Jumat, 05 April 2013

ANALISIS PERANG



ANALISIS INVASI AS KE IRAK DAN SERANGAN AS KE KOSOVO
DITINJAU DARI JUSTWAR DAN UNJUSTWAR

Ninefivealpha

Perang telah menjadi sifat dasar manusia untuk berkuasa dan menanamkan pengaruhnya. Perang juga diartikan sebagai sebuah aksi fisik dan non fisik antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan[1]. Transformasi bentuk perang terus terjadi seiring dengan perubahan zaman. Dimulai dengan penggunaan senjata yang sederhana dan sekarang menggunakan persenjataan yang memiliki teknologi tinggi dan modern. Namun ada yang tidak berubah dari sebuah peperangan, yaitu timbulnya korban jiwa baik dari pihak yang bertikai maupun dari pihak penduduk sipil. Munculnya doktrin atau aturan mengenai sebuah perang, hukum perang yang kesemuanya berisikan aturan-aturan yang berlaku dalam perang untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa. Dalam hukum internasional, ada dua cara dalam memandang perang—alasan berperang dan cara berperang. Secara teori, mungkin saja melanggar semua aturan ketika bertempur dalam sebuah perang yang dibenarkan (just war) atau berperang dalam sebuah perang yang tidak dibenarkan (unjust war) dengan tetap memegang teguh hukum konflik bersenjata.
Tulisan ini akan membahas bagaimana sebuah pelaksanaan perang dihadapkan dengan aturan-aturan perang sehingga perang tersebut dinyatakan sebagai perang yang sah maupun tidak sah (jus and unjust war) dengan mengambil study kasus Invasi AS ke Irak tahu 2003 dan Penyerangan AS ke Kosovo tahun 1999. Ruang lingkup dalam tulisan ini adalah pembahasan perang dalam prespektif penyelenggaraan perang melalui kriteria just ad bellum dan just in bello.

Perang Irak 2003 – Sebuah Invasi Amerika Serikat ke Irak
Setelah sekian lama dari berakhirnya Perang Teluk tahun 1990, dunia internasional kembali dikejutkan oleh invasi Sekutu yang terdiri dari negara-negara NATO di bawah pimpinan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 dengan kode “Operation Iraqi Freedom” atau yang biasa disebut dengan Operasi Pembebasan Irak. Invasi sekutu ke Irak tersebut dimulai tanggal 19 Maret 2003 dengan tujuan resmi yang ditetapkan oleh pemerintahan Bush yaitu untuk melucuti senjata pemusnah massal Irak, mengakhiri dukungan Saddam Husein kepada terorisme, dan memerdekaan rakyat Irak dari kekuasaan otoriter Saddam[2]. Pada kenyataannya setelah tim PBB melakukan pemeriksaan, baik PBB maupun pasukan koalisi tidak menemukan jenis dan bentuk senjata pemusnah massal dalam bentuk apapun di Irak. Namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap keinginan AS untuk tetap menginvasi Irak. Kemudian muncul berbagai alasan-alasan yang mendorong invasi AS ke Irak diantaranya adalah (1) Alasan ekonomi terutama Irak memiliki cadangan minyak dunia yang besar; dan (2) Irak terkait dengan jaringan terorisme seperti Al Qaeda.
Alasan AS melakukan invasi ke Irak menjadi semakin tidak menunjukkan alasan yang tepat, hal tersebut menjadikan beberapa ahli berpendapat bahwa Perang Irak tahun 2003 terjadi hanya didasarkan atas dugaan dan asumsi mengenai kemungkinan adanya ancaman terhadap keamanan internasional dan kepentingan keamanan AS. Keputusan sepihak AS untuk menyerang Irak tanpa otorisasi dari Dewan Keamanan PBB juga memperlihatkan kecenderungan arogansi dalam kebijakan luar negeri AS. Bahkan, pemerintah AS cenderung melihat PBB sebagai sebuah institusi yang tidak terlalu bermanfaat dan menjadi penghambat yang menjengkelkan[3].

Semenjak invasi AS ke Irak pada tahun 2003, lebih dari satu juta rakyat Irak tewas dan menjadi korban atas serangan-serangan yang dilakukan oleh AS dan sekutunya. Centre of Constitutional Rights (CCR)[4] melakukan pengamatan terhadap pengeboman dan serangan yang dilakukan AS secara bertubi-tubi tidak memperdulikan dan membedakan antara sasaran sipil atau militer, CCR pun menilai bahwa hal tersebut merupakan suatu kejahatan perang. Bukti nyata yang di temui adanya pelanggaran adalah ketika tank-tank AS melakukan penyerangan terhadap Palestine Hotel yang merupakan tempat menginap wartawan internasional yang bertugas untuk meliput jalannya perang Irak. Data lain menyebutkan bahwa adanya pengeboman yang berasal dari pasukan koalisi yang salah sasaran dan mengenai sebuah pasar di Baghdad serta menewaskan banyak penduduk sipil[5].
Serangan AS ke Kosovo
Perang Kosovo ditandai dengan serangan militer yang dilakukan oleh NATO dibawah pimpinan AS atas Federal Republic of Yugoslavia (FRY) atau yang biasa disebut dengan nama Yugoslavia pada tanggal 24 Maret hingga 10 Juni 1999. Dalam perang ini NATO melakukan penyerangan terhadap penduduk dan militer Yugoslavia, berdasarkan pada Sekretaris Pertahanan AS Cohen mengatakan bahwa dalam mencapai tujuan dan maksudnya, NATO dalam kampanye 78 hari di Kosovo melaksanakan 37.225 sortie penerbangan untuk melakukan serangan udara NATO untuk melakukan serangan ke Pasukan Serbia dan memaksanya keluar dari Kosovo. Kemudian AS menerapkan resolusi DK PBB nomor 1244 tahun 1999 yang menempatkan Kosovo di bawah mandat PBB[6].
Dalam Konflik di Kosovo ini antara AS dan FRY disinyalir sama-sama melanggar beberapa aturan perang seperti yang tertuang dalam Konvensi Jenewa tahun 1949. Hal tersebut terlihat dari beberapa korban penduduk sipil yang notabene merupakan objek yang harus dilindungi dalam sebuah peperangan akan tetapi justru menjadi sasaran dalam beberapa serangan yang dilakukan oleh AS dan merupakan korban ethnic cleansing campaign FRY.
Analisis
Melihat dua case studies dari invasi AS ke Irak dan serangan AS ke Kosovo kita analisis dari sudut pandang hukum yang menentukan alasan-alasan yang sah bagi sebuah negara untuk berperang atau jus ad bellum dan memfokuskan pada kriteria tertentu yang membuat sebuah perang menjadi dibenarkan.
Jus ad Bellum – Invasi AS ke Irak
Dalam kasus invasi AS ke Irak pada tahun 2003, pemerintahan Bush mempunyai alasan-alasan (just cause) untuk melakukan serangannya ke Irak diantaranya adalah menghentikan poliferasi dan menghancurkan senjata pemusnah massal di Irak. Namun alasan ini dipercaya oleh dunia internasional hanya sebagai kedok saja, hal ini diperkuat dari hasil pemeriksaan tim PBB di Irak yang tidak menemukan bukti tentang poliferasi senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan oleh AS. Walaupun tidak ditemukan bukti, hal tersebut tidak mengurangi niat AS untuk melakukan tindakan sepihak menyerang Irak. Disinilah adanya suatu yang bertentangan dengan jus ad bellum atau alasan AS dalam melakukan serangan ke Irak tidak memenuhi persyaratan untuk dinyatakan sebagai perang yang sah (just war).
Seandainya memang terdapat poliferasi senjata pemusnah massal dilakukan oleh Irak, pihak AS pun tidak boleh serta merta memiliki otoritas untuk melakukan serangan terhadap Irak yang oleh AS ditafsirkan sebagai konsekuensi serius secara sepihak. Serangan AS terhadap Irak sebagai upaya Last Resort juga tidak diterima karena masih ada cara lain yang dapat diterapkan karena informasi mengenai senjata pemusnah massal di Irak belum terbukti. Secara aturan sesuai dengan pasal 41 Piagam PBB bahwa konsekuensi serius merupakan suatu tahapan berikutnya yang ditafsirkan oleh PBB bahwa dalam hal ini Dewan Keamanan akan melakukan tindakan di luar kekuatan bersenjata agar keputusan PBB dapat dilaksanakan sebagai keputusan dari konsekuensi serius sebagai contoh pemutusan seluruh atau sebagian hubungan ekonomi apabila tidak mencukupi dan harus menggunakan kekuatan bersenjata itupun baru dapat melaksanakan tahapan blokade darat, laut atau udara. Jadi dapat disimpulkan bahwa serangan AS terhadap Irak yang kemudian dapat dikatakan sebagai invasi militer belum memenuhi persyaratan sebagai mana yang dimaksud dalam jus ad bellum karena serangan atau aksi militer yang dilakukan AS tidak dapat ditafsirkan sebagai wujud konsekuensi serius sebagaimana yang diamanatkan oleh PBB. Oleh karena itu tindakan AS dalam melakukan invasi ke Irak dapat dinyatakan sebagai tindakan illegal.
Kriteria proportionality yang diterapkan pihak AS dalam invasinya ke Irak tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Dalam konflik bersenjata, prinsip ini digunakan untuk menentukan keabsahan tujuan-tujuan strategis menggunakan kekuatan bersenjata untuk membela diri menurut hukum penggunaan kekuatan bersenjata (jus ad bellum)[7]. Prinsip proporsionalitas juga berperan kapanpun terjadi kerusakan imbasan yang tidak diinginkan (collateral damage), yaitu korban sipil atau kerusakan pada sasaran non-militer.
Dalam kriteria proper authority juga dinyatakan bahwa tindakan AS ke Irak tidak mendapat persetujuan resmi dari PBB, padahal pemegang mandat yang sah adalah Dewan Keamanan PBB sehingga tindakan AS dalam invasi ke Irak dapat dinyatakan sebagai tindakan illegal atau tidak sah secara jus ad bellum. Merujuk pada probability of success, AS sendiri tidak dapat menentukan apakah dengan menemukan dan memusnahkan poliferasi senjata pemusnah massal merupakan keberhasilan, kemudian pada kenyataannya memang tidak dapat ditemukan senjata yang dimaksud. Justru yang terjadi AS mempunyai tujuan yang lain yaitu penguasaan hegemoni ekonomi melalui sumber-sumber minyak di Irak. Merujuk data yang ada maka harapan yang masuk akal bahwa perang Irak akan berhasil menjadi kabur dan tidak tercapai.
Jus ad Bellum – Serangan AS ke Kosovo
Dalam kasus serangan yang dilakukan NATO di bawah pimpinan AS di Kosovo dalam rangka melakukan penyerangan terhadap Federal Republic of Yugoslavia (FRY) yang menduduki kota Kosovo yang notabene memiliki 90% komunitas orang Albania yang beragama muslim. AS dipercaya mempunyai sebuah just cause dan memiliki kriteria tersendiri sebagai alasan yang digunakan sebagaimana yang dikriteriakan dalam jus ad bellum. Alasan tersebut yang dikemukakan adalah mempunyai motivasi yang murni tanpa mementingkan diri sendiri dengan mengatasnamakan melakukan tindakan penyelamatan terhadap penduduk Kosovo dari tindakan yang brutal yang dilakukan oleh pihak FRY.
Merujuk kepada proper authority tindakan yang diambil NATO dalam penyerangan ke Kosovo masih menyimpan keraguan. Hal tersebut dihubungan dengan kewenangan politik untuk penggunaan kekuatan melalui sebagai pemegang mandate secara sah adalah Dewan Keamanan PBB, bukan NATO maupun AS, dimana dalam kasus ini DK PBB tidak memberikan mandat meskipun secara implicit. Oleh karena itu serangan yang dilakukan oleh NATO, dalam hal ini AS dapat dinyatakan sebagai serangan yang tidak sah yang dilakukan oleh suatu negara sebagai alasan dalam berperang.
Apakah serangan yang dilakukan oleh NATO-AS ke Kosovo merupakan sebuah last resort?. Sebelumnya usaha-usaha pencegahan dengan tujuan untuk terjadinya suatu perang dengan menggunakan kekuatan bersenjata telah di laksanakan, seperti halnya berbagai perundingan dan gencatan senjata telah dicoba oleh pihak FRY dengan KLA (Kosovo Liberation Army). Oleh karenanya, sebetulnya kasus Serangan NATO-AS yang terjadi di Kosovo seharusnya masih dapat dicegah, karena masih dapat dilakukan cara-cara negoisasi lanjutan antara FRY dan KLA untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di Kosovo. Dilihat dari cara pandang proportionality (proporsionalitas), serangan NATO-AS ke Kosovo dinilai keluar dari batas proporsionalitas bahkan menambah situasi yang lebih buruk dari apa yang diharapkan.  
Jus in Bello – Invasi AS ke Irak 2003
Ketika peperangan dimulai, serangkaian hukum diberlakukan dengan tujuan untuk mengatur bagaimana perang dilakukan. Semenjak invasi AS di tahun 2003, lebih dari satu juta rakyat Irak terbunuh[8]. Para korban yang meninggal banyak yang berasal dari penduduk sipil, hal ini terjadi seperti pada kasus pemboman yang terjadi di sebuah pasar di Irak atau sebagai akibat dari serangan pesawat-pesawat pembom AS dalam operasi serangan udara yang menimbulkan korban jiwa di kalangan penduduk sipil. Dari data tersebut menunjukkan bahwa invasi AS ke Irak telah menyebabkan jutaan rakyat Irak menjadi korban dan hal itu bertentangan dengan hukum Humaniter Internasional serta tidak memenuhi dalam kriteria non-combatant immunity.
Tindakan yang dilakukan AS juga melanggar Konvensi Jenewa tahun 1949, dimana AS tidak memberikan perlindungan bagi penduduk sipil karena banyak korban sipil berjatuhan manakala terjadi serangan udara yang di lakukan oleh AS. Seharusnya AS dapat membedakan antara penduduk sipil yang notabene tidak kombatan dengan para kombatan. Penyiksaan dan perlakuan kejam juga dilakukan oleh tentara-tentara AS terhadap para tawanan perang Irak, tentu daja hal tersebut melanggar Konvensi Jenewa tahun 1949 dan declaration of Human Right atau pernyataan dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia.
Serangan AS di beberapa tempat di Irak bila dikaitkan dengan prinsip proporsionality, maka kerusakan imbasan (collateral damage) yaitu korban sipil dan sasaran non-militer, seperti hal nya pasar, perumahan penduduk, maka sangat bertentangan dengan proporsionalitas karena serangan tersebut dinyatakan tidak sah secara hukum. Berbeda apabila sasaran tersebut adalah sasaran militer yang dinyatakan sah secara hukum.
Jus in Bello – Serangan AS ke Kosovo
Dalam kasus serangan AS ke Kosovo selama 78 hari waktu kampanyenya,  NATO- AS telah melakukan pengeboman melalui serangan – serangan udara secara besar-besaran di Kosovo. Korban dari pihak penduduk sipilpun berjatuhan. Perlindungan yang seharusnya di berikan terhadap penduduk sipil tidak dapat diberikan sehingga kejadian tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kriteria jus in bello khususnya hukum yang mengatur tentang perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang yang tertuang dalam Konvensi Jenewa tahun 1949.
Penggunaan Bom cluster yang diusung oleh pesawat A-10 milik AS bertentangan dengan kriteria prohibited weaponary selam pelaksanaan perang. Bom yang dimaksud dalam serangan AS di Kosovo menggunakan cluster bomb berjenis BL. 755 atau US CBU87B, dimana bom jenis ini dilarang karena dapat menimbulkan kesengsaraan bagi korban perang. Serangan udara AS juga bertentangan dengan kriteria prohibited target, karena target atau sasaran AS masih terdapat sasaran sipil di luar dari target militer seperti halnya dengan sasaran yang mengenai rumah sakit, beberapa kantor kedutaan besar seperti Swiss dan Swedia yang notabene dilindungi dalam hukum perang.
Merujuk kepada kriteria proportionality dalam jus in bello serangan AS tersebut keluar dari kriteria, hal tersebut dapat dilihat dari timbulnya collateral damage yang menimbulkan korban-korban sipil dan bangunan infrastruktur non-militer. Perlu digarisbawahi di sini dengan kejadian tersebuut maka NATO-AS tidak dapat memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil.
Beranjak dari analisis kasus invasi AS ke Irak dan serangan AS ke Kosovo berdasarkan prinsip jus ad bellum dan jus in bello, maka dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini apakah AS dalam penggunaan kekuatan bersenjata telah memenuhi kriteria-kriteria sebagai perang yang sah atau tidak.
Tabel Kriteria Pelaksanaan Serangan AS ke Irak dan Kosovo

IRAK
KOSOVO
Jus ad Bellum
Just Cause/ittention
Tidak
Memenuhi
Just Authority
Tidak
Tidak
Last Resort
Tidak
Tidak
Proportionality
Tidak
Tidak
Probability of Success
Tidak
Tidak
Jus in Bello
Just Authority
Tidak
Tidak
Non-combatant immunity
Tidak
Tidak
Proportionality
Tidak
Tidak
Prohibit Target
Tidak
Tidak
Prohibited Weaponary
Tidak
Tidak

Kesimpulan
Melihat jejak rekam AS dalam invasi ke Irak dan serangan ke Kosovo, ditinjau dari just war maupun unjustwar, maka tindakan AS dapat dinyatakan sebagai tindakan yang secara tidak sah dalam pelaksanaan perang. Seperti yang tertera dalam tabel di atas dari sekian kriteria mayoritas tindakan AS tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan hukum-hukum perang baik sesuai Konvensi Jenewa tahun 1949 maupun hukum Hague.
Dari kedua kasus dapat diambil beberapa intisari bahwa tindakan AS menunjukkan negara tersebut mempunyai pengaruh yang besar dalam menjalankan politik luar negerinya. Terlepas dari tidak adanya restu secara resmi dari PBB dan mendahulukan tindakan dengan menggunakan kekuatan bersenjata sebagai last resort, yang sesungguhnya masih ada cara lain dapat ditempuh dalam mengatasi permasalahan baik di Irak dan Kosovo yang bisa menghindari korban penduduk sipil yang lebih banyak.
Demikian pembahasan dalam tulisan ini guna memberikan gambaran tentang invasi AS ke Irak dan serangan AS ke Kosovo dilihat dari penyelenggaraan sesuai dengan hukum perang yang adil (just war) maupun tidak benar (unjust war) sebagai bagian dari implementasi hukum-hukum perang yang berlaku sekarang ini. Melalui pembahasan ini dapat diambil intisari bahwa partisipasi PBB sebagai badan dunia yang memiliki autoritas besar dalam menangani permasalahan dan pertikaian maupun konflik yang melibatkan negara-negara di dunia harus lebih aktif kembali serta dapat menunjukkan kenetralan tanpa ada intervensi dari negara-negara besar seperti halnya AS. Kemudian adanya peran aktif PBB dalam menyoroti permasalahan penerapan hukum humaniter internasional dalam rangka melindungi rakyat yang menjadi korban dalam pertikaian bersenjata seperti halnya di Irak dan Kosovo.



Daftar Pustaka

Cahyo, Agus N. 2012. Perang-Perang Paling Fenomenal. Yogyakarta: Buku Biru.

Departemen Kehakiman RI. 1999. Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949. Jakarta: Departemen Kehakiman RI.

Goldstein, Cora Sol. 2012. Just War Theory and Democratization by Force. Military Review. Edisi September-Oktober 2012.

Gutman, Roy dan David Rieff. 2004. Crimes of War: What the Public Should Know. Jakarta: PJTV.

Jusanda, Hendra. 2008. Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak Ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional dalam skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Moller, Bjorn. 2000. Kosovo and The Just War Tradition. Dalam artikel untuk Commision on Internal Conflict.

Sukma, Rizal. 2003. Keamanan Internasional Pasca-11 September 2001: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional.


Internet




[1] Agus N. Cahyo. 2012. Perang-Perang Paling Fenomenal. Jogjakarta: Buku Biru. Hlm 15.
[2]. Ibid. Hlm 208.
[3] Rizal Sukma (2003), Keamanan Internasional Pasca-11 September 2001: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional. http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Keamanan%20Intl%20-%20rizal%20sukma.pdf
[4] CCR adalah gabungan sejumlah LSM Dan tokoh masyarakat di AS.
[5] Hendra Jusanda. 2008. Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak Ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional dalam skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
[8] Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Opinion Research Business (ORB), sebuah lembaga suvey Inggris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar