisnu Dewabrata. 2012. “Indonesia, ASEAN, dan Laut China Selatan” dalam Kompas, Minggu 14 Oktober 2012. Hal 10.
[5] Hans J. Morgenthau. 1990. Politik Antar Bangsa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, Hlm 213.
[6] Denny L. Sihombing. 2010. Kekuatan Diplomasi dan Politik Luar Negeri Indonesia. Diakses dari http://dennylorenta.wordpress.com/2010/05/05/kekuatan-diplomasi-dan-politik-luar-negeri%C2%A0indonesia/
[7] Amarulla Octavian. 2012. Militer dan Globalisasi. Jakarta : UI Press, Hlm 19
[8] Kementrian Koord Bid Ekonomi. 2011. Masterplan P3EI. Jakarta : Kementrian Koord Bid Ekonomi. Hlm. 14.
[9] Dephan RI, 2008. Buku Putih Pertahanan RI 2008. Jakarta: Dephan RI, hlm. 85.
[10] Diplomasi publik didefinisikan sebagai upaya mencapai kepentingan nasional suatu negara melalui understanding, informing, and influencing foreign audiences. Jika proses diplomasi tradisional dikembangkan melalui mekanisme government to government relations, maka diplomasi publik lebih ditekankan pada government to people atau bahkan people to people relations. Diplomasi Publik bertujuan untuk mencari teman di kalangan masyarakat negara lain, yang dapat memberikan kontribusi bagi upaya membangun hubungan baik dengan negara lain.
[11] James D.Kiras, “Irregular Warfare: Terrorism and Isurgency”, dalam John Baylishlm, Strategy in the Contemporary World: An Introduction to Strategic Studies, Second Edition, Oxford University Press, 2007, hlm 177.
[12] Connie R. Bakrie. 2007. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm 178.
[13] Ibid. Hlm 190.
[14] Ibid. Hlm 182.
[15] Ibid. Hlm 187.
[16] Ibid. hlm 16.
[17] Ibid. hlm 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar