Dalam
dasawarsa belakangan ini, jihad menjadi topik yang banyak diperbincangkan oleh
beberapa kalangan masyarakat di dunia, termasuk seperti halnya akademisi dan
intelektual. Kemudian pasca peristiwa 9-11 yang ditandai dengan runtuhnya
gedung WTC di New York dan hancurnya sebagian pusat militer Amerika Serikat
(AS) di Pentagon, Jihad kembali diperbincangkan hampir di semua kalangan
masyarakat dunia. Terbongkarnya para pelaku 9-11 yang diidentifikasikan sebagai
kelompok Islam garis keras/radikal yang merupakan bagian dari organisasi Al
Qaeda, menjadikan citra Islam sebagai ajaran yang membawa kedamaian ternodai
dalam pandangan masyarakat dunia. Ketika
AS sedang gencar melakukan Global War on
Terrorism, Indonesia dikejutkan oleh peristiwa Bom Bali I pada tanggal 12
Oktober 2002. Peristiwa pengeboman tersebut diidentifikasi sebagai kelompok
Islam garis keras di Indonesia yang memiliki motif melakukan pembunuhan
terhadap orang asing khususnya AS, Israel dan sekutunya yang berada di
Indonesia sebagai perwujudan dari Jihad dan berdasarkan hasil penyelidikan
pihak berwajib para pelaku tersebut merupakan jaringan dari Jamah Islamiah (JI).
Selain merusak citra Islam, Tindakan teror tersebut membawa stigma negatif
terhadap pondok-pondok pesantren yang ada di Indonesia sebagai sarang teroris,
hal tersebut muncul karena para pelaku merupakan alumni pesantren yang
berhaluan radikal[2].
Dalam
tulisan singkat ini akan membahas dan mendiskusikan tentang hubungan Jihad dan
radikalisme dengan harapan dapat memahami kedua terminologi yang banyak di
bicarakan dalam dasawarsa sekarang ini sebagai bagian dari kasus-kasus
terorisme yang terjadi khususnya di Indonesia. Penulisan essay singkat ini
dibagi dalam dua substansi pokok yaitu; (1) definisi Jihad dari beberapa sudut
pandang, dan (2) bagaimana hubungan antara Jihad dan radikalisme.
Jihad
Maraknya
aksi terorisme dengan menggunakan kekerasan, seperti halnya dengan cara bunuh
diri (suicide bombing), menjadikan
Jihad sebagai alasan pembenaran yang didasari dengan landasan teologis. Namun
pemahaman Jihad yang digunakan oleh para pelaku terorisme tersebut tidak
menjamin sesuai dengan makna sesungguhnya yang terkandung dalam ajaran agama
Islam sebagai ajaran yang membawa kedamaian di bumi ini. Fakta yang terjadi di
Indonesia, adanya penyimpangan dalam memahami Jihad yang berawal dari
disalahartikan dan kemudian disalahgunakan oleh sekelompok orang yang memiliki
pemahaman keras tentang ajaran Islam sehingga melegalkan kekerasan dalam melakukan
aksinya. Penyimpangan arti Jihad tersebut juga membuat kaum orientalis
memandang Islam sebagai agama yang militan dengan pemeluknya dipandang sebagai
serdadu-serdadu fanatik yang menyebarkan agama serta hukum-hukumnya dengan
menggunakan kekuatan senjata[3].
Akademisi
dan tokoh islam menginterpretasikan Jihad kedalam beberapa pengertian, seperti
halnya Mary Habeck dalam bukunya Knowing
the Enemy mengungkapkan bahwa Jihad adalah internal struggle to please God as well as an external battle to open
countries to call of Islam. Pengertian Jihad tersebut menggambarkan bahwa
sebuah perjuangan diri sebagai pengorbanan terhadap Tuhan sebagaimana halnya
dengan perjuangan membela negara dalam Islam. Jihad merupakan peringkat
terakhir dalam perang yang semata-mata untuk menegakkan kebenaran (Ahmad
Fachrudin, 2000). Fachrudin juga menggambarkan bahwa ada sebagian orang
mengartikan di dalam berjihad terdapat beberapa taraf termasuk diantaranya
adalah jihad kelas tinggi seperti halnya berperang dan Jihad taraf rendah berupa
demonstrasi-demonstrasi. Kemudian ulama fiqih membagi Jihad menjadi tiga
bentuk, yaitu (1) berjihad memerangi musuh secara nyata, (2) berjihad melawan
setan dan, (3) berjihad melawan diri sendiri[4].
Tujuan dari jihad itu sendiri adalah terlaksananya syariat Islam dalam arti
yang sebenarnya serta tercitanya suasana yang damai dan tenteram. Tanpa
motivasi jihad seperti itu, Islam tidak membenarkan pemeluknya untuk menyerang
musuh-musuhnya[5].
Tingkat
kematangan dalam berpikir menjadi penting dalam memahami Jihad yang sebenarnya,
dihubungkan dengan situasi dan kondisi saat ini dalam bermasyarakat dan
bernegara. Sebagai sarana untuk mencapai keridaan Allah SWT, jihad tidak harus
dilakukan dengan berperang, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat seperti sekarang
ini. Kewajiban untuk berjihad juga tidak mutlak, karena ada dua macam kewajiban
yaitu wajib secara pribadi (wajib aini) dan wajib secara kolektif atau kelompok
(wajib kifayah). Jihad yang diartikan dengan peperangan dalam rangka menegakkan
Islam dari serangan musuh termasuk dalam hukum wajib kifayah[6].
Ibnu Qayyim menguraikan bila jihad dilihat dari sudut pelaksanaannya dibagi
menjadi tiga bentuk, yaitu jihad mutlaq
(Perang melawan musuh di medan pertempuran, jihad hujjah (dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan
mengemukakan argumentasi yang kuat) dan jihad ‘amm[7].
Dalam berjihad juga dapat dilakukan dengan cara berdakwah seperti yang
diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Para ahli dan pakar ajaran Islam menyebutkan
bahwa dalam Alquran memuat dua terminologi tentang jihad, yaitu (1) jihad fisabilillah, sebagai usaha
sungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah, termasuk di dalamnya pengorbanan
harta dan nyawa, dan (2) jihad fillah
suatu usaha sungguh-sungguh untuk memperdalam aspek spiritual sehingga terjalin
hubungan yang erat antara Allah dan hamba-Nya[8].
Namun
dalam perkembangannya, pengertian Jihad sering disalahartikan oleh para pelaku
terorisme, seperti halnya Jamaah Islamiah (JI) di Indonesia, dalam melakukan
aksi terornya kerap menggunakan bom bunuh diri sebagai implementasi dari
berjihad. Dalam pemikiran anggota JI, Jihad merupakan sebuah kewajiban untuk
berperang secara fisik melawan orang-orang kafir[9].
Kemudian dari pengertian tersebut timbul makna menjadi perang antara Islam
dengan Amerika Serikat dan Yahudi, seperti halnya pemahaman para pelaku Bom
Bali I, Imam Samudera dkk, mereka berpandangan bahwa orang-orang Yahudi dan
Kristenlah yang ingin menghancurkan Islam, saat ini dipresentasikan oleh Israel
dan AS. Dalam pandangannya dalam berjihad satu-satunya cara untuk
mengimplementasikan Islam adalah dengan cara menghancurkan AS, Israel dan
sekutu-sekutunya[10].
Jihad dan Radikalisme
Pada
umumnya, beberapa literatur dalam pergerakan Islam mencoba menjelaskan dua isu,
yaitu; mereka (gerakan Islam) yang mendukung kekerasan (radikalisasi) dan
mereka yang merubah sikap menuju demokrasi dan demokratisasi (moderat)[11].
Gerakan Islam Radikal di Indonesia tidak serta merta muncul begitu saja, namun melalui
proses radikalisasi yang terjadi secara sistematis dan terorganisir[12].
Proses radikalisasi tersebut ditandai dengan adanya perekrutan,
pengidentifikasian diri, indoktrinasi, dan jihad yang disesatkan (Petrus R.
Golose. 2009). Melalui proses radikalisasi inilah kemudian muncul gerakan Islam
radikal yang lambat laun berubah menjadi organisasi teroris.
Bagan 1. Radikalisasi
Sumber:
Petrus R. Golose. Deradikalisasi
Terorisme Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput, 2012.
Merujuk
pada bagan 1 di atas, kita bisa melihat bahwa proses radikalisasi melalui
beberapa tahapan. Proses tersebut merubah individu dari seseorang dengan
pemahaman non radikal menjadi individu dengan paham radikal yang dapat
dijadikan sebagai kader organisasi yang memiliki sifat radikal bahkan dapat
dijadikan kader suatu organisasi teroris. Proses tersebut diawali dengan
perekrutan, dalam tahapan ini terdapat proses pemilihan atau seleksi terhadap
individu untuk dijadikan kader dengan beberapa kriteria yang ditetapkan[13].
Kemudian dilanjutkan ke tahap pengidentifikasian diri, dalam tahap ini target dibuat
untuk kehilangan identitas diri, sehingga berada dalam kondisi tidak stabil. Tahap
indoktrinasi merupakan tahapan dimana target diberi pemahaman-pemahanan secara
intensif mengenai paham dan ideologi teroris sehingga target menjadi percaya
dan yakin sepenuhnya terhadap ajaran yang diterima. Tahap selanjutnya merupakan
tahap dimana target mempunyai kewajiban secara pribadi untuk berjihad dengan
tergabung menjadi kelompok radikal atau teroris. Proses transformasi juga tidak
hanya bersifat individu saja, namun juga ada yang bersifat kelompok atau
organisasi.
Organisasi
radikal dan teroris menunjukkan relasi yang cukup dekat, beberapa diantaranya
mengalami transformasi dari radikal menjadi teroris. Transformasi secara
institusional ini dapat digambarkan melalui contoh perubahan pada laskar
pimpinan Sigit Qordhawi, dimana organisasi yang dipimpinnya mengalami perubahan
dari yang sebelumnya memfokuskan diri pada gerakan-gerakan anti maksiat, anti
kristenisasi, pendukung penegakan syariat Islam menjadi kelompok radikal
setelah memperoleh pengetahuan tentang qital
fisabilillah alias perang dan jihad sebagai amal ibadah[14].
Menurut
kajian yang dikembangkan oleh Setara Institute, 2012, gerakan Islam di
Indonesia tidak hanya mengalami transformasi, tetapi juga melakukan
metamorphosis yang terpisah-pisah dengan beberapa macam bentuk gerakan. Babak
pertama, gerakan Islam kebangsaan yang bertransformasi ke gerakan politik
praktis dalam perhelatan demokrasi, seperti halnya Sarekat Islam di masa Kolonial
Belanda. Babak kedua merupakan transformasi dari gerakan politik praktis ke
gerakan dakwah, di masa ini muncul kelompok Islam substansialistik dan
legal-formalistik sebagai perwakilan dari organisasi-organisasi Islam di
Indonesia seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan Dewan
Dakwah Islam Indonesia. Di periode ini juga muncul arus radikalisme Islam di
luar kecenderungan dua kelompok yang ada, seperti munculnya eks Darul
Islam/Negara Islam Indonesia, kemudian muncul Komando Jihad, Woyla, Teror
Tarman dan gerakan Imran. Kemudian babak
ketiga adalah babak yang paling menegangkan dalam gerakan Islam di Indonesa, yaitu
ditandai dengan adanya transformasi dari Islam Radikal ke Islam Jihadis/teroris[15].
Islam
radikal terbagi menjadi dua makna, sebagai wacana dan aksi. Radikal dalam
wacana diartikan dengan adanya pemikiran untuk mendirikan negara Islam,
kekhalifahan Islam, tanpa menggunakan kekerasan terbuka, sedangkan dalam level
aksi, radikal diartikan melakukan perubahan dengan aksi-aksi kekerasan atas
nama agama[16]. Merujuk
pada makna tersebut, para kaum gerakan Islam radikal memilih jalan kekerasan
sebagai cara untuk mewujudkan tujuannya dalam mendirikan kekhalifahan Islam di
Indonesia dan menentang hukum serta pemerintahan Indonesia. Kemudian muncul
pemahaman posisi pemerintah Indonesia sebagai suatu bentuk thaghut. Bagi kaum Islam
radikal terutama faksi jihadis, pemerintah thaghut merupakan sasaran yang dapat
diperangi melalui teror atau irhaab
dengan menggentarkan siapa saja yang dianggap musuh.
Penganut
paham radikal juga memiliki cara pandang dimana syariah merupakan hal mutlak
yang harus ditegakkan dalam kehidupan publik melalui cara pemaksaan terhadap
orang atau kelompok. Jalan yang mereka tempuh mulai dengan memerangi
kemaksiatan menggunakan jalan kekerasan tanpa melihat hukum yang berlaku.
Kemudian mulai menginjak tahap yang lebih radikal dengan berbekal pemahaman
bahwa semua muslim wajib melakukan jihad di semua wilayah hingga kedaulatan
Islam kembali seperti sebelum Perang Salib[17].
Bahkan dalam benak kaum radikal, mereka memiliki pemikiran bahwa bagi seorang
muslim yang tidak melaksanakan jihad dipandang melakukan dosa besar dan dapat
dikecam sebagai penghalang jihad, kemudian dapat dijadikan sebagai sasaran
teror yang sah. Sayyid Quthb dalam tafsir fi
zhilalil Qur’an menyatakan bahwa salah satu tujuan dari I’dad Jihad adalah
menakut-nakuti musuh-musuh dan musuh Allah sehingga mereka gentar[18].
Merujuk dari pengertian tafsir dari Sayyid Quthb tersebut, para kaum Islam
radikal menggunakannya sebagai landasan argument untuk melakukan aksi kekerasan
seperti halnya aksi teror. Mereka juga memandang bahwa jihad merupakan suatu
bentuk kewajiban, dimana bila tidak melaksanakannya akan memperoleh dosa melebihi besarnya dosa bila tidak
melakukan rukun Islam seperti salat, puasa, zakat dan haji (kecuali sahadat),
kemudian muncul di benak pikiran mereka bahwa jihad merupakan bentukan dari
rukun Islam keenam. Pemikiran radikal tersebut juga telah merambah ke anak-anak
muda, yang tidak ragu-ragu untuk melakukan tindakan kekerasan melalui bom bunuh
diri (istimata) yang diyakini mereka
sebagai salah satu bentuk jihad memerangi musuh-musuh Islam. Mereka juga
meyakini bahwa ada ganjaran besar dalam berjihad yaitu mendapatkan perlakuan
sebagai syahid dengan surga menjadi jaminan yang akan didapatkan setelah
kewajiban berjihad dilakukan. Bagi kaum Islam radikal juga meyakini akan
mendapatkan pengampunan atas dosa-dosa yang dilakukan selama hidupnya setelah
kewajiban jihadnya melalui bom bunuh diri dilaksanakan.
Pemahaman-pemahanan
semacam itulah yang sangat bertentangan dengan dasar-dasar yang diajarkan oleh
agama Islam. Prinsip-prinsip tersebut diyakini telah terbawa dan menjadi harga
mati bagi para pengikut radikal dengan tidak memandang umat-umat manusia selain
umat yang sejalan dengan ideologinya. Khususnya bagi Islam moderat menilai
bahwa pengorbanan diri melalui bom bunuh diri yang telah dianggap sebagai jalan
jihad merupakan tindakan yang menyimpang dari ajaran kedamaian antar umat
seperti yang diajarkan oleh Islam. Penyimpangan ideologi dan pemahaman agama
telah merugikan umat manusia di dunia ini.
Kesimpulan
Jihad
yang dimengerti dan dilakukan oleh gerakan Islam radikal adalah jihad yang
telah disalahartikan dan salah dimengerti, karena merusak perdamaian yang
merupakan tujuan hidup dalam beragama. Radikalisme tumbuh dengan menghalalkan
cara kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan dan segala urusan duniawinya. Perkembangan
pemikiran tentang jihad menjadi lebih terbuka dengan menyentuh beberapa aspek
kemanusiaan. Beberapa ulama dan akademisi Islam mulai menyerukan bagaimana
Jihad yang sesungguhnya dalam era sekarang ini, yaitu suatu era kedamaian yang
merupakan kebutuhan dasar bagi semua umat manusia di dunia ini. Jihad masa kini
bukanlah bagaimana kita mati di jalan Allah, melainkan bagaimana kita hidup di
jalan Allah (Jamal Albana, 2005). Jihad tidak juga merupakan tindakan yang
salah, karena jihad adalah ajaran kebenaran dan harus dilakukan dengan cara
yang benar. Jihad dalam era sekarang ini harus dapat beradaptasi dengan perdamaian
yang diyakini sebagai ajaran Islam yang sesungguhnya. Jihad melalui dakwah atau
perang sama-sama bertujuan menegakkan hukum berdasar firman Tuhan[19].
Jalan dakwah diyakini sebagai salah satu perwujudan yang tepat dalam era
sekarang ini, karena sejalan dengan prinsip yang dikedepankan oleh Islam
sebagaimana halnya prinsip musyawarah, diplomasi, dan negoisasi sebagai proses
penyelesaian permasalahan untuk saling mendapatkan keuntungan.
Pemahaman
makna jihad tidak boleh dilakukan secara parsial, namun harus sejalan dengan
pemikiran logis dihadapkan situasi yang ada sekarang, memandang kesamaan untuk
mendapatkan kedamaian dalam hidup bermasyarakat. Kesadaran hidup bersama dalam
keberagaman etnis menjadi pertimbangan utama guna menyelesaikan segala
perbedaan kepentingan. Tindakan kekerasan bukanlah cara yang benar dan bukan
merupakan bagian dari perjuangan membela agama. Oleh karena itu, Jihad harus
dibebaskan dari pemahaman termologis yang sempit.
Sinergitas
antara pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, lembaga swadaya, media massa,
keluarga dan masyarakat pada umumnya dalam mencegah paham-paham radikal ini sangat
diperlukan dan efektif untuk diaplikasikan guna meminimalisir berkembangnya
paham radikal. Pemahaman ajaran Islam secara benar yang penuh kedamaian tanpa
kekerasan harus dipahami secara benar sejak dini melalui pengawasan dari para
pemangku kepentingan tersebut dan masyarakat, dari sinilah dibangun kesadaran
pentingnya hidup bersama dalam suatu nilai kebangsaan dengan keberagaman etnis
dan keagamaan untuk mewujudkan bangsa yang damai dan tenteram yang merupakan
kebenaran ajaran Islam yang hakiki. (Sigit)
Daftar
Pustaka
Ashour, Omar. 2009. The De-Radicalizaton of Jihadist. New
York. Routledge.
Dahlan, Abdul Azis
(editor). 1996. Ensiklopedia Islam. (Ichtiar baru Van Hoeve).
Dahlan, Fahruroji.
2008. Jihad Antara Fenomena Dakwah dan Kekerasan: Mereformulasi Jihad Sebagai
Sarana Dakwah dalam Jurnal Jurnal El
Hikmah. Volume I/No. I/Desember 2008/ Djulhizah 1429 H.
Fachruddin, Achmad.
2000. Jihad Sang Demonstran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Golose, Petrus R.
2009. Deradikalisasi Terorisme Humanis,
Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: YPKIK.
Hasani, Ismail dan
Bonar T.N. (Editor). 2012. Dari
Radikalisme Menuju Terorisme. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara.
Sarwono, Sarlito W.
2012. Terorisme di Indonesia Dalam
Tinjauan Psikologi. Jakarta: Alvabet.
Sihab, Alwi. 1998. Islam Insklusif; Menuju Sikap Terbuka Dalam
Beragama. Jakarta: Mizan.
[1] Adalah mahasiswa
Universitas Pertahanan Prodi Asymmetric
Warfare.
[2] Homaidi Hamid.
2012. Jihad dan Terorisme. artikel
diakses dari
http://www.lazuardibirru.org/jurnalbirru/karyailmiah/jihad-dan-terorisme/
[3] Fahruroji
Dahlan. 2008. Jihad Antara Fenomena Dakwah dan Kekerasan: Mereformulasi Jihad
Sebagai Sarana Dakwah dalam Jurnal Jurnal
El Hikmah. Volume I/No. I/Desember 2008/ Djulhizah 1429 H. Hal 71
[4] Achmad
Fachruddin. 2000. Jihad Sang Demonstran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 30.
[5] Abdul Azis
Dahlan (editor). 1996. Ensiklopedia
Islam. (Ichtiar baru Van Hoeve). Hal.
316.
[6] Op.cit. Hal 31.
[7] Ibid. Hal 32.
[8] Alwi Sihab.
1998. Islam Insklusif; Menuju Sikap
Terbuka Dalam Beragama. Jakarta: Mizan. Hal. 282.
[9] Petrus R.
Golose. 2009. Deradikalisasi Terorisme
Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: YPKIK. Hal. 37.
[10] Sarlito W.
Sarwono. 2012. Terorisme di Indonesia
Dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta: Alvabet. Hal 10.
[11] Omar Ashour.
2009. The De-Radicalizaton of Jihadist.
New York. Routledge. Hal. 3.
[12] Petrus R.
Golose. 2009. Opcit. Hal 40.
[13] Lihat Petrus
R. Golose. 2009. Opcit. Hal 42,
kriteria individu target radikalisasi berdasarkan umur, agama, tingkat
pendidikan, perekonomian, status sosial, dan kehidupan sehari-hari dalam
bermasyarakat.
[14] Ismail Hasani
dan Bonar T.N. (Editor). 2012. Dari
Radikalisme Menuju Terorisme. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara. Hal 188.
[15] Ibid. Hal 9-12.
[16] Ibid. hal. 11.
[17] Bilveer Singh
dan A. M. Mulkahan. 2012. Teror dan
Demokrasi Dalam I’dad (Persiapan) Jihad (Perang). Kotagede: Metro Epistima.
Hal. 122.
[18] Ibid. Hal. 123.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar