Sabtu, 10 Agustus 2013

STRATEGI ASIMETRIK


MEMAHAMI KEMBALI STRATEGI ASIMETRIK DALAM SEBUAH PEPERANGAN
Sigit Sasongko

1.        Pendahuluan
           Perang sering ditempuh sebagai jalan akhir dari sebuah konflik apabila berbagai upaya diplomasi tidak menemui titik temu yang diinginkan oleh kedua pihak yang bertikai. Dalam perang selalu terdapat perbedaan antara kedua aktor yang bermusuhan, baik itu kepentingan, maupun cara dan peralatan yang digunakan. Namun, apa jadinya bila kedua pihak tersebut terdapat gap atau perbedaan yang sangat jauh dalam hal kemampuan maupun infrastruktur yang digunakan di mana pihak yang kuat akan berada di posisi yang menguntungkan dan pihak lemah diposisi sebaliknya sebagai pihak yang kurang menguntungkan. Secara perhitungan kasat mata hampir dapat dipastikan bahwa pihak yang mempunyai kekuatan besarlah yang akan memenangkan konflik atau perang tersebut. Pernyataan tersebut tidaklah seratus persen dapat dibenarkan, manakala pihak yang lemah mampu mengembangkan strateginya untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mengeksploitasi kelemahan dan kerawanan yang dimiliki oleh pihak kuat. Strategi-strategi inilah yang dijadikan sebagai pijakan berpikir oleh pihak lemah untuk meraih kemenangan dalam sebuah perang asimetrik.

          Berpikir asimetrik dalam sebuah strategi perang maupun peperangan menjadi sebuah jalan yang ditempuh sebagai bagian strategi untuk mendapatkan kemenangan manakala penggunaan perlawanan konvensional tidak bisa diterapkan karena memiliki kecenderungan membutuhkan kekuatan dan kemampuan yang seimbang. Strategi asimetrik bukanlah sesuatu hal yang baru karena tumbuh dan berkembang seumur dengan munculnya perang itu sendiri, bahkan ahli perang China, Sun Tzu, pernah menulis sebagai berikut:
“All warfare is based on deception. When confronted with an enemy one should offer the enemy a bait to lure him; feign disorder and strike him. When he concentrates, prepare against him; where he is strong. Avoid him.[1]”   

2.         Memahami Strategi Asimetrik Negatif dan Positif    
        Sejarah telah mencatat, beberapa aktor menerapkan strategi asimetrik dalam peperangan di dunia ini seperti halnya para gerilyawan Vietcong mampu memberikan perlawanan terhadap pasukan Amerika Serikat (AS) yang notabene lebih baik dari segi kualitas maupun kuantitas dari arsenal yang digunakan. Namun, gerilyawan Vietcong mampu memberikan perlawanan secara baik di medan pertempuran. Strategi asimetrik berupa perlawanan secara bergerilya dengan membuat terowongan-terowongan kecil (Rat Tunnels) mampu memberikan daya gempur yang besar terhadap pasukan AS. Akibatnya, AS harus berpikir ulang secara mendalam strategi yang digunakan untuk menghadapi pasukan gerilyawan Vietcong tersebut. Tidak hanya pertempuran bersenjata yang berhasil membuat kalang kabut pasukan AS, perang psikologis dengan memainkan peranan media juga dapat dimanfaatkan secara baik oleh pihak Vietcong. Pemuatan foto-foto tentang penderitaan rakyat Vietnam akibat perang dimanfaatkan secara baik yang kemudian membuat publik atau masyarakat AS sendiri melakukan penolakan secara besar-besaran terhadap perang Vietnam tersebut. Dari kasus perang Vietnam, dapat kita lihat bahwa gerilyawan Vietcong sebagai pihak yang lemah mampu memberikan perlawanan secara baik dengan memanfaatkan kelemahan dan kerawanan yang dimiliki pasukan AS. Demikian juga ketika rakyat Indonesia dalam perang kemerdekaan, pasukan Jenderal Sudirman mampu memberikan perlawanan bernilai strategis terhadap pasukan Belanda dengan menerapkan strategi perang bergerilya dengan memanfaatkan kelemahan pihak pasukan Belanda. Pemanfaatan strategi asimetrik dengan cara mengeksploitasi kelemahan dan kerawanan lawan lebih sering disebut sebagai strategi asimetrik negatif (negative asymmetry).
     Berpikir asimetrik bukan hanya milik pihak atau aktor yang lemah saja. Aktor kuatpun dapat mengembangkan pemikiran asimetriknya melalui pemanfaatan kekuatan sendiri dengan memaksimalkan keuntungan yang dimiliki untuk mencapai inisiatif maupun mendapatkan kebebasan yang lebih besar dalam bertindak. Strategi dengan memanfaatkan keuntungan yang dimiliki dan memaksimalkan keunggulan sering disebut sebagai stategi asimetrik positif (positive asymmetry). Strategi militer AS, misalnya, menempatkan nilai besar pada pelatihan yang unggul, kepemimpinan, dan teknologi. Strategi ini bertujuan untuk mempertahankan keunggulan yang dimiliki maupun memanfaatkannya secara maksimal dalam menghadapi pihak yang lebih lemah.[2] Mengacu kepada lawan-lawan AS yang memiliki kecenderungan melakukan perlawanan secara asimetrik, mengeksploitasi kelemahan yang dimiliki, memanfaatkan kerawanan dan kelengahan pasukan AS, membuat AS menaruh perhatian yang besar dalam menerapkan strategi menghadapi musuh-musuh asimetriknya. Ketika melawan ancaman asimetris, memahami apakah strategi asimetri tersebut memang disengaja atau sebagai standar yang telah dipersiapkan adalah sesuatu hal yang penting, karena musuh yang menggunakan strategi asimetrik yang telah dipersiapkan kemungkinan lebih untuk melakukan penyesuaian dalam menghadapi strategi dari aktor yang lebih kuat, dengan demikian aktor kuat memerlukan strategi yang lebih fleksibel untuk melawan ancaman asimetris dari lawannya. Sebagai contoh ketika AS melakukan pengeboman di pegunungan Tora Bora, Afghanistan dalam pencarian dan misi penangkapan Osama Bin Laden. Selain mengandalkan kecanggihan teknologi pesawatnya dalam pengeboman, AS tetap melibatkan pasukan khususnya yang tergabung dalam operasi khusus untuk mengecek secara nyata di lapangan sebagai bagian dari fungsi Bomb Damage Assessment (BDA). Hal ini dilakukan sebagai jawaban strategi asimetrik pasukan Osama yang sering mengelabui pencitraan satelit atau drone yang digelar AS dengan jalan kamuflase target-target yang dianggap sebagai tempat persembunyian Osama. Strategi asimetrik positif AS adalah dengan melibatkan pasukan khusus untuk mengecek betul apakah target tersebut berhasil atau gagal dihancurkan dengan pengeboman.
3.         Indonesia dan Strategi Asimetriknya
            Dengan belajar dari beberapa kasus diatas, Indonesia haruslah dapat mengambil esensi dari penerapan strategi asimetrik baik positif maupun negatif. Hal tersebut dapat dilihat karena Indonesia dapat diposisikan sebagai pihak yang kuat maupun sebagai pihak yang lemah dalam suatu konflik atau peperangan. Sebagai pihak yang lemah manakala Indonesia berhadapan dengan negara seperti China dalam kasus sengketa Laut China Selatan (LCS). Kekuatan militer Indonesia yang jauh di bawah China akan menempatkan Indonesia menjadi inferiority. Dalam sengketa LCS ini Indonesia harus jeli karena kecil kemungkinan memenangkan peperangan ketika berhadapan secara langsung (direct approach) melalui pertempuran bersenjata dengan China. Untuk itu metode-metode asimetriklah yang harus digunakan dalam menghadapi kekuatan besar China. Meminjam konsep dari Arreguin-Toft, pihak lemah memiliki espektasi atau harapan memenangkan peperangan dengan pihak kuat dengan jalan menerapkan strategi indirect approach.[3] Dalam kasus LCS, Indonesia bisa mengedepankan kekuatan diplomasi yang bersifat soft power atau smart power secara maksimal bila sengketa LCS mengancam kedaulatan NKRI.
           Lain halnya ketika Indonesia sebagai aktor negara berhadapan dengan terorisme atau insurgensi di dalam negeri. Dalam kasus ini Indonesia berada dalam posisi sebagai pihak yang lebih kuat sehingga diharapkan mampu menerapkan strategi asimetrik positifnya secara maksimal, mengingat terorisme dan insurgensi memiliki kecenderungan menerapkan strategi asimetriknya dengan memanfaatkan kelemahan dan kerawanan dari pemerintah. Dalam konsep Arreguin-Toft, ketika pihak lemah menggunakan pendekatan langsung, maka pihak kuat dapat melakukan pendekatan langsung juga karena harapan memperoleh kemenangan lebih besar bagi pihak kuat. Hal ini dapat digunakan pemerintah dalam menghadapi terorisme, ketika mereka melakukan strategi perlawanannya dengan menggunakan pendekatan langsung berupa serangan-serangan langsung, maka pemerintah dapat menerapkan pendekatan langsung berupa penggunaan hard power seperti pelibatan Densus 88 Polri maupun Satgas Gultor TNI, dan tentunya aplikasi pendekatan ini dibatasi penggunaannya dalam kondisi yang paling darurat dengan tetap menjunjung tinggi pada code of conduct (CoC) maupun Rule of Engagement (RoE) dalam pelaksanaannya. Namun, organisasi teroris bukanlah lawan yang mudah untuk diberantas, mereka terus menerus menggunakan strategi, taktik, dan metode tertutup (klandestin) dengan bergerilya dalam menyebarkan ajaran dan perekrutan anggotanya hingga berusaha memperoleh hati dan pikiran masyarakat Indonesia dengan ideologi yang ditawarkan. Strategi asimetrik positif yang harus dikembangkan adalah dengan mengoptimalkan kemampuan melakukan pendekatan secara tidak langsung melalui penerapan soft power dengan jalan salah satunya melalui program deradikalisasi, mengoptimalkan penerapan interagency dan mengedepankan fungsi intelijen serta pembinaan masyarakat. Pendekatan secara lunak ini lebih diterima oleh masyarakat dan lebih efektif dalam pemberantasan terorisme hingga ke akarnya.
4.         Kesimpulan
            Strategi negatif asimetrik yang dikedepankan oleh pihak lemah tidaklah mudah untuk diberantas atau dihilangkan. Akan tetapi dapat dikurangi bila mampu menerapkan strategi asimetrik positif secara optimal melalui organisasi, teknologi, strategi, dan doktrin yang mudah beradaptasi, fleksibel dan strategis guna menghadapi ancaman asimetris. Pemanfaatan strategi asimetris positif akan memberikan keuntungan dan keunggulan manakala pihak kuat mampu menyempurnakan pemahamannya tentang bagaimana menghadapi ancaman asimetris. Pemahaman tersebut harus melingkupi bagaimana mengadopsi definisi yang lebih luas mengenai asimetrik secara umum dan menyeluruh yang dapat digunakan sebagai dasar maupun pondasi dalam menyusun sebuah doktrin peperangan asimetrik. Hal yang lebih penting untuk lebih memahami tentang penerapan strategi asimetrik adalah dengan mengintegrasikan konsep-konsep yang meliputi; memahami posisi kita dan lawan yang dihadapi (apakah kita sebagai pihak yang kuat atau lemah) dengan memaksimalkan kemampuan beradaptasi dan fleksibilitas dalam menghadapi ancaman asimetris; memaksimalkan dan memfokuskan kinerja intelijen sehingga mampu meminimalisir kerawanan yang dimiliki; memahami betul tentang bagaimana memosisikan dimensi strategi asimetrik secara positif maupun negatif; dan mengintegrasikan seluruh komponen pemerintah dengan mengembangkan pola kerjasama interagency melalui instansi/lembaga negara maupun non-negara secara komprehensif sebagai aplikasi dari sebuah pertahanan negara dalam menghadapi ancaman asimetris.

Daftar Pustaka

Arreguin-Toft, Ivan. 2001.How the Weak Win Wars, dalam Jurnal International Security, Vol.26, No 1.

Dephan RI, 2008. Buku Putih Pertahanan RI 2008. Jakarta: Dephan RI.

Djelantik, Sekarwani. 2010. Terorisme, Tinjauan Psiko-politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Griffith, Samuel B. (trans). 1971.  Sun Tzu, The Art of War. London: Oxford University Press.

Kiras, James D. 2007. “Irregular Warfare: Terrorism and Isurgency”, dalam John Baylishlm, Strategy in the Contemporary World: An Introduction to Strategic Studies, Second Edition, Oxford University Press.

Metz, Steven and Douglas V. Johnson II. 2001. Asymmetry and U.S Strategy: Definition, Background, and Strategy Concepts. Carlisle, Pa.: US Army Strategic Studies Institute

Routledge. 2012. The Mililtary Balance 2012. UK: Routledge.

Thornton, Rod. 2007. Asymmetric Warfare. UK: Polity Press.




[1] Samuel B. Griffith (trans). 1971.  Sun Tzu, The Art of War. London: Oxford University Press. Hal. 66-67.
[2] Lihat Steven Metz and Douglas V. Johnson II. 2001.Asymmetry and U.S Strategy: Definition, Background, and Strategy Concepts. Carlisle, Pa.: US Army Strategic Studies Institute. Hal. 6.
[3] Lihat Ivan Arreguin Toft. 2008. How the Weak Win Wars A Theory Asymmetric Conflict. UK: Cambridge University Press.

1 komentar: