MEMAHAMI KEMBALI STRATEGI ASIMETRIK
DALAM SEBUAH PEPERANGAN
Sigit
Sasongko
1. Pendahuluan
Perang sering ditempuh sebagai jalan
akhir dari sebuah konflik apabila berbagai upaya diplomasi tidak menemui titik
temu yang diinginkan oleh kedua pihak yang bertikai. Dalam perang selalu
terdapat perbedaan antara kedua aktor yang bermusuhan, baik itu kepentingan,
maupun cara dan peralatan yang digunakan. Namun, apa jadinya bila kedua pihak
tersebut terdapat gap atau perbedaan
yang sangat jauh dalam hal kemampuan maupun infrastruktur yang digunakan di
mana pihak yang kuat akan berada di posisi yang menguntungkan dan pihak lemah
diposisi sebaliknya sebagai pihak yang kurang menguntungkan. Secara perhitungan
kasat mata hampir dapat dipastikan bahwa pihak yang mempunyai kekuatan besarlah
yang akan memenangkan konflik atau perang tersebut. Pernyataan tersebut
tidaklah seratus persen dapat dibenarkan, manakala pihak yang lemah mampu
mengembangkan strateginya untuk mendapatkan keuntungan dengan cara
mengeksploitasi kelemahan dan kerawanan yang dimiliki oleh pihak kuat. Strategi-strategi
inilah yang dijadikan sebagai pijakan berpikir oleh pihak lemah untuk meraih
kemenangan dalam sebuah perang asimetrik.
Berpikir asimetrik dalam sebuah
strategi perang maupun peperangan menjadi sebuah jalan yang ditempuh sebagai
bagian strategi untuk mendapatkan kemenangan manakala penggunaan perlawanan
konvensional tidak bisa diterapkan karena memiliki kecenderungan membutuhkan kekuatan
dan kemampuan yang seimbang. Strategi asimetrik bukanlah sesuatu hal yang baru
karena tumbuh dan berkembang seumur dengan munculnya perang itu sendiri, bahkan
ahli perang China, Sun Tzu, pernah menulis sebagai berikut:
“All
warfare is based on deception. When confronted with an enemy one should offer
the enemy a bait to lure him; feign disorder and strike him. When he
concentrates, prepare against him; where he is strong. Avoid him.[1]”
2. Memahami Strategi Asimetrik Negatif dan
Positif
Sejarah telah mencatat, beberapa aktor
menerapkan strategi asimetrik dalam peperangan di dunia ini seperti halnya para
gerilyawan Vietcong mampu memberikan perlawanan terhadap pasukan Amerika
Serikat (AS) yang notabene lebih baik dari segi kualitas maupun kuantitas dari
arsenal yang digunakan. Namun, gerilyawan Vietcong mampu memberikan perlawanan
secara baik di medan pertempuran. Strategi asimetrik berupa perlawanan secara
bergerilya dengan membuat terowongan-terowongan kecil (Rat Tunnels) mampu memberikan daya gempur yang besar terhadap
pasukan AS. Akibatnya, AS harus berpikir ulang secara mendalam strategi yang
digunakan untuk menghadapi pasukan gerilyawan Vietcong tersebut. Tidak hanya
pertempuran bersenjata yang berhasil membuat kalang kabut pasukan AS, perang
psikologis dengan memainkan peranan media juga dapat dimanfaatkan secara baik
oleh pihak Vietcong. Pemuatan foto-foto tentang penderitaan rakyat Vietnam akibat
perang dimanfaatkan secara baik yang kemudian membuat publik atau masyarakat AS
sendiri melakukan penolakan secara besar-besaran terhadap perang Vietnam tersebut.
Dari kasus perang Vietnam, dapat kita lihat bahwa gerilyawan Vietcong sebagai
pihak yang lemah mampu memberikan perlawanan secara baik dengan memanfaatkan
kelemahan dan kerawanan yang dimiliki pasukan AS. Demikian juga ketika rakyat
Indonesia dalam perang kemerdekaan, pasukan Jenderal Sudirman mampu memberikan
perlawanan bernilai strategis terhadap pasukan Belanda dengan menerapkan
strategi perang bergerilya dengan memanfaatkan kelemahan pihak pasukan Belanda.
Pemanfaatan strategi asimetrik dengan cara mengeksploitasi kelemahan dan
kerawanan lawan lebih sering disebut sebagai strategi asimetrik negatif (negative asymmetry).
Berpikir asimetrik bukan hanya milik
pihak atau aktor yang lemah saja. Aktor kuatpun dapat mengembangkan pemikiran
asimetriknya melalui pemanfaatan kekuatan sendiri dengan memaksimalkan
keuntungan yang dimiliki untuk mencapai inisiatif maupun mendapatkan kebebasan
yang lebih besar dalam bertindak. Strategi dengan memanfaatkan keuntungan yang
dimiliki dan memaksimalkan keunggulan sering disebut sebagai stategi asimetrik
positif (positive asymmetry). Strategi
militer AS, misalnya, menempatkan nilai besar pada pelatihan yang unggul,
kepemimpinan, dan teknologi. Strategi ini bertujuan untuk mempertahankan
keunggulan yang dimiliki maupun memanfaatkannya secara maksimal dalam
menghadapi pihak yang lebih lemah.[2]
Mengacu kepada lawan-lawan AS yang memiliki kecenderungan melakukan perlawanan
secara asimetrik, mengeksploitasi kelemahan yang dimiliki, memanfaatkan
kerawanan dan kelengahan pasukan AS, membuat AS menaruh perhatian yang besar
dalam menerapkan strategi menghadapi musuh-musuh asimetriknya. Ketika melawan
ancaman asimetris, memahami apakah strategi asimetri tersebut memang disengaja
atau sebagai standar yang telah dipersiapkan adalah sesuatu hal yang penting,
karena musuh yang menggunakan strategi asimetrik yang telah dipersiapkan kemungkinan
lebih untuk melakukan penyesuaian dalam menghadapi strategi dari aktor yang
lebih kuat, dengan demikian aktor kuat memerlukan strategi yang lebih fleksibel
untuk melawan ancaman asimetris dari lawannya. Sebagai contoh ketika AS
melakukan pengeboman di pegunungan Tora Bora, Afghanistan dalam pencarian dan
misi penangkapan Osama Bin Laden. Selain mengandalkan kecanggihan teknologi
pesawatnya dalam pengeboman, AS tetap melibatkan pasukan khususnya yang
tergabung dalam operasi khusus untuk mengecek secara nyata di lapangan sebagai
bagian dari fungsi Bomb Damage Assessment
(BDA). Hal ini dilakukan sebagai jawaban strategi asimetrik pasukan Osama yang
sering mengelabui pencitraan satelit atau drone yang digelar AS dengan jalan
kamuflase target-target yang dianggap sebagai tempat persembunyian Osama.
Strategi asimetrik positif AS adalah dengan melibatkan pasukan khusus untuk
mengecek betul apakah target tersebut berhasil atau gagal dihancurkan dengan
pengeboman.
3. Indonesia dan Strategi Asimetriknya
Dengan belajar dari
beberapa kasus diatas, Indonesia haruslah dapat mengambil esensi dari penerapan
strategi asimetrik baik positif maupun negatif. Hal tersebut dapat dilihat
karena Indonesia dapat diposisikan sebagai pihak yang kuat maupun sebagai pihak
yang lemah dalam suatu konflik atau peperangan. Sebagai pihak yang lemah
manakala Indonesia berhadapan dengan negara seperti China dalam kasus sengketa
Laut China Selatan (LCS).
Kekuatan militer Indonesia yang jauh di bawah China akan menempatkan Indonesia
menjadi inferiority.
Dalam sengketa LCS ini Indonesia harus jeli karena kecil kemungkinan
memenangkan peperangan ketika berhadapan secara langsung (direct approach) melalui pertempuran bersenjata dengan China. Untuk
itu metode-metode asimetriklah yang harus digunakan dalam menghadapi kekuatan
besar China. Meminjam konsep dari Arreguin-Toft, pihak lemah memiliki espektasi
atau harapan memenangkan peperangan dengan pihak kuat dengan jalan menerapkan
strategi indirect approach.[3]
Dalam kasus LCS, Indonesia bisa mengedepankan kekuatan diplomasi yang bersifat soft power
atau smart power
secara maksimal bila sengketa LCS mengancam kedaulatan NKRI.
Lain halnya ketika Indonesia sebagai
aktor negara berhadapan dengan terorisme atau insurgensi di dalam negeri. Dalam
kasus ini Indonesia berada dalam posisi sebagai pihak yang lebih kuat sehingga diharapkan
mampu menerapkan strategi asimetrik positifnya secara maksimal, mengingat
terorisme dan insurgensi memiliki kecenderungan menerapkan strategi
asimetriknya dengan memanfaatkan kelemahan dan kerawanan dari pemerintah. Dalam
konsep Arreguin-Toft, ketika pihak lemah menggunakan pendekatan langsung, maka
pihak kuat dapat melakukan pendekatan langsung juga karena harapan memperoleh
kemenangan lebih besar bagi pihak kuat. Hal ini dapat digunakan pemerintah
dalam menghadapi terorisme, ketika mereka melakukan strategi perlawanannya
dengan menggunakan pendekatan langsung berupa serangan-serangan langsung, maka
pemerintah dapat menerapkan pendekatan langsung berupa penggunaan hard power seperti pelibatan Densus 88
Polri maupun Satgas Gultor TNI, dan tentunya aplikasi pendekatan ini dibatasi penggunaannya dalam kondisi
yang paling darurat dengan tetap menjunjung tinggi pada code of conduct (CoC) maupun Rule
of Engagement (RoE) dalam pelaksanaannya. Namun, organisasi teroris
bukanlah lawan yang mudah untuk diberantas, mereka terus menerus menggunakan
strategi, taktik, dan metode tertutup (klandestin) dengan bergerilya dalam
menyebarkan ajaran dan perekrutan anggotanya hingga berusaha memperoleh hati
dan pikiran masyarakat Indonesia dengan ideologi yang ditawarkan. Strategi
asimetrik positif yang harus dikembangkan adalah dengan mengoptimalkan
kemampuan melakukan pendekatan secara tidak langsung melalui penerapan soft power dengan jalan salah satunya melalui
program deradikalisasi, mengoptimalkan penerapan interagency dan mengedepankan fungsi intelijen serta pembinaan
masyarakat. Pendekatan secara lunak ini lebih diterima oleh masyarakat dan
lebih efektif dalam pemberantasan terorisme hingga ke akarnya.
4. Kesimpulan
Strategi negatif asimetrik yang dikedepankan oleh pihak
lemah tidaklah mudah untuk diberantas atau dihilangkan. Akan tetapi dapat
dikurangi bila mampu menerapkan strategi asimetrik positif secara optimal
melalui organisasi, teknologi, strategi, dan doktrin yang mudah beradaptasi,
fleksibel dan strategis guna menghadapi ancaman asimetris. Pemanfaatan strategi
asimetris positif akan memberikan keuntungan dan keunggulan manakala pihak kuat
mampu menyempurnakan pemahamannya tentang bagaimana menghadapi ancaman
asimetris. Pemahaman tersebut harus melingkupi bagaimana mengadopsi definisi
yang lebih luas mengenai asimetrik secara umum dan menyeluruh yang dapat
digunakan sebagai dasar maupun pondasi dalam menyusun sebuah doktrin peperangan
asimetrik. Hal yang lebih penting untuk lebih memahami tentang penerapan
strategi asimetrik adalah dengan mengintegrasikan konsep-konsep yang meliputi; memahami
posisi kita dan lawan yang dihadapi (apakah kita sebagai pihak yang kuat atau
lemah) dengan memaksimalkan kemampuan beradaptasi dan fleksibilitas dalam
menghadapi ancaman asimetris; memaksimalkan dan memfokuskan kinerja intelijen
sehingga mampu meminimalisir kerawanan yang dimiliki; memahami betul tentang
bagaimana memosisikan dimensi strategi asimetrik secara positif maupun negatif;
dan mengintegrasikan seluruh komponen pemerintah dengan mengembangkan pola
kerjasama interagency melalui instansi/lembaga
negara maupun non-negara secara komprehensif sebagai aplikasi dari sebuah
pertahanan negara dalam menghadapi ancaman asimetris.
Daftar Pustaka
Arreguin-Toft,
Ivan. 2001.How the Weak Win Wars, dalam
Jurnal International Security, Vol.26,
No 1.
Dephan RI, 2008. Buku Putih Pertahanan RI 2008. Jakarta:
Dephan RI.
Djelantik,
Sekarwani. 2010. Terorisme, Tinjauan
Psiko-politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Griffith, Samuel B. (trans). 1971. Sun Tzu,
The Art of War. London: Oxford
University Press.
Kiras,
James D. 2007. “Irregular Warfare: Terrorism and Isurgency”, dalam John
Baylishlm, Strategy in the Contemporary World: An Introduction to Strategic
Studies, Second Edition, Oxford University Press.
Metz,
Steven and Douglas V. Johnson II. 2001. Asymmetry
and U.S Strategy: Definition, Background, and Strategy Concepts. Carlisle,
Pa.: US Army Strategic Studies Institute
Routledge.
2012. The Mililtary Balance 2012. UK:
Routledge.
Thornton, Rod. 2007. Asymmetric
Warfare. UK: Polity Press.
[1] Samuel B. Griffith (trans).
1971. Sun Tzu, The Art of War.
London: Oxford University Press. Hal. 66-67.
[2] Lihat Steven Metz and Douglas V.
Johnson II. 2001.Asymmetry and U.S
Strategy: Definition, Background, and Strategy Concepts. Carlisle, Pa.: US
Army Strategic Studies Institute. Hal. 6.
[3] Lihat Ivan
Arreguin Toft. 2008. How the Weak Win
Wars A Theory Asymmetric Conflict. UK: Cambridge University Press.
Terima kasih pencerahannya Pak Sigit Sasongko
BalasHapus