Rabu, 03 Juli 2013

Radikalisme dan Terorisme


RADIKALISME ISLAM DI INDONESIA
(STUDI KASUS BOM DI GEREJA BETHEL INJIL SEPENUH SOLO)

Sigit Sasongko[1]

1.         Pendahuluan
            Munculnya fenomena tindakan kekerasan di Indonesia seperti halnya aksi terorisme telah mengajak berbagai kalangan masyarakat, akademisi, analis terorisme, aparat keamanan dan pemangku kepentingan untuk mendiskusikan fenomena tersebut sebagai sebuah kajian untuk mendalami dan mengetahui faktor-faktor penyebab yang melatarbelakangi sebuah peristiwa terorisme tersebut. Pasca kasus bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Solo, Jawa Tengah pada 25 September 2011, banyak pihak yang mencoba mengaitkan aksi terorisme tersebut dengan paham radikal, lebih khususnya dengan kelompok-kelompok yang diberi label radikal. Peristiwa tersebut juga memunculkan pernyataan bahwa akar dari terorisme adalah radikalisme. Namun, pada kenyataannya pernyataan dan pemberian label tersebut masih menjadi problematis dan perdebatan oleh beberapa kalangan, karena memberikan stigma negatif terhadap agama Islam yang pada dasarnya mengajarkan kedamaian dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
            Fenomena pengeboman di Gereja Bethel Injil Sepenuh tersebut menjadi menarik bagi penulis untuk menganalisis keterlibatan radikalisme Islam ketika banyak kalangan menstigmatisasi kelompok radikal tersebut sebagai pelaku teror. Dalam tulisan singkat ini, penulis berusaha mengupas fenomena radikalisme di Indonesia dengan mendiskusikan faktor apa saja yang melatarbelakangi timbulnya sikap dan tingkah laku yang radikal pada aksi pengeboman di Gereja Bethel Injil Sepenuh, yang secara umum disebabkan oleh adanya perasaan perampasan relative (Gurr, 1970), pendudukan  negara Islam dan dukungan kepada rezim yang represif oleh negara-negara Barat (Pape, 2006), isu-isu identitas (Choudhury, 2007, Roy, 2004), integrasi politik dan sosial ekonomi yang buruk (Buijs, Demant & Hamdy, 2006), perasaan terhina (Stern 1999, 2003, Juergensmeyer, 2000, Richardson, 2006) serta faktor-faktor psikologis lainnya (Victoroff, 2005), hal tersebut sekaligus menjelaskan keterkaitan dengan akar-akar radikalisme Islam di Indonesia.
2.         Radikalisasi dan Tahapannya
            Islam radikal terbagi menjadi dua makna, sebagai wacana dan aksi. Radikal dalam wacana diartikan dengan adanya pemikiran untuk mendirikan negara Islam, kekhalifahan Islam, tanpa menggunakan kekerasan terbuka, sedangkan dalam level aksi, radikal diartikan melakukan perubahan dengan aksi-aksi kekerasan atas nama agama[2]. Merujuk pada makna tersebut, para kaum gerakan Islam radikal memilih jalan kekerasan sebagai cara untuk mewujudkan tujuannya dalam mendirikan kekhalifahan Islam di Indonesia dan menentang hukum serta pemerintahan Indonesia. Kemudian muncul pemahaman posisi pemerintah Indonesia sebagai suatu bentuk taghut. Bagi kaum Islam radikal terutama faksi jihadis, pemerintah taghut merupakan sasaran yang dapat diperangi melalui teror atau irhaab dengan menggentarkan siapa saja yang dianggap musuh.
            Pada umumnya, beberapa literatur dalam pergerakan Islam mencoba menjelaskan dua isu, yaitu; mereka (gerakan Islam) yang mendukung kekerasan (radikalisasi) dan mereka yang merubah sikap menuju demokrasi dan demokratisasi (moderat)[3]. Gerakan Islam Radikal di Indonesia tidak serta merta muncul begitu saja, namun melalui proses radikalisasi yang terjadi secara sistematis dan terorganisir[4]. Proses radikalisasi tersebut ditandai dengan adanya perekrutan, pengidentifikasian diri, indoktrinasi, dan jihad yang disesatkan (Petrus R. Golose. 2009). Melalui proses radikalisasi inilah kemudian muncul gerakan Islam radikal yang lambat laun berubah menjadi organisasi teroris.


Gambar 1. Radikalisasi
Sumber: Petrus R. Golose. Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput, 2012.
            Merujuk pada gambar 1 di atas, kita bisa melihat bahwa proses radikalisasi melalui beberapa tahapan. Proses tersebut merubah individu dari seseorang dengan pemahaman non radikal menjadi individu dengan paham radikal yang dapat dijadikan sebagai kader organisasi yang memiliki sifat radikal bahkan dapat dijadikan kader suatu organisasi teroris. Proses tersebut diawali dengan perekrutan, dalam tahapan ini terdapat proses pemilihan atau seleksi terhadap individu untuk dijadikan kader dengan beberapa kriteria yang ditetapkan[5]. Kemudian dilanjutkan ke tahap pengidentifikasian diri, dalam tahap ini target dibuat untuk kehilangan identitas diri, sehingga berada dalam kondisi tidak stabil. Tahap indoktrinasi merupakan tahapan dimana target diberi pemahaman-pemahanan secara intensif mengenai paham dan ideologi teroris sehingga target menjadi percaya dan yakin sepenuhnya terhadap ajaran yang diterima. Tahap selanjutnya merupakan tahap dimana target mempunyai kewajiban secara pribadi untuk berjihad dengan tergabung menjadi kelompok radikal atau teroris. Proses transformasi juga tidak hanya bersifat individu saja, namun juga ada yang bersifat kelompok atau organisasi.
            Organisasi radikal dan teroris menunjukkan relasi yang cukup dekat, beberapa diantaranya mengalami transformasi dari radikal menjadi teroris. Transformasi secara institusional ini dapat digambarkan melalui contoh perubahan pada laskar pimpinan Sigit Qordhawi, dimana organisasi yang dipimpinnya mengalami perubahan dari yang sebelumnya memfokuskan diri pada gerakan-gerakan anti maksiat, anti kristenisasi, pendukung penegakan syariat Islam menjadi kelompok radikal setelah memperoleh pengetahuan tentang qital fisabilillah alias perang dan jihad sebagai amal ibadah[6]. Kondisi ini juga dialami oleh Ahmat Yosefa Hayat, pelaku pengeboman GBIS Solo melalui pemikiran radikal inilah yang membawa dirinya melakukan bum bunuh diri yang diyakini sebagai jalan untuk berjihad guna mendapatkan kematian yang syahid.
3.         Pembahasan
3.1       Peristiwa Pengeboman Di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Solo
            Kota Solo terguncang dengan adanya peristiwa bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Solo pada hari Minggu tanggal 25 September 2011. Setelah melalui pengujian DNA oleh pihak Kepolisian diketahui pelaku bernama Ahmad Yosepa alias Hayat. Peristiwa tersebut menambah panjang daftar serangan teror terhadap rumah ibadah. Serangan teror terhadap rumah ibadah ini dimulai dengan pengeboman Candi Borobudur (21 Januari 1985), lalu rangkaian Bom Malam Natal (24 Desember 2000), Bom Masjid Al- Dzikra, Cirebon (21 April 2011), dan terakhir bom di GBIS, Solo (25 September 2011)[7] Serangkaian teror tersebut memberikan dampak teror secara meluas kepada masyarakat, menyebabkan penderitaan fisik dan efek psikologis yang berkepanjangan bagi korban-korban pengeboman tersebut.
            Lima bulan sebelum pengeboman di Solo tersebut terjadi pengeboman di Cirebon yang dilakukan oleh Muhammad Syarif dengan sasaran jamaah Jumat Masjid Adz Dzikro yang berada di kompleks Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011. Serangkaian bom dengan menggunakan aksi bunuh diri tersebut menambah fenomena tentang gejala radikalisme fundamental yang berkembang secara menguat di kalangan masyarakat. Dari kedua peristiwa pengeboman di Cirebon dan Solo tersebut diketahui bahwa pelaku merupakan satu kelompok yang berasal dari Cirebon (Kompas, 28 September 2011: 1), Keduanya berasal dari kelompok yang sama dengan nama Tauhid Wal Jihad[8], di bawah pimpinan Yadi atau Abu Fatih yang pernah bergabung dengan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Dalam pengeboman di Mesjid Adz Dzikro Cirebon, Ahmad Yosepa juga memiliki peranan sebagai perancang dan hal tersebut menguatkan fakta bahwa kedua peristiwa pengeboman tersebut saling berhubungan dalam satu mata rantai.
            Banyak argumentasi tentang penyebab dan latar belakang terjadinya peristiwa Bom GBIS Solo tersebut. Namun bila dilihat dari kelompok asal pelakunya dapat diambil mata rantai bahwa kelompok mereka memiliki sumber asal yang sama yaitu dari JAT, dan JAT sendiri merupakan transformasi dari Jamaah Islamiah (JI) sehingga banyak kalangan menganalisis bahwa para pelaku memiliki ideologi yang tidak jauh berbeda dengan JI. Ideologi tersebut memiliki empat unsur yang menonjol dan dijadikan landasan bagi perjuangan mereka, yaitu tentang negara Islam (Daulah Islamiyah), perjuangan amar ma’ruf nahi mungkar, musuh-musuh Islam dan jihad fisabilillah sebagai satu-satunya cara untuk melaksanakan perjuangan Islam[9]. Lebih lanjut ideologi inilah yang dijadikan sebagai pangkal dari ajaran radikal dalam Islam yang menimbulkan aksi-aksi kekerasan, hal ini disebabkan oleh cara pikir monolitik, wawasan sempit, dan pencucian otak[10].
            Berbagai argumentasi juga muncul mengenai rekrutmen-rekrutmen yang dilakukan oleh kelompok teroris dengan mengajarkan pandangan ideologis dan teologis yang radikal sehingga bersedia menjadi “pengantin” untuk melakukan aksi bom bunuh diri. Namun, apa yang melatarbelakangi timbulnya sikap dan tingkah laku radikal sehingga menimbulkan aksi pengeboman di GBIS Solo, untuk itu penulis berusaha untuk menganalisisnya secara deskriptif untuk menjawab pertanyaan dari penulisan ini.
3.2       Analisis Timbulnya Sikap dan Tingkah Laku Radikal
            Radikalisme tidak dapat dipisahkan dengan tindakan kekerasan seperti halnya terorisme. Paham radikal banyak diyakini oleh banyak negara termasuk Indonesia merupakan akar permasalahan munculnya terorisme. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyad Mbai yang menyatakan bahwa radikalisme adalah akar dari terorisme[11], dimana aksi terorisme akan tetap ada apabila pergerakan radikalisme tidak dibendung. Oleh karena itu dalam mengambil langkah-langkah pencegahan terorisme harus diikuti dengan pemberantasan radikalisme dan mengetahui apa penyebab timbulnya radikalisme itu sendiri.           
            Munculnya aksi-aksi kekerasan berupa terorisme menjadi topik yang banyak di perbincangkan di masyarakat. Kemudian melihat peristiwa bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Solo, Jawa Tengah pada 25 September 2011, banyak argumentasi tentang penyebab dan latar belakang terjadinya kasus tersebut. Namun banyak kalangan menganalisis bahwa kejadian tersebut berpangkal kepada ajaran radikal dalam Islam yang menimbulkan aksi-aksi kekerasan. Pemikiran radikal tersebut diaplikasikan dengan tindakan yang menurut pemahaman kelompok-kelompok radikal sebagai jalan Jihad dengan cara Istimata[12] agar mendapatkan kematian secara shahid. Sebuah pengabdian yang tidak terelakkan dan merupakan jalan pintas menuju surga[13].
            Belum ada kesepakatan tunggal mengenai apa yang menjadi faktor-faktor penyebab timbulnya sikap dan tingkah laku radikal. Hal ini diketahui dengan ditemukannya bermacam-macam pendapat dari para akademisi tentang penyebab dari munculnya radikalisme. Namun secara umum untuk menjawab pertanyaan yang diangkat dari penulisan ini, maka ada beberapa faktor dan kondisi penyebab timbulnya sikap dan tingkah laku yang radikal dalam kasus pengeboman GBIS di Solo, menurut Veldhuis dan Staun (2009) berpendapat bahwa akar penyebab dari radikalisme dibedakan menjadi dua causal factors yaitu pada level makro dan level mikro. Level makro adalah kondisi luas yang merupakan sebuah prasyarat terbentuknya radikalisme seperti halnya kondisi actual mengenai politik, ekonomi dan budaya. Sedangkan pada level mikro adalah kondisi yang merupakan faktor langsung yang menyebabkan terjadinya radikalisme pada diri seseorang atau kelompok. Dalam level mikro ini dibagi menjadi dua yaitu; faktor sosial dan faktor individual. Model Veldhuis dan Staun (2009) yang dapat dilihat dari gambar 2.
Gambar 2. Faktor Penyebab dari Radikalisasi

Sumber: Veldhuis & Staun. 2009. Islamist Radicalisation: A Root Cause Model.

            Dengan merujuk pada model Veldhuis dan Staun (2009) tersebut, penulis berusaha mengaitkan faktor-faktor penyebab terjadinya pemikiran radikal sehingga terjadi aksi kekerasan dengan melakukan bom bunuh diri di GBIS Solo.
3.2       Penyebab Dalam Level Makro
            Dalam level makro, penulis berusaha untuk menjelaskan bagaimana faktor dalam level makro ini mempengaruhi individu-individu dan bagaimana kontribusinya terhadap radikalisasi yang kemudian termanifestasi melalui tindakan-tindakan kekerasan seperti halnya pengeboman dengan cara bunuh diri. Dalam level makro ini, penulis membahas faktor penyebab terjadinya radikal antara lain (1) pendudukan negara-negara Islam dan (2) integrasi politik dan sosial ekonomi yang buruk.
3.2.1   Pendudukan Negara-Negara Islam (Hubungannya dengan Kondisi Internasional)
            Robert A. Pape (2006) dalam Dying to Win, the Strategic Logic of Suicide Terrorism menuliskan bahwa terorisme dengan cara bunuh diri merupakan bentuk terorisme yang sangat agresif. Hal tersebut merupakan implementasi dari sebuah radikalisme yang disebabkan oleh adanya ketidaksetujuan dan penolakan terhadap pendudukan negara Islam dan dukungan kepada rezim yang represif oleh negara-negara barat. Konflik-konflik yang terjadi di negara-negara di Timur Tengah juga memberikan kontribusi terhadap munculnya radikalisme. Penolakan ini memunculkan adanya jalan jihad dengan cara bunuh diri, Pape menambahkan bahwa organisasi-organisasi yang ada baik di Timur Tengah maupun di Barat, menerapkan pengambilan keputusan strategis dengan melakukan pengeboman bunuh diri guna memaksa demokrasi barat untuk menarik mundur pasukan tempurnya dari wilayah Islam. Sentimen-sentimen anti Barat ini memunculkan gerakan-gerakan radikal yang tidak dapat dipisahkan dengan tindakan kekerasan.
            Perlakuan terhadap negara-negara Islam, khususnya di daerah Timur Tengah dijadikan sebagai pandangan dari sebuah bentuk dan symbol dajjal dimana pemerintah dan pejabat di negeri ini tidak melakukan langkah-langkah untuk ikut menyelesaikan penderitaan umat Islam akibat dari pendudukan negara-negara Islam oleh pihak Barat, seperti halnya yang terjadi di jalur Gaza Palestina. Kejadian-kejadian tersebut merupakan representasi dari sebuah penjajahan bagi kaum umat Islam, diamana diyakini oleh kaum radikal sebagai alasan dan dasar untuk membangkitkan masa kejayaan Islam di masa lampau (baca: kekhalifahan Turki Islam).
            Pendudukan dan penjajahan tersebut diyakini juga sebagai upaya penindasan, tekanan, dan kesewenang-wenangan kebudayanan serta agama yang bila dipadukan akan menumbuhkan sikap radikal dan fundamentalisme yang kuat. Sikap diam pemerintah dalam menyelesaikan penindasan yang terjadi akibat dari pendudukan barat di wilayah Afganistan, dan beberapa kawasan Timur-Tengah semakin menyuburkan pemahaman bagi kelompok radikal mengenai pemehaman perang Sabil. Sebuah perang yang dianggap suci untuk melawan penjajahan.
            Keyakinan akan kebenaran Perang Sabil ini dapat dimunculkan ketika kondisi umat Muslim berada dalam keterpojokkan. Perang Sabil bagi kelompok Muslim Radikal terus disemai sebagai doktrin yang terus subur di tengah-tengah dinamika kehidupan modern. Berbagai cara terus dilakukan melalui kegiatan diskusi, pertemuan kelompok, pengajian dan sebagainya. Doktrin Perang Sabil diyakini sebagai doktrin untuk mencari kematian secara syahid (istisyhad). Doktrin tersebut melahirkan pemikiran-pemikiran untuk memunculkan strategi-strategi guna memerangi ajaran-ajaran thogut dan kafir, salah satunya adalah dengan melaksanakan bom bunuh diri.
            Bagi kaum radikal memahami bahwa zaman sekarang ini merupakan Perang Sabil terbuka tahap ke-10 yang bersifat global[14]. Hal tersebut diyakini sebagai dasar pemikiran oleh kaum radikal untuk dapat melakukan aksi syahidnya guna memerangi ajaran-ajaran barat yang dianggap sebagai kaum kafir dimanapun lokasinya, termasuk dalam hal ini menguatkan bahwa kasus bom GBIS Solo dilator belakangi oleh keyakinan kelompok radikal dalam mencari kesyahidan melalui bom bunuh diri. Kasus bom GBIS Solo juga membenarkan teori dari Robert A. Pape tentang pendudukan negara-negara Islam oleh bangsa barat melahirkan kelompok-kelompok radikal yang memerangi ajaran-ajaran barat yang dianggap sebagai ajaran setan dan kafir, kemudian memunculkan untuk melakukan perang Sabil dengan cara bom bunuh diri sebagai aktualisasi berjihad.
            Pandangan ini diperkuat dengan suatu tesis Clash of Civilization yang ditunjukkan oleh Samual Huntington (1997) yang memiliki cara pandang bahwa terorisme sebagai implikasi dari benturan dua peradaban utama di dunia: Islam vis-à-vis Barat[15]. Tesis ini memandang bahwa Barat ini dapat direpresentasikan sebagai sistem pemerintahan Indonesia sekarang ini, yang berdasarkan tesis Huntington tersebut sistem ini bertentangan dengan cara pandang kaum radikal yang memungkinkan dapat memunculkan tindakan-tindakan kekerasan dalam wujud terorisme.
3.2.2   Integrasi Politik dan Sosisal Ekonomi yang Buruk
            Pada dekade-dekade sebelumnya, negara-negara di Eropa kedatangan imigran-imigran dari berbagai daerah, salah satunya adalah dari negara muslim seperti halnya Maroko, Aljazair, dan sebagainya. Imigran-imigran ini mulai menetap di negara-negara Eropa, contohnya di Belanda. Perbedaan latar belakang budaya dan kepercayaan inilah yang menurut Buijs, Demant, dan Hamdy (2006) menjadi salah faktor adanya hambatan dalam beintegrasi. Beberapa penelitian mengatakan bahwa profile ekonomi sosial imigran-imigran muslim tersebut memiliki perbedaan yang perlu dipertimbangkan. Hal tersebut dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan yang berdampak pada tingginya tingkat pengangguran karena ketika dihadapkan dengan pekerjaan mereka mengalami kesulitan. Kondisi tersebut juga terjadi dalam integrasi politik, karena secara umum kalangan muslim memiliki kekurangan dalam perwakilan di berbagai institusi publik, sehingga kebutuhan untuk kalangan muslim tidak menjadi prioritas dalam pengambilan kebijakan dan kewenangan publik.
            Dari kondisi diatas Buijs, Demant, dan Hamdy (2006) berpendapat bahwa salah satu munculnya radikalisme dikarenakan kurangnya atau buruknya integrasi politik dan sosial ekonomi di kalangan muslim. Kurangnya pengakuan terhadap kelompok Islam radikal terwujud dari kebijakan dan kewenangan publik yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintah atau publik yang dinilai kurang memperhatikan kepentingan kaum muslim khususnya yang memiliki pandangan dan paham radikal tersebut. Bagi kelompok radikal, setiap anggotanya memiliki kecenderungan untuk susah bersosialisasi dan berintegrasi dengan masyarakat lain di luar kelompoknya. Dengan kondisi seperti ini mereka lebih suka hidup dengan kelompoknya sehingga memunculkan adanya sistem aliran atau ajaran agama yang cenderung tertutup (ortodok) dan memiliki sifat keradikalan yang tinggi terhadap ajarannya.
            Pemahaman radikal tersebut menyebabkan pengakuan terhadap keberadaan kelompok lain di luar agamanya menjadi kafir yang patut di perangi. Tidak luput pula dengan pandangannya terhadap sistem pemerintahan sekarang ini yang dianggap sebagai thagut dikarenakan langsung atau tidak langsung menyebabkan orang Islam menderita atau tertindas oleh sistem yang berlaku.
            Penindasan terhadap kelompok baik secara politik maupun secara ekonomi. Artinya bahwa dengan alasan tersebut muncul pemikiran radikal dari kelompok-kelompok yang merasa tertindas dikarenakan salah satunya adalah keterbatasan untuk menyampaikan aspirasinya. Kemudian secara ekonomi dikarena adanya ketimpangan yang sangat besar antara kelompok kaya dan miskin dikarenakan munculnya praktek-praktek pemerintah melalui korupsi, ketidak adilan, menjauhi ajaran Islam dan lebih condong ke arah sistem kapitalis milik dunia Barat[16]. Permasalahan tersebut juga yang membuat perbedaan dalam cara pandang terhadap pemerintah yang hanya memikirkan kenikmatan dunia saja dan mulai meninggalkan aqidah-aqidah akhirat yang kemudian pemikiran tersebut. Pemikiran radikal seperti inilah yang nantinya memulai memunculkan adanya tindakan-tindakan kekerasan seperti halnya terorisme dengan menggunakan jihad dan keinginan mati syahid sebagai argumentasi utamanya.
            Kurangnya integrasi di bidang politik dan sosial ekonomi menjadikan kelompok radikal untuk berpikir pendek dengan melakukan aksi teror seperti halnya aksi bom di GBIS Solo. Keinginan untuk menyebar luaskan ajaran Islam dalam sistem kehidupan sehari-hari menurut kelompok radikal kurang mendapat tanggapan dari masyarakat, karena kebijakan pemerintah yang ada belumlah cukup untuk merepresentasikan keinginan kelompok radikal tersebut.  Dalam iklim berdemokrasi sekarang ini, ketidakadanya perwakilan kelompok radikal di lembaga-lembaga pemerintah juga dapat dijadikan sebagai argumentasi bahwa pemerintah kurang memperhatikan kepentingan dari kelompok radikal tersebut, sehingga kondisi ini menjadikan kelompok radikal mengikuti jalannya sendiri ketika berusaha mencapai tujuan kelompoknya.
3.3       Penyebab Dalam Level Mikro
            Dalam level mikro ini, faktor-faktor penyebab terjadinya radikalisme ditentukan oleh faktor sosial dan individu. Hal tersebut sangat erat hubungannya ketika seseorang dapat berubah tingkah lakunya, pemikirannya, prespektifnya ketika ada proses pergaulan di tengah masyarakat atau sosial, dan inilah yang dapat dikatakan bahwa faktor sosial berpengaruh kepada perubahan yang ada di diri seseorang. Sebaliknya juga dapat terjadi perubahan pada diri seseorang yang disebabkan oleh faktor internal dari pribadi seseorang tersebut, berikut akan dibahas kedua faktor; sosial dan individu seperti isu-isu identitas, relative deprivation, perasaan terhina, dan faktor-faktor psikologi lainnya yang termasuk dalam penyebab radikalisme dalam level mikro.
3.3.1   Isu-Isu Identitas
            Menurut Choudbury (2007) dan Roy (2004) salah satu penyebab munculnya radikalisme adalah isu-isu identitas. Pendekatan-pendekatan seperti teori self-categorisation dan Teori identias sosial mengatakan bahwa seseorang akan mudah mendefinisikan dirinya dalam hubungan kelompok dibanding dengan hubungan pribadi. Mengacu pada Teori Identitas Sosial, seseorang akan dapat mencapai self-esteem dengan mengidentifikasi dalam sebuah kelompok. Sebagai contoh orang-orang akan mengenali dirinya dengan berdasarkan jenis kelamin, kelompok, pekerjaan, agama atau dengan klub sepakbola yang mereka dukung[17]. Veldhuis dan Staun (2009) berpendapat bahwa generasi muda Islam khususnya di dunia barat diyakini sedang berjuang melawan krisis identitas, seperti halnya mereka merasa ditolak oleh kelompok-kelompok dimana mereka ingin bergabung dengan kelompok tersebut, atau karena mereka tidak yakin ingin bergabung dengan kelompok yang manapun. Mereka berpikir untuk menghadapi krisis identitas sebagai akar atau sumber dari timbulnya konflik dengan kelompok dan latar belakang budayanya, manakala secara simultan merasakan ditolak oleh kelompok atau masyarakat lainnnya (Choudbury 2007).
            Bagaimana permasalahan identitas dijadikan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya radikalisme?. Seperti yang diuraikan di atas, menurut Petrus Golose (2009), radikalisasi terbentuk melalui empat tahap; (1) tahap perekrutan; (2) tahap identifikasi diri; (3) indoktrinasi; dan (4) jihad yang disesatkan. Melalui tahap kedua inilah muncul permasalahan-permasalahan identitas dimana seseorang yang dijadikan sebagai target radikalisasi mengalami krisis identitas dimana merasa dalam kondisi yang tidak stabil dan kehilangan identitas diri. Dalam keadaan dan kondisi tersebutlah nilai-nilai radikal disertai ideologi kelompoknya dimasukan sehingga seseorang menerima secara terbuka dikarenakan tidak ada dasar yang dijadikan sebagai sandaran dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi.
            Kondisi dengan tekanan dari kelompoknya juga dapat mempengaruhi dalam konteks pembuatan keputusan, hal tersebut dipengaruhi rasa bersalah setelah mengetahui bahwa dunia dan lingkungan yang ada sekarang ini merupakan perwujudan dan implementasi dari ajaran thogut. Irving L. Janis mengatakan bahwa pikiran kelompok adalah cara berpikir seseorang pada saat mencari kesepakatan dengan anggota kelompok yang lain. Dengan kondisi seperti ini maka pemahaman dan pemikiran realistic akan terabaikan oleh pemikiran kelompok yang dominan. Dengan demikian pemikiran diri sendiri yang merupakan bagian dari jati diri dan identitas diri tidak mempunyai peranan dalam kelompok tersebut sehingga memunculkan kekompakan kelompok yang tinggi sebagai bentuk dari collective emotions yang hampir tidak ada perbedaan pandangan dalam meraih tujuan kelompok.
            Pelaku pengeboman di GBIS, Solo, Ahmad Yosefa, dalam kehidupan sehari-harinya menunjukkan kurang bersosialisasi dengan masyarakat di lingkungannya. Sikapnya juga menunjukkan bahwa dirinya sangat menentang dengan sistem pemerintahan yang ada sekarang ini. Tingkah lakunya lebih cenderung memperlihatkan sebagai bagian kelompok tertentu (baca: kelompok radikal) karena di benaknya kebenaran hanya ada dalam pemikiran kelompoknya bukan seperti yang ada dalam pemerintahan negara ini. Pelaku juga mengalami krisis identitas, karena membenarkan tentang identitas kelompok lebih penting daripada identitas pribadi, dan bagi Ahmad Yosepa, dirinya akan lebih bermaksna dengan melakukan tindakan yang menurut kelompoknya dilakukan di jalan jihad, dari sini dapat dilihat bahwa identitas dirinya telah memudar tergantikan dengan pemikiran kelompok yang lebih dominan.
3.3.2   Perasaan Perampasan Relatif (Relative Deprivation)
            Faktor-faktor penyebab timbulnya sikap dan tingkah laku yang radikal menurut Tedd Robert Gurr (1970) adalah relative deprivation atau perasaan perampasan relative, hal tersebut menurut Gurr "perceived discrepancy between value expectations and value capabilities", atau merasa adanya perbedaan antara nilai keinginan dan nilai kemampuan, dan perampasan terjadi apabila nilai-nilai keinginan melebihi dari nilai-nilai kemampuan yang ada. Nilai-nilai ini terdiri dari kesejahteraan, keamanan, self actualization, dan sebagainya.
            Beberapa kalangan akademisi berhipotesa bahwa perasaan perampasan relative dapat menjadi pemicu terhadap adanya tindakan kekerasan, tindakan kelompok, meskipun untuk secara pribadi tidak merasa dirampas namun mereka akan melakukan tindakannya untuk kelompoknya (Runciman 1966). Bagaimana hubungan perasaan perampasan relative berubah menjadi terorime? Ted Robert Gurr mencoba menjelaskan melalui pendekatan psikologi tentang sekumpulan ketidakpuasan bermanifestasi menjadi kekerasan politik. Ketika sumber utama dari kapasitas manusia untuk sifat kekerasan muncul menjadi mekanisme frustration-aggression maka munculah emosi yang terimbas dari sebuah kefrustasian. kemudian kondisi inilah menjadi sebuah kekuatan motivasi seseorang untuk cenderung berbuat agresi dan tidak berpikir panjang secara instrumental. Dari kondisi tersebut muncul sebuah pemikiran bahwa frustasi disebabkan oleh perasaan perampasan relative yang menghasilkan sebuah tindakan agreasi sebagai manifestasi dari terorisme.
Teori tersebut diatas telah dibuktikan dengan adanya pelaku bom bunuh diri di GBIS Solo, Ahmad Yosepa memiliki pemikiran radikal yang disebabkan karena adanya perbedaan antara keinginnanya melebihi dari nilai-nilai kemampuan yang ada. Pemikiran yang meletakkan realitas kehidupan sehari-hari di negeri ini di bawah cengkeraman sistem pemerintahan Thogut. Bagi pelaku, realitas kehidupan sehari-hari dipandang sebagai symbol dan tampilan dajjal, symbol pengingkar Tuhan, penyebar fitnah yang lihai, kadang tampil sebagai pendakwah surgawi yang mudah membius pendengar[18]. Melihat keinginan pelaku tentang kehidupan yang sempurna adalah kehidupan yang berlandaskan kepada ajaran agama Islam yang sempurna. Namun melihat kenyataannya kehidupan duniawi manakala para pemimpin sibuk dengan bagaimana membangun gedung-gedung sebagai bentuk symbol dajjal karena dianggap menggunakan uang kafir, hiruk pikuk kehidupan kota yang menampilkan wanita-wanita dengan memperlihatkan aurat, serta berbagai kebijakan elite politik yang dianggap bermuka dua sisi hanya untuk mendapatkan dukungan rakyat dan konstituen. Ketidak sesuaian keinginan inilah yang melandasi adannya perasaan perampasan relative sehingga ketika pemikiran buntu dan berbagai jalan keluar seperti halnya diskusi, dialog dan debat bersama mulai disingkirkan munculah sikap dengan dua pilihan; yaitu hidup mulia atau mati syahid (‘isy karieman au mut syahiedan). Perwujudan dari keyakinan ini dengan menghancurkan kekuatan apa saja yang dipandang menghalangi pemberlakukan keyakinan/keinginan pelaku teror dengan jalan apapun termasuk bunuh diri[19] seperti halnya yang dilakukan oleh Ahmat Yosepa dalam pengeboman di GBIS Solo.
3.3.3   Perasaan Terhina
            Salah satu akar munculnya sikap radikalisme adalah adanya perasaan terhina (Stern 1999, 2003; Juergensmeyer, 2000; Richardson, 2006). Perasaan terhina dalam radikalisme dan terorisme ini muncul akibat peranan emosional dalam memainkan tindakan agresif dan kolektif. Seperti halnya elaborasi mendalam tentang munculnya rasa benci (Stemberg, 2006), rasa jijik atau muak (Haidt, 2001), penghinaan (Fischer &Roseman, 2007) dan dorongan untuk balas dendam (Frijda, 2007). Kondisi perasaan terhina ini juga dirasakan oleh Osama Bin Laden, ketika menyatakan deklarasi perangnya dalam liputan yang disiarkan oleh AL Jazeera dan CNN yang menyebutkan secara eksplisit mengenai perasaan terhina berkali-kali. Osama mengatakan bahwa lebih baik mati daripada hidup dalam kehinaan[20]. Pada masa lalu kelompok Muslim bisa menjalani hidup secara ekslusif dan terpisah dari orang dan kelompok agama yang berbeda atau kafir dalam pandangannya[21]. Namun di era keterbukaan sekarang ini, di mana terdapat persamaan kedudukan dan pengakuan, untuk hidup secara ekslusif tersebut hampir mustahil untuk diwujudkan.
Bagi kelompok tertentu meyakini bahwa pergeseran ini merupakan sebuah penghinaan bagi kelompok Muslim. Merujuk pada kekhalifahan Islam di masa lalu yang memiliki kekuasaan luas di dunia ini. Keberadaan dan posisi tersebut menjadi salah satu alasan untuk membangkitkan kembali kekuasaan kaum Muslim di muka bumi ini. Namun, kenyataan yang ada sekarang ini, dunia lebih banyak dikuasai oleh pemikiran-pemikiran dan penguasaan oleh dunia barat dimana kelompok radikal berpikir bahwa hal tersebut merupakan keterpurukan kedudukan umat muslim sehingga memunculkan rasa benci (Stemberg, 2006), rasa jijik atau muak (Haidt, 2001), penghinaan (Fischer &Roseman, 2007) dan dorongan untuk balas dendam (Frijda, 2007).
Dalam realitasnya, dalam pergaulan global dengan bangsa-bangsa Barat, Eropa, Nasrani dan yahudi memiliki kemajuan teknologi yang pesat dan tingkat ekonomi yang tinggi. Namun di sisi lain, negara-negara dan bangsa-bangsa Muslim masih dilanda ketertindasan, kemiskinan, ketidakadilan dan penjajahan. Kondisi ini memunculkan perasaan terhina bagi kaum radikal dan ekstreem yang kemudian merasa dipecundangi oleh kaum kafir yang diakuinya sebagai musuh Tuhan yang patut diperangi. Mereka yang berada pada posisi demikian akan mudah dipicu untuk melakukan tindak kekerasan dengan dalih sebagai jalan menempuh kesempurnaan dalam meraih kesyahidan melalui jihad yang diaplikasikan sebagai pelaku bom bunuh diri. Argumentasi tersebut menguatkan bahwa dalam kasus pengeboman di GBIS Solo, pelaku didasari oleh perasaan-perasaan terhina, ketidakadilan, rasa benci yang mendorong dirinya dan kelompoknya untuk melakukan tindakan radikal dengan cara kekerasan.
3.3.4   Faktor-faktor Psikologi Lainnya
            Menurut Victoroff (2005) radikalisme muncul dikarenakan adanya faktor-faktor psikologis seperti halnya perilaku teroris ditentukan oleh kombinasi faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, faktor biologis, prespektif, perkembangan awal, temperament, pengaruh lingkungan dan dinamika kelompok. Tingkatan dari faktor-faktor tersebut memberikan konstribusi pada variasi dari tindakan teroris perseorangan, antara individual groups, dan tipe dari kelompok. Kemudian Victoroff juga menambahkan bahwa teroris juga memiliki psikologi yang sangat berbeda dengan orang pada umumnya sehingga memiliki kecenderungan-kecenderungan tingkah laku dan tindakan yang berbeda, dan mereka merasa nyaman dengan kondisi ini. Dalam kasus ini pengaruh lingkungan dan dinamika kelompok memberikan konstribusi yang paling dominan. Seseorang menjadi radikal manakala mendapat proses radikalisasi dari kelompoknya. Normalnya kelompok ini akan mengekslusifkan diri dalam bergaul, karena mereka akan membatasi diri untuk bergaul dengan masyarakat lain di luar kelompoknya. Lingkungan kelompoknya inilah yang kemudian banyak memberikan pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran yang diyakini sebagai pemikiran yang benar dan hakiki dengan memandang hasil pemikiran kelompok adalah sesuatu hal yang diakui kebenarannya. Bagi para pelaku bom, identitas kelompok lebih penting daripada identitas pribadi, dan mereka lebih bermakna di jalan jihad (Sarwono, 2007).
            Ajaran-ajaran yang diterima melalui komunikasi dan diskusi dalam forum kelompok banyak memberikan pemikiran-pemikiran baru sehingga pandangan yang dimilikinya merupakan representasikan pandangan kelompok yang bersifat radikal. Disinilah peran kelompok sangat besar dalam menciptakan buah pikiran radikal bagi anggotanya hal tersebut tercermin dari tingkah laku dan pengabdian dirinya kepada kelompok dan ajarannya. Hal tersebut memperkuat bahwa pelaku pengeboman di GBIS Solo merupakan hasil pemikiran radikal yang diwujudkan dalam aksi kekerasan yang mendapat pengaruh besar dari kelompoknya, kasus ini merupakan satu rangkaian dengan peristiwa pengeboman di mesjid Adz Dzikro kompleks Mapolresta Cirebon, dimana kedua pelaku di kedua kasus yang berbeda memiliki pandangan yang sama untuk melakukan jihad dalam versi mereka sebagai suatu visi dan misi di kelompok yang sama.
            Dari keenam faktor atau penyebab timbulnya sikap dan tingkah laku yang radikal dirasa masih kurang cukup. Dalam pemikiran penulis masih ada beberapa faktor yang menunjang terjadinya pemikiran yang radikal diantaranya adalah keinginan dan motivasi hidup lebih baik, disinterpretasi agama, dan peran dari internet.
3.3.5   Keinginan dan Motivasi Untuk Hidup Lebih Baik
            Keinginan dan motivasi untuk hidup yang lebih baik, Salah satunya adalah adanya keinginan yang besar untuk perubahan sistem pemerintahan yang sudah dianggap bertentangan dengan ajaran Islam radikal. Hal tersebut menciptakan upaya-upaya radikal guna meraih tujuan yang hendak di capai. Keinginan tersebut menjadi landasan munculnya radikalisme di generasi muda, karena kelompok radikal membawa dan memberikan ajarannya kepada generasi muda yang secara psikologis masih berupaya mencari identitas diri dan motivasi hidup. Lingkaran kelompok dengan ajaran-ajarannya memberikan pengaruh terhadap perilaku anggotanya terutama generasi muda dengan cara melalui dialog, dakwah, dan menanamkan ajaran-ajaran radikal yang secara terus menerus dituntun untuk mengikuti arus perubahan untuk berpikir radikal sehingga menciptakan presepsi bahwa kehidupan bernegara sekarang harus dirubah dengan sistem sesuai dengan ajaran-ajaran Islam radikal karena mereka berkeyakinan bahwa dengan perubahan sistem tersebut akan menciptakan kehidupan yang lebih baik.
            Islam radikal terbagi menjadi dua makna, sebagai wacana dan aksi. Radikal dalam wacana diartikan dengan adanya pemikiran untuk mendirikan negara Islam, kekhalifahan Islam, tanpa menggunakan kekerasan terbuka, sedangkan dalam level aksi, radikal diartikan melakukan perubahan dengan aksi-aksi kekerasan atas nama agama[22]. Merujuk pada makna tersebut, para kaum gerakan Islam radikal memilih jalan kekerasan sebagai cara untuk mewujudkan tujuannya dalam mendirikan kekhalifahan Islam di Indonesia dan menentang hukum serta pemerintahan Indonesia. Kemudian muncul pemahaman posisi pemerintah Indonesia sebagai suatu bentuk thaghut. Bagi kaum Islam radikal terutama faksi jihadis, pemerintah thaghut merupakan sasaran yang dapat diperangi melalui teror atau irhaab dengan menggentarkan siapa saja yang dianggap musuh.
3.3.6   Disinterpretasi Agama
            Kemunculan paham radikal salah satunya di sebabkan oleh kesalah pahaman dalam mengartikan ajaran-ajaran Islam dalam penerapannya di lingkungan masyarakat yang majemuk seperti halnya di Indonesia. Hal tersebut terjadi manakala ajaran radikal diajarkan kepada generasi-generasi muda melalui pendidikan-pendidikan agama yang dogmatis sehingga memunculkan pemahaman agama yang literal, dan mengadopsi ayat-ayat Al-quran secara tidak utuh yang menimbulkan penafsiran-penafsiran yang radikal.Pola pikir dan pemahaman seperti inilah yang kemudian menciptakan ruang sempit dalam berpikir, tidak adanya akomodasi dan kompromi[23] dengan pemikiran kelompok-kelompok lain termasuk sesama muslim dari golongan moderat.
            Para anggota kelompok radikal merasakan bahwa ajaran yang mereka merupakan ajaran yang paling benar dengan memandang ajaran lain sebagai ajaran kafir atau thogut. Pemikiran yang dogmatis inilah menyebabkan paham radikalisme. Pelaku pengeboman Ahmad yosefa diyakini mengalami disinterpretasi agama, manakala memaknai bagaimana ajaran kebaikan dengan jalan untuk  mati syahid namun memberikan trauma bagi masyarakat luas dan efek psikologis yang berkepanjangan.
            Penganut paham radikal juga memiliki cara pandang dimana syariah merupakan hal mutlak yang harus ditegakkan dalam kehidupan publik melalui cara pemaksaan terhadap orang atau kelompok. Jalan yang mereka tempuh mulai dengan memerangi kemaksiatan menggunakan jalan kekerasan tanpa melihat hukum yang berlaku. Kemudian mulai menginjak tahap yang lebih radikal dengan berbekal pemahaman bahwa semua muslim wajib melakukan jihad di semua wilayah hingga kedaulatan Islam kembali seperti sebelum Perang Salib[24]. Bahkan dalam benak kaum radikal, mereka memiliki pemikiran bahwa bagi seorang muslim yang tidak melaksanakan jihad dipandang melakukan dosa besar dan dapat dikecam sebagai penghalang jihad, kemudian dapat dijadikan sebagai sasaran teror yang sah. Pemikiran radikal tersebut juga telah merambah ke anak-anak muda, yang tidak ragu-ragu untuk melakukan tindakan kekerasan melalui bom bunuh diri (istimata) yang diyakini mereka sebagai salah satu bentuk jihad memerangi musuh-musuh Islam. Mereka juga meyakini bahwa ada ganjaran besar dalam berjihad yaitu mendapatkan perlakuan sebagai syahid dengan surga menjadi jaminan yang akan didapatkan setelah kewajiban berjihad dilakukan. Bagi kaum Islam radikal juga meyakini akan mendapatkan pengampunan atas dosa-dosa yang dilakukan selama hidupnya setelah kewajiban jihadnya melalui bom bunuh diri dilaksanakan, seperti kasus yang terjadi dalam pengeboman GBIS, Solo.
3.3.7   Peran Internet
            Internet mempunyai peran dan pengaruhnya terhadap meningkatnya radikalisasi di lingkungan masyarakat dan khususnya di pemuda Islam. Berbagai literatur tentang kajian Islam mengatakan bahwa internet menjadi salah satu faktor kausal dalam level sosial, karena melalui jaringan tersebut terdapat hubungan sosial antara orang-orang yang berbeda dalam hal budaya, kelompok atau agama maupun latar belakangnya. Bagi para kelompok radikal, internet juga dijadikan sebagai wahana untuk menyebarkan ajarannya serta mengajak orang-orang untuk mengikuti ideologi radikal tersebut. Melalui situs-situs dengan motif keagamaan, kelompok radikal dapat menyampaikan pesan-pesannya dengan menyebarkan tulisan-tulisan, gambar-gambar maupun video yang secara psikologis mampu membawa pembacanya masuk ke dalam arah pikiran kelompok tersebut. Melalui internet juga menurut Postmes dan Baym (2005) orang-orang yang secara fisik terisolasi dengan masyarakat, dapat berkomunkasi tanpa dikenal tetapi seperti ada hubungan yang terjalin.
            Bagi pelaku pengeboman GBIS Solo, Ahmad Yosepa, internet mempunyai peranan untuk menambah pengetahuannya tentang ajaran-ajaran radikal. hal tersebut diketahui ketika akan melakukan aksi pengeboman, pelaku merasa bimbang sehingga memerlukan dorongan keyakinan untuk berbuat dengan membuka situs yang memiliki pandangan ajaran Islam radikal[25]. Setelah membuka situs radikal tersebut semangat jihadnya muncul kembali untuk melakukan pengeboman.
4.         Kesimpulan
            Pemahaman tentang agama khususnya dalam Islam di Indonesia sering disalahartikan sehingga menimbulkan kecenderungan untuk berpikir lebih radikal. Radikalisme dapat memunculkan kekerasan dengan melakukan aksi yang menghalalkan segala cara seperti bom bunuh diri yang diyakini sebagai jalan jihad. Jalan dan cara tersebut diyakini sebagai upaya dalam menyelesaikan permasalahan dan segala urusan duniawinya. Dengan menelusuri permasalahan radikalisme di Indonesia dengan studi kasus pengeboman GBIS Solo, dapat diketahui akar permasalahan yang melatarbelakangi terbentuknya radikalisme, adalah sebagai berikut; (1) adanya perasaan perampasan relative; (2) pendudukan negara Islam dan dukungan kepada rezim yang represif oleh negara-neagra barat, (3) isu-isu identitas; (4) integrasi yang buruk dalam politik dan sosial ekonomi, (5) perasaan terhina; dan (6) faktor-faktor psikologis lainnya; namun dari keenam faktor tersebut ada dua tambahan tentang faktor-faktor penyebab timbulnya tingkah laku radikal diantaranya; (1) motivasi untuk hidup lebih baik; (2) disinterpretasi agama yang memunculkan kesalahpahaman dalam mengartikan ajaran agama Islam; dan (3) peran internet dalam penyebaran ajaran-ajaran radikal melalui situs-situs yang dapat diakses secara bebas.
            Dengan melihat akar permasalahan tersebut, perlu adanya pemahaman oleh pemerintah Indonesia dalam memandang radikalisme dan penyebab yang melatarbelakanginya. Persoalan radikalisme di Indonesia adalah persoalan tentang adanya ketimpangan dan kekecewaan kelompok terhadap sistem pemerintah Indonesia yang ada sekarang ini, sehingga penulis menawarkan tiga hal yang harus dipedomani, yaitu; (1) perlunya reorientasi ajaran Islam yang hakiki melalui kurikulum dan pola pengajaran baik di lembaga pendidikan formal maupun non-formal; (2) adanya komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan secara baik sesuai dengan aturan yang berlaku guna mencapai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; (3) menyelenggarakan program deradikalisasi kepada kelompok radikal melalui pendekatan kemanusiaan, kejiwaan sehingga dapat mencegah dan mengurangi perilaku radikal; dan (4) adanya filter dalam dunia internet untuk mengantisipasi munculnya ajaran-ajaran radikal dan tulisan yang bersifat penghasutan. Permasalahan kemunculan Radikalisme Islam di Indonesia tidak akan lepas dari permasalahan bagaimana negara menyelenggarakan sistem pemerintahannya secara baik guna mengurangi ketimpangan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Daftar Pustaka
Ashour, Omar. 2009. The De-Radicalizaton of Jihadist. New York. Routledge.

Buijs, F.J., Demant, F. & Hamdy, A. (2006) Strijders van eigen bodem. Radicale en democratische moslims in Nederland, Amsterdam University Press
Choudhury, T. (2007) The Role of Muslim Identity Politics in Radicalisation (A Study in Progress), London: Department for Communities and Local Government
Dahlan, Abdul Azis (editor). 1996. Ensiklopedia Islam.  (Ichtiar baru Van Hoeve).

Dahlan, Fahruroji. 2008. Jihad Antara Fenomena Dakwah dan Kekerasan: Mereformulasi Jihad Sebagai Sarana Dakwah dalam Jurnal Jurnal El Hikmah. Volume I/No. I/Desember 2008/ Djulhizah 1429 H.

Fachruddin, Achmad. 2000. Jihad Sang Demonstran.  Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Golose, Petrus R. 2009. Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: YPKIK.

Gurr, T. (1970). Why men rebel. Princeton, NJ: Princeton University
Hasani, Ismail dan Bonar T.N. (Editor). 2012. Dari Radikalisme Menuju Terorisme. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara.

Press.Pape, R.A. (2006) ‘Suicide terrorism and democracy. What we’ve learned since 9/11’, Policy Analysis, pp. 582. Cato Institute.

Purwanto, Wawan H. 2012. Satu Dasawarsa Terorisme di Indonesia. Jakarta: CMB Press.

Sarwono, Sarlito W. 2012. Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta: Alvabet.

Sihab, Alwi. 1998. Islam Insklusif; Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Jakarta: Mizan.

Singh, Bilveer dan A. M. Mulkahan. 2012. Teror dan Demokrasi Dalam I’dad (Persiapan) Jihad (Perang). Kotagede: Metro Epistima.

Singh, Bilveer dan A. M. Mulkahan. 2012. Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia Jejak Sang Pengantin Bunuh Diri. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher.

Stern, J. (1999) The ultimate terrorists, Cambridge, MA: Harvard University Press
Stern, J. (2003) Terror in the name of God: Why religious militants kill, New York: Ecco.
Sunarko, A. Dwi H. 2006. Ideologi Teroris Indonesia. Jakarta: Pensil-324
Veldhuis, Tinka dan Jørgen Staun. 2009. Islamist Radicalisation: A Root Cause Model. Netherlands Institute of International Relations Clingendael.

Victoroff, J. (2005) The mind of the terrorist. A review and critique of psychological approaches, Journal of Conflict Resolution, vol. 49, no 1.

Artikel

Azra, Azyumardi. 2012. Radikalisme, Keagamaan dan Deradikalisasi. Dalam Makalah untuk FGD “PAI dan Radikalisasi” yang di sampaikan di Hotel Santika, TMII, Jakarta pada tanggal 24September 2012.

L.H. Baiq. Menelusuri Jejak Radikalisme di Indonesia dan Solusi Alternatif Penanganannya. Diunduh dari
            http://www.lazuardibirru.org/jurnalbirru/karyailmiah/menelusuri-jejak-radikalisme-di-indonesia-dan-solusi-alternatif-penanganannya/.

Widjajanto, Andi. 2011. Intelijen dan Bom Solo. Diunduh dari situs http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/09/29/intelijen-dan-bom-solo/


[1] Adalah mahasiswa Universitas Pertahanan Prodi Asymmetric Warfare.
[2] Ibid. hal. 11.
[3] Omar Ashour. 2009. The De-Radicalizaton of Jihadist. New York. Routledge. Hal. 3.
[4] Petrus R. Golose. 2009. Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: YPKIK. Hal 40.
[5] Lihat Petrus R. Golose. 2009. Opcit. Hal 42, kriteria individu target radikalisasi berdasarkan umur, agama, tingkat pendidikan, perekonomian, status sosial, dan kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat.
[6] Ismail Hasani dan Bonar T.N. (Editor). 2012. Dari Radikalisme Menuju Terorisme. Jakarta: Pustaka Masyarakat SetaraHal 188.
[7] Andi Widjajanto. 2011. Intelijen dan Bom Solo. Diunduh dari situs http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/09/29/intelijen-dan-bom-solo/
[8] Wawan H. Purwanto. 2012. Satu Dasawarsa Terorisme di Indonesia. Jakarta: CMB Press. Hal.94.
[9] A. Dwi H. Sunarko. 2006. Ideologi Teroris Indonesia. Jakarta: Pensil-324. Hal. xvi.
[10] Sarlito W. Sarwono. 2012. Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta: Alvabet. Hal. 90.
[12] Istimata merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk bunuh diri.
[13] Petrus R. Golose. 2009. Opcit. Hal. 38.
[14] Ibid. hal. 64.
[15] Ibid.
[16] Ini yang menjadikan tesis dari Samuel Huntington sebagai dasar dari munculnya pertentangan peradaban antara Islam dan Barat yang timbul karena ketidak sesuaian dalam memegang prinsip dan perbedaan cara pandang dalam memahami penerapan sistem pemerintahan.
[17] Tinka Veldhuis dan Jørgen Staun. 2009. Islamist Radicalisation: A Root Cause Model. Netherlands Institute of International Relations Clingendael. Hal 40.
[18] Bilveer Singh dan A. M. Mulkhan. 2012. Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia Jejak Sang pengantin Bom Bunuh Diri. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. Hal. 66.
[19] Ibid. hal 67.
[20] Ibid. Hal 57-58.
[21] Ibid. hal. 15.
[22] Ibid. hal. 11.
[23] Azyumardi Azra. 2012. Radikalisme, Keagamaan dan Deradikalisasi. Dalam Makalah untuk FGD “PAI dan Radikalisasi” yang di sampaikan di Hotel Santika, TMII, Jakarta pada tanggal 24 September 2012.
[24] Bilveer Singh dan A. M. Mulkahan. 2012. Teror dan Demokrasi Dalam I’dad (Persiapan) Jihad (Perang). Kotagede: Metro Epistima. Hal. 122.
[25] http://www.tempo.co/read/news/2011/09/27/063358439/Ini-Cara-Bomber-Solo-Beraksi-di-Gereja-Kepunton

2 komentar:

  1. PENDAFTARAN BELA NEGARA
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

    Untuk Wali Wali Allah dimana saja kalian berada
    Sekarang keluarlah, Hunuslah Pedang dan Asahlah Tajam-Tajam

    Api Jihad Fisabilillah Akhir Zaman telah kami kobarkan
    Panji-Panji Perang Nabimu sudah kami kibarkan
    Arasy KeagunganMu sudah bergetar Hebat Ya Allah,

    Wahai Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang
    hamba memohon kepadaMu keluarkan para Muqarrabin bersama kami

    Allahumma a’izzal islam wal muslim wa adzillas syirka wal musyrikin wa dammir a’da aka a’da addin wa iradaka suui ‘alaihim yaa Robbal ‘alamin.

    Wahai ALLAH muliakanlah islam dan Kaum Muslimin, hinakan dan rendahkanlah kesyirikan dan pelaku kemusyrikan dan hancurkanlah musuh-mu dan musuh agama-mu dengan keburukan wahai RABB
    semesta alam.

    Allahumma ‘adzdzibil kafarotalladzina yashudduna ‘ansabilika, wa yukadzdzibuna min rusulika wa yuqotiluna min awliyaika.

    Wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. orang-oramg kafir yang telah menghalang-halangi kami dari jalan-Mu, yang telah mendustakan-Mu dan telah membunuh Para Wali-Mu, Para Kekasih-Mu

    Allahumma farriq jam’ahum wa syattit syamlahum wa zilzal aqdamahum wa bilkhusus min yahuud wa syarikatihim innaka ‘ala kulli syaiin qodir.

    Wahai ALLAH pecah belahlah, hancur leburkanlah kelompok mereka, porak porandakanlah mereka dan goncangkanlah kedudukan mereka, goncangkanlah hati hati mereka terlebih khusus dari orang-orang yahudi dan sekutu-sekutu mereka. sesungguhnya ENGKAU Maha Berkuasa.

    Allahumma shuril islam wal ikhwana wal mujahidina fii kulli makan yaa rabbal ‘alamin.

    Wahai ALLAH tolonglah Islam dan saudara kami dan Para Mujahid dimana saja mereka berada wahai RABB Semesta Alam.
    Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin

    Wahai Wali-wali Allah Kemarilah, Datanglah dan Berkujunglah dan bergabunglah bersama kami kami Ahlul Baitmu

    Al Qur`an adalah manhaj (petunjuk jalan) bagi para Da`i yang menempuh jalan dien ini sampai hari kiamat, Kami akan bawa anda untuk mengikuti jejak langkah penghulu para rasul Muhammad SAW dan pemimpin semua umat manusia.

    Hai kaumku ikutilah aku, aku akan menunjukan kepadamu jalan yang benar (QS. Al-Mu'min :38)

    Wahai para Ikwan Akhir Zaman, Khilafah Islam sedang membutuhkan
    para Mujahid Tangguh untuk persiapan tempur menjelang Tegaknya Khilafah yang dijanjikan.

    Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)

    Masukan Kode yang sesuai dengan Bakat Karunia Allah yang Antum miliki.

    301. Pasukan Bendera Hitam
    Batalion Pembunuh Thogut / Tokoh-tokoh Politik Musuh Islam

    302. Pasukan Bendera Hitam Batalion Serbu
    - ahli segala macam pertempuran
    - ahli Membunuh secara cepat
    - ahli Bela diri jarak dekat
    - Ahli Perang Geriliya Kota dan Pegunungan

    303. Pasukan Bendera Hitam Batalion Misi Pasukan Rahasia
    - Ahli Pelakukan pengintaian Jarak Dekat / Jauh
    - Ahli Pembuat BOM / Racun
    - Ahli Sandera
    - Ahli Sabotase

    304. Pasukan Bendera Hitam
    Batalion Elit Garda Tentara Khilafah Islam

    305. Pasukan Bendera Hitam Batalion Pasukan Rahasia Cyber Death
    - ahli linux kernel, bahasa C, Javascript
    - Ahli Gelombang Mikro / Spektrum
    - Ahli enkripsi cryptographi
    - Ahli Satelit / Nuklir
    - Ahli Pembuat infra merah / Radar
    - Ahli Membuat Virus Death
    - Ahli infiltrasi Sistem Pakar

    Semua Negara adalah Negara Dajjal, sebab itu
    Bunuhlah Tentara , Polisi dan semua pendukung negara dajjal dimana saja berada

    Disebarluaskan
    MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
    PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

    Syuaib Bin Shaleh
    singahitam@hmamail.com

    BalasHapus
  2. PESAN IMAM MAHDI MENYERU UNTUK PARA IKHWAN
    BENTUKLAH PASUKAN MILITER PADA SETIAP ZONA ISLAM
    SAMBUTLAH UNDANGAN PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
    Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Untuk para Rijalus Shaleh dimana saja kalian berada,
    bukankah waktu subuh sudah dekat? keluarlah dan hunuslah senjata kalian.

    Dengan memohon Ijin Mu Ya Allah Engkaulah Pemilik Asmaul Husna, Ya Dzulzalalil Matien kami memohon dengan namaMu yang Agung
    Pemilik Tentara langit dan Bumi perkenankanlah kami menggunakan seluruh Anasir Alam untuk kami gunakan sebagai Tentara Islam untuk Menghancurkan seluruh Kekuatan kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan yang sudah merajalela di muka bumi ini hingga Dien Islam saja yang berdaulat , tegak perkasa dan hanya engkau saja Ya Allah yang berhak disembah !

    Firman Allah: at-Taubah 38, 39
    Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu jika dikatakan orang kepadamu: “Berperanglah kamu pada jalan Allah”, lalu kamu berlambat-lambat (duduk) ditanah? Adakah kamu suka dengan kehidupan didunia ini daripada akhirat? Maka tak adalah kesukaan hidup di dunia, diperbandingkan dengan akhirat, melainkan sedikit
    sekali. Jika kamu tiada mahu berperang, nescaya Allah menyiksamu dengan azab yang pedih dan Dia akan menukar kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tiada melarat kepada Allah sedikit pun. Allah Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu.

    Berjihad itu adalah satu perintah Allah yang Maha Tinggi, sedangkan mengabaikan Jihad itu adalah satu pengingkaran dan kedurhakaan yang besar terhadap Allah!

    Firman Allah: al-Anfal 39
    Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi, dan jadilah agama untuk Allah.

    Peraturan dan undang-undang ciptaan manusia itu adalah kekufuran, dan setiap kekufuran itu disifatkan Allah sebagai penindasan, kezaliman, ancaman, kejahatan dan kerusakan kepada manusia di bumi.
    Ketahuilah !, Semua Negara Didunia ini adalah Negara Boneka Dajjal

    Allah Memerintahkan Kami untuk menghancurkan dan memerangi Pemerintahan dan kedaulatan Sekular-Nasionalis-Demokratik-Kapitalis yang mengabdikan manusia kepada sesama manusia karena itu adalah FITNAH

    Firman Allah: al-Hajj 39, 40
    Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, disebabkan mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka itu. Iaitu
    orang-orang yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mengatakan: Tuhan kami ialah Allah

    Firman Allah: an-Nisa 75
    Mengapakah kamu tidak berperang di jalan Allah untuk (membantu) orang-orang tertindas. yang terdiri daripada lelaki, perempuan-perempuan dan kanak-kanak .
    Dan penindasan itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan(al-Baqarah 217)

    Firman Allah: at-Taubah 36, 73
    Perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagai mana mereka memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahawa Allah bersama orang-orang yang taqwa. Wahai Nabi! Berperanglah terhadap orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.

    Firman Allah: at-Taubah 29,
    Perangilah orang-orang yang tidak beriman, mereka tiada mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tiada pula beragama dengan agama yang benar, (iaitu) diantara ahli-ahli kitab, kecuali jika mereka membayar jizyah dengan tangannya sendiri sedang mereka orang yang tunduk..

    Bentuklah secara rahasia Pasukan Jihad Perang setiap Regu minimal dengan 3 Anggota maksimal 12 anggota per desa / kampung.
    Bersiaplah menjadi Tentara Islam akhir Zaman sebelum anda dibantai oleh Zionis,Salibis,Munafiq dan Musyrikin
    Siapkan Pimpinan intelijen Pasukan Komando Panji Hitam secara matang terencana, lakukan analisis lingkungan terpadu.

    Apabila sudah terbentuk kemudian Daftarkan Regu Mujahid
    ke Markas Besar Angkatan Perang Pasukan Komando Bendera Hitam
    Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)

    email : seleksidim@yandex.com

    Dipublikasikan
    Markas Besar Angkatan Perang
    Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    BalasHapus