Minggu, 23 Juni 2013

HUBUNGAN JIHAD DAN RADIKALISME

Dalam dasawarsa belakangan ini, jihad menjadi topik yang banyak diperbincangkan oleh beberapa kalangan masyarakat di dunia, termasuk seperti halnya akademisi dan intelektual. Kemudian pasca peristiwa 9-11 yang ditandai dengan runtuhnya gedung WTC di New York dan hancurnya sebagian pusat militer Amerika Serikat (AS) di Pentagon, Jihad kembali diperbincangkan hampir di semua kalangan masyarakat dunia. Terbongkarnya para pelaku 9-11 yang diidentifikasikan sebagai kelompok Islam garis keras/radikal yang merupakan bagian dari organisasi Al Qaeda, menjadikan citra Islam sebagai ajaran yang membawa kedamaian ternodai dalam pandangan masyarakat dunia.  Ketika AS sedang gencar melakukan Global War on Terrorism, Indonesia dikejutkan oleh peristiwa Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002. Peristiwa pengeboman tersebut diidentifikasi sebagai kelompok Islam garis keras di Indonesia yang memiliki motif melakukan pembunuhan terhadap orang asing khususnya AS, Israel dan sekutunya yang berada di Indonesia sebagai perwujudan dari Jihad dan berdasarkan hasil penyelidikan pihak berwajib para pelaku tersebut merupakan jaringan dari Jamah Islamiah (JI). Selain merusak citra Islam, Tindakan teror tersebut membawa stigma negatif terhadap pondok-pondok pesantren yang ada di Indonesia sebagai sarang teroris, hal tersebut muncul karena para pelaku merupakan alumni pesantren yang berhaluan radikal[2].
Dalam tulisan singkat ini akan membahas dan mendiskusikan tentang hubungan Jihad dan radikalisme dengan harapan dapat memahami kedua terminologi yang banyak di bicarakan dalam dasawarsa sekarang ini sebagai bagian dari kasus-kasus terorisme yang terjadi khususnya di Indonesia. Penulisan essay singkat ini dibagi dalam dua substansi pokok yaitu; (1) definisi Jihad dari beberapa sudut pandang, dan (2) bagaimana hubungan antara Jihad dan radikalisme.

Jihad
Maraknya aksi terorisme dengan menggunakan kekerasan, seperti halnya dengan cara bunuh diri (suicide bombing), menjadikan Jihad sebagai alasan pembenaran yang didasari dengan landasan teologis. Namun pemahaman Jihad yang digunakan oleh para pelaku terorisme tersebut tidak menjamin sesuai dengan makna sesungguhnya yang terkandung dalam ajaran agama Islam sebagai ajaran yang membawa kedamaian di bumi ini. Fakta yang terjadi di Indonesia, adanya penyimpangan dalam memahami Jihad yang berawal dari disalahartikan dan kemudian disalahgunakan oleh sekelompok orang yang memiliki pemahaman keras tentang ajaran Islam sehingga melegalkan kekerasan dalam melakukan aksinya. Penyimpangan arti Jihad tersebut juga membuat kaum orientalis memandang Islam sebagai agama yang militan dengan pemeluknya dipandang sebagai serdadu-serdadu fanatik yang menyebarkan agama serta hukum-hukumnya dengan menggunakan kekuatan senjata[3].
Akademisi dan tokoh islam menginterpretasikan Jihad kedalam beberapa pengertian, seperti halnya Mary Habeck dalam bukunya Knowing the Enemy mengungkapkan bahwa Jihad adalah internal struggle to please God as well as an external battle to open countries to call of Islam. Pengertian Jihad tersebut menggambarkan bahwa sebuah perjuangan diri sebagai pengorbanan terhadap Tuhan sebagaimana halnya dengan perjuangan membela negara dalam Islam. Jihad merupakan peringkat terakhir dalam perang yang semata-mata untuk menegakkan kebenaran (Ahmad Fachrudin, 2000). Fachrudin juga menggambarkan bahwa ada sebagian orang mengartikan di dalam berjihad terdapat beberapa taraf termasuk diantaranya adalah jihad kelas tinggi seperti halnya berperang dan Jihad taraf rendah berupa demonstrasi-demonstrasi. Kemudian ulama fiqih membagi Jihad menjadi tiga bentuk, yaitu (1) berjihad memerangi musuh secara nyata, (2) berjihad melawan setan dan, (3) berjihad melawan diri sendiri[4]. Tujuan dari jihad itu sendiri adalah terlaksananya syariat Islam dalam arti yang sebenarnya serta tercitanya suasana yang damai dan tenteram. Tanpa motivasi jihad seperti itu, Islam tidak membenarkan pemeluknya untuk menyerang musuh-musuhnya[5].
Tingkat kematangan dalam berpikir menjadi penting dalam memahami Jihad yang sebenarnya, dihubungkan dengan situasi dan kondisi saat ini dalam bermasyarakat dan bernegara. Sebagai sarana untuk mencapai keridaan Allah SWT, jihad tidak harus dilakukan dengan berperang, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat seperti sekarang ini. Kewajiban untuk berjihad juga tidak mutlak, karena ada dua macam kewajiban yaitu wajib secara pribadi (wajib aini) dan wajib secara kolektif atau kelompok (wajib kifayah). Jihad yang diartikan dengan peperangan dalam rangka menegakkan Islam dari serangan musuh termasuk dalam hukum wajib kifayah[6]. Ibnu Qayyim menguraikan bila jihad dilihat dari sudut pelaksanaannya dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu jihad mutlaq (Perang melawan musuh di medan pertempuran, jihad hujjah (dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan mengemukakan argumentasi yang kuat) dan jihad ‘amm[7]. Dalam berjihad juga dapat dilakukan dengan cara berdakwah seperti yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Para ahli dan pakar ajaran Islam menyebutkan bahwa dalam Alquran memuat dua terminologi tentang jihad, yaitu (1) jihad fisabilillah, sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah, termasuk di dalamnya pengorbanan harta dan nyawa, dan (2) jihad fillah suatu usaha sungguh-sungguh untuk memperdalam aspek spiritual sehingga terjalin hubungan yang erat antara Allah dan hamba-Nya[8].
Namun dalam perkembangannya, pengertian Jihad sering disalahartikan oleh para pelaku terorisme, seperti halnya Jamaah Islamiah (JI) di Indonesia, dalam melakukan aksi terornya kerap menggunakan bom bunuh diri sebagai implementasi dari berjihad. Dalam pemikiran anggota JI, Jihad merupakan sebuah kewajiban untuk berperang secara fisik melawan orang-orang kafir[9]. Kemudian dari pengertian tersebut timbul makna menjadi perang antara Islam dengan Amerika Serikat dan Yahudi, seperti halnya pemahaman para pelaku Bom Bali I, Imam Samudera dkk, mereka berpandangan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristenlah yang ingin menghancurkan Islam, saat ini dipresentasikan oleh Israel dan AS. Dalam pandangannya dalam berjihad satu-satunya cara untuk mengimplementasikan Islam adalah dengan cara menghancurkan AS, Israel dan sekutu-sekutunya[10].
Jihad dan Radikalisme
Pada umumnya, beberapa literatur dalam pergerakan Islam mencoba menjelaskan dua isu, yaitu; mereka (gerakan Islam) yang mendukung kekerasan (radikalisasi) dan mereka yang merubah sikap menuju demokrasi dan demokratisasi (moderat)[11]. Gerakan Islam Radikal di Indonesia tidak serta merta muncul begitu saja, namun melalui proses radikalisasi yang terjadi secara sistematis dan terorganisir[12]. Proses radikalisasi tersebut ditandai dengan adanya perekrutan, pengidentifikasian diri, indoktrinasi, dan jihad yang disesatkan (Petrus R. Golose. 2009). Melalui proses radikalisasi inilah kemudian muncul gerakan Islam radikal yang lambat laun berubah menjadi organisasi teroris.


Bagan 1. Radikalisasi


 







Sumber: Petrus R. Golose. Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput, 2012.
Merujuk pada bagan 1 di atas, kita bisa melihat bahwa proses radikalisasi melalui beberapa tahapan. Proses tersebut merubah individu dari seseorang dengan pemahaman non radikal menjadi individu dengan paham radikal yang dapat dijadikan sebagai kader organisasi yang memiliki sifat radikal bahkan dapat dijadikan kader suatu organisasi teroris. Proses tersebut diawali dengan perekrutan, dalam tahapan ini terdapat proses pemilihan atau seleksi terhadap individu untuk dijadikan kader dengan beberapa kriteria yang ditetapkan[13]. Kemudian dilanjutkan ke tahap pengidentifikasian diri, dalam tahap ini target dibuat untuk kehilangan identitas diri, sehingga berada dalam kondisi tidak stabil. Tahap indoktrinasi merupakan tahapan dimana target diberi pemahaman-pemahanan secara intensif mengenai paham dan ideologi teroris sehingga target menjadi percaya dan yakin sepenuhnya terhadap ajaran yang diterima. Tahap selanjutnya merupakan tahap dimana target mempunyai kewajiban secara pribadi untuk berjihad dengan tergabung menjadi kelompok radikal atau teroris. Proses transformasi juga tidak hanya bersifat individu saja, namun juga ada yang bersifat kelompok atau organisasi.
Organisasi radikal dan teroris menunjukkan relasi yang cukup dekat, beberapa diantaranya mengalami transformasi dari radikal menjadi teroris. Transformasi secara institusional ini dapat digambarkan melalui contoh perubahan pada laskar pimpinan Sigit Qordhawi, dimana organisasi yang dipimpinnya mengalami perubahan dari yang sebelumnya memfokuskan diri pada gerakan-gerakan anti maksiat, anti kristenisasi, pendukung penegakan syariat Islam menjadi kelompok radikal setelah memperoleh pengetahuan tentang qital fisabilillah alias perang dan jihad sebagai amal ibadah[14].
Menurut kajian yang dikembangkan oleh Setara Institute, 2012, gerakan Islam di Indonesia tidak hanya mengalami transformasi, tetapi juga melakukan metamorphosis yang terpisah-pisah dengan beberapa macam bentuk gerakan. Babak pertama, gerakan Islam kebangsaan yang bertransformasi ke gerakan politik praktis dalam perhelatan demokrasi, seperti halnya Sarekat Islam di masa Kolonial Belanda. Babak kedua merupakan transformasi dari gerakan politik praktis ke gerakan dakwah, di masa ini muncul kelompok Islam substansialistik dan legal-formalistik sebagai perwakilan dari organisasi-organisasi Islam di Indonesia seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan Dewan Dakwah Islam Indonesia. Di periode ini juga muncul arus radikalisme Islam di luar kecenderungan dua kelompok yang ada, seperti munculnya eks Darul Islam/Negara Islam Indonesia, kemudian muncul Komando Jihad, Woyla, Teror Tarman dan gerakan Imran.  Kemudian babak ketiga adalah babak yang paling menegangkan dalam gerakan Islam di Indonesa, yaitu ditandai dengan adanya transformasi dari Islam Radikal ke Islam Jihadis/teroris[15].
Islam radikal terbagi menjadi dua makna, sebagai wacana dan aksi. Radikal dalam wacana diartikan dengan adanya pemikiran untuk mendirikan negara Islam, kekhalifahan Islam, tanpa menggunakan kekerasan terbuka, sedangkan dalam level aksi, radikal diartikan melakukan perubahan dengan aksi-aksi kekerasan atas nama agama[16]. Merujuk pada makna tersebut, para kaum gerakan Islam radikal memilih jalan kekerasan sebagai cara untuk mewujudkan tujuannya dalam mendirikan kekhalifahan Islam di Indonesia dan menentang hukum serta pemerintahan Indonesia. Kemudian muncul pemahaman posisi pemerintah Indonesia sebagai suatu bentuk thaghut. Bagi kaum Islam radikal terutama faksi jihadis, pemerintah thaghut merupakan sasaran yang dapat diperangi melalui teror atau irhaab dengan menggentarkan siapa saja yang dianggap musuh.
Penganut paham radikal juga memiliki cara pandang dimana syariah merupakan hal mutlak yang harus ditegakkan dalam kehidupan publik melalui cara pemaksaan terhadap orang atau kelompok. Jalan yang mereka tempuh mulai dengan memerangi kemaksiatan menggunakan jalan kekerasan tanpa melihat hukum yang berlaku. Kemudian mulai menginjak tahap yang lebih radikal dengan berbekal pemahaman bahwa semua muslim wajib melakukan jihad di semua wilayah hingga kedaulatan Islam kembali seperti sebelum Perang Salib[17]. Bahkan dalam benak kaum radikal, mereka memiliki pemikiran bahwa bagi seorang muslim yang tidak melaksanakan jihad dipandang melakukan dosa besar dan dapat dikecam sebagai penghalang jihad, kemudian dapat dijadikan sebagai sasaran teror yang sah. Sayyid Quthb dalam tafsir fi zhilalil Qur’an menyatakan bahwa salah satu tujuan dari I’dad Jihad adalah menakut-nakuti musuh-musuh dan musuh Allah sehingga mereka gentar[18]. Merujuk dari pengertian tafsir dari Sayyid Quthb tersebut, para kaum Islam radikal menggunakannya sebagai landasan argument untuk melakukan aksi kekerasan seperti halnya aksi teror. Mereka juga memandang bahwa jihad merupakan suatu bentuk kewajiban, dimana bila tidak melaksanakannya akan memperoleh  dosa melebihi besarnya dosa bila tidak melakukan rukun Islam seperti salat, puasa, zakat dan haji (kecuali sahadat), kemudian muncul di benak pikiran mereka bahwa jihad merupakan bentukan dari rukun Islam keenam. Pemikiran radikal tersebut juga telah merambah ke anak-anak muda, yang tidak ragu-ragu untuk melakukan tindakan kekerasan melalui bom bunuh diri (istimata) yang diyakini mereka sebagai salah satu bentuk jihad memerangi musuh-musuh Islam. Mereka juga meyakini bahwa ada ganjaran besar dalam berjihad yaitu mendapatkan perlakuan sebagai syahid dengan surga menjadi jaminan yang akan didapatkan setelah kewajiban berjihad dilakukan. Bagi kaum Islam radikal juga meyakini akan mendapatkan pengampunan atas dosa-dosa yang dilakukan selama hidupnya setelah kewajiban jihadnya melalui bom bunuh diri dilaksanakan.
Pemahaman-pemahanan semacam itulah yang sangat bertentangan dengan dasar-dasar yang diajarkan oleh agama Islam. Prinsip-prinsip tersebut diyakini telah terbawa dan menjadi harga mati bagi para pengikut radikal dengan tidak memandang umat-umat manusia selain umat yang sejalan dengan ideologinya. Khususnya bagi Islam moderat menilai bahwa pengorbanan diri melalui bom bunuh diri yang telah dianggap sebagai jalan jihad merupakan tindakan yang menyimpang dari ajaran kedamaian antar umat seperti yang diajarkan oleh Islam. Penyimpangan ideologi dan pemahaman agama telah merugikan umat manusia di dunia ini.
Kesimpulan
Jihad yang dimengerti dan dilakukan oleh gerakan Islam radikal adalah jihad yang telah disalahartikan dan salah dimengerti, karena merusak perdamaian yang merupakan tujuan hidup dalam beragama. Radikalisme tumbuh dengan menghalalkan cara kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan dan segala urusan duniawinya. Perkembangan pemikiran tentang jihad menjadi lebih terbuka dengan menyentuh beberapa aspek kemanusiaan. Beberapa ulama dan akademisi Islam mulai menyerukan bagaimana Jihad yang sesungguhnya dalam era sekarang ini, yaitu suatu era kedamaian yang merupakan kebutuhan dasar bagi semua umat manusia di dunia ini. Jihad masa kini bukanlah bagaimana kita mati di jalan Allah, melainkan bagaimana kita hidup di jalan Allah (Jamal Albana, 2005). Jihad tidak juga merupakan tindakan yang salah, karena jihad adalah ajaran kebenaran dan harus dilakukan dengan cara yang benar. Jihad dalam era sekarang ini harus dapat beradaptasi dengan perdamaian yang diyakini sebagai ajaran Islam yang sesungguhnya. Jihad melalui dakwah atau perang sama-sama bertujuan menegakkan hukum berdasar firman Tuhan[19]. Jalan dakwah diyakini sebagai salah satu perwujudan yang tepat dalam era sekarang ini, karena sejalan dengan prinsip yang dikedepankan oleh Islam sebagaimana halnya prinsip musyawarah, diplomasi, dan negoisasi sebagai proses penyelesaian permasalahan untuk saling mendapatkan keuntungan.
Pemahaman makna jihad tidak boleh dilakukan secara parsial, namun harus sejalan dengan pemikiran logis dihadapkan situasi yang ada sekarang, memandang kesamaan untuk mendapatkan kedamaian dalam hidup bermasyarakat. Kesadaran hidup bersama dalam keberagaman etnis menjadi pertimbangan utama guna menyelesaikan segala perbedaan kepentingan. Tindakan kekerasan bukanlah cara yang benar dan bukan merupakan bagian dari perjuangan membela agama. Oleh karena itu, Jihad harus dibebaskan dari pemahaman termologis yang sempit.
Sinergitas antara pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, lembaga swadaya, media massa, keluarga dan masyarakat pada umumnya dalam mencegah paham-paham radikal ini sangat diperlukan dan efektif untuk diaplikasikan guna meminimalisir berkembangnya paham radikal. Pemahaman ajaran Islam secara benar yang penuh kedamaian tanpa kekerasan harus dipahami secara benar sejak dini melalui pengawasan dari para pemangku kepentingan tersebut dan masyarakat, dari sinilah dibangun kesadaran pentingnya hidup bersama dalam suatu nilai kebangsaan dengan keberagaman etnis dan keagamaan untuk mewujudkan bangsa yang damai dan tenteram yang merupakan kebenaran ajaran Islam yang hakiki. (Sigit)



Daftar Pustaka

Ashour, Omar. 2009. The De-Radicalizaton of Jihadist. New York. Routledge.



Dahlan, Abdul Azis (editor). 1996. Ensiklopedia Islam.  (Ichtiar baru Van Hoeve).



Dahlan, Fahruroji. 2008. Jihad Antara Fenomena Dakwah dan Kekerasan: Mereformulasi Jihad Sebagai Sarana Dakwah dalam Jurnal Jurnal El Hikmah. Volume I/No. I/Desember 2008/ Djulhizah 1429 H.



Fachruddin, Achmad. 2000. Jihad Sang Demonstran.  Jakarta: Raja Grafindo Persada.



Golose, Petrus R. 2009. Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: YPKIK.



Hasani, Ismail dan Bonar T.N. (Editor). 2012. Dari Radikalisme Menuju Terorisme. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara.



Sarwono, Sarlito W. 2012. Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta: Alvabet.



Sihab, Alwi. 1998. Islam Insklusif; Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Jakarta: Mizan.


Singh, Bilveer dan A. M. Mulkahan. 2012. Teror dan Demokrasi Dalam I’dad (Persiapan) Jihad (Perang). Kotagede: Metro Epistima.




[1] Adalah mahasiswa Universitas Pertahanan Prodi Asymmetric Warfare.

[2] Homaidi Hamid. 2012. Jihad dan Terorisme. artikel diakses dari http://www.lazuardibirru.org/jurnalbirru/karyailmiah/jihad-dan-terorisme/  

[3] Fahruroji Dahlan. 2008. Jihad Antara Fenomena Dakwah dan Kekerasan: Mereformulasi Jihad Sebagai Sarana Dakwah dalam Jurnal Jurnal El Hikmah. Volume I/No. I/Desember 2008/ Djulhizah 1429 H. Hal 71

[4] Achmad Fachruddin. 2000. Jihad Sang Demonstran.  Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 30.

[5] Abdul Azis Dahlan (editor). 1996. Ensiklopedia Islam.  (Ichtiar baru Van Hoeve). Hal. 316.

[6] Op.cit. Hal 31.

[7] Ibid. Hal 32.

[8] Alwi Sihab. 1998. Islam Insklusif; Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Jakarta: Mizan. Hal. 282.

[9] Petrus R. Golose. 2009. Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: YPKIK. Hal. 37.

[10] Sarlito W. Sarwono. 2012. Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta: Alvabet. Hal 10.

[11] Omar Ashour. 2009. The De-Radicalizaton of Jihadist. New York. Routledge. Hal. 3.

[12] Petrus R. Golose. 2009. Opcit. Hal 40.

[13] Lihat Petrus R. Golose. 2009. Opcit. Hal 42, kriteria individu target radikalisasi berdasarkan umur, agama, tingkat pendidikan, perekonomian, status sosial, dan kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat.

[14] Ismail Hasani dan Bonar T.N. (Editor). 2012. Dari Radikalisme Menuju Terorisme. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara. Hal 188.

[15] Ibid. Hal 9-12.

[16] Ibid. hal. 11.

[17] Bilveer Singh dan A. M. Mulkahan. 2012. Teror dan Demokrasi Dalam I’dad (Persiapan) Jihad (Perang). Kotagede: Metro Epistima. Hal. 122.

[18] Ibid. Hal. 123.


[19] Ibid. Hal. 234.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar